PROLOG "CERITA WIRA" - BONUS DADAKAN 1

146 16 8
                                    

Matahari telah menyerah hari ini. Berpamitan dengan langit untuk berhenti menyinari bumi beberapa saat, sebelum besok menepati janjinya lagi untuk kembali. Sinar jingganya menghiasi warna-warni langit sore yang menakjubkan, mengalahkan lukisan senja manapun yang pernah ada. Ya, karya Tuhan memang tak ada tandingannya.

Duduk memeluk lutut di atas atap rumahnya tanpa takut jatuh sebab waktu kecil sudah pernah merasakannya—yang pada kenyataannya, ia masih hidup setelahnya—membuat Wira tak lagi takut akan hal tersebut. Sebuah angin meraba indera cowok itu, yang sesaat kemudian berubah menjadi Willy, hantu yang menjadi temannya selama ini. Wira hanya melirik sesaat, lebih memilih menikmati senja yang membawa burung-burung beterbangan kembali pulang.

Banyak hal berubah. Kecewa menyapa. Rahasia terbuka. Sedih menyelimuti. Namun kesepian itu, justru menemani dengan tak tahu diri. Wira yang semula memang pendiam, kini jadi lebih tertutup dari sebelumnya. Cowok itu lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, mengurung diri, seolah sedang hidup di planet lain yang hanya dirinya saja lah satu-satunya manusia yang ada di sana.

"Kamu memikirkan ayahmu bukan, Wir?" tanya Willy kemudian. Wajah pucatnya menatap ke Wira seakan-akan mengerti apa yang sedang temannya rasakan.

"Jangan sok tau! Siapa juga yang mikirin Bokap? Orang gue lagi mikirin cewek pas upacara tadi," balas Wira ketus yang tentu saja merupakan kebohongan.

Dalam hati, Wira hanya merasakan kehampaan. Sudah sebulan lamanya dia tak pernah berhenti menyesal. Sesal yang menyesakkan dada hingga membuatnya sulit tidur di malam hari sehingga jadi sering mengungsi ke perpustakaan sekolah keesokan harinya untuk sejenak tidur. Ayahya, laki-laki yang paling ia percaya dalam hidup, yang menjadi penutan serta kebanggaan baginya, ternyata menyimpan masa lalu kelam di belakang. Rasanya sakit sekali.

Saat diam itulah, Willy berpindah tempat menjadi tepat di depan Wira, menyorot penuh intimidasi yang temannya tahu apa maksudnya. "Ishh! Iya deh, gue ngaku! Gue emang lagi mikirin Bokap. Puas?" tajam Wira.

Willy melesat lagi ke sisi kiri temannya. Menghadap ke arah matahari terbenam di barat sana, sama seperti Wira. "Tapi saya rasa sudah cukup kamu hidup bagai mati selama tiga puluh tiga hari ini, Wir. Suka atau tidak, hidupmu masih berlanjut."

"Dan terima atau nggak, lo nggak akan bisa hidup lagi. Terus kenapa masih ada di dunia ini, sementara udah nggak ada lagi hal yang membelenggu lo disini?"

Rupanya meski sudah mendengar itu berkali-kali dari Wira, Willy tetap menatap kesal. "Seperti halnya kamu yang berkali-kali menanyakan hal yang sama itu, berkali-kali juga sudah saya jawab. Saya ini bukan arwah, melainkan kloningan dari arwah saya yang sebenarnya. Arwah saya, sudah sejak empat puluh hari pasca insiden pembantaian dua ratus lima puluh tujuh tahu lalu, meninggalkan dunia ini."

Wira segera menoleh. Memang, jika membicarakan perihal meninggalnya Willy, sampai saat ini pun Wira masih merasa miris. Willy dan keluarganya dibunuh karena kesalahan seorang informan yang melaporkan bahwa ayah Willy adalah mata-mata musuh. Bisa dibilang, ketika mati, Willy berusia dua tahun dari usia Wira sekarang. Dia campuran dari Belanda–Pribumi, sehingga kontur wajahnya lebih tegas dengan hidung yang lancip, perkulitannya putih. Rambutnya sedikit keriting, namun ia paling tidak suka ketika Wira mengejeknya kribo.

Mereka berdua saling mengenal ketika Wira diajak ke pusat perbelanjaan di Semarang, kota tempat tinggal sang nenek. Pusat perbelanjaan tersebut konon katanya adalah permukiman rumah Willy ratusan tahun silam. Disitulah, tatapan mereka bertemu dan Willy merasakan kecocokan dengan anak kecil yang rupanya bisa melihat dirinya, kemudian mulailah mereka kenal dan menjadi teman hingga sekarang. Bukan tanpa alasan Willy merasa cocok, melainkan ia juga punya seorang adik laki-laki yang ketika keluarganya dibantai, memiliki kisaran usia yang sama dengan Wira saat itu.

AWAKENED [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now