Delapan : Hantu Suri

877 181 191
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

Ketika di ruang tamu tengah ramai dengan canda tawa empat pemuda yang asyik bermain playstation, Salfa dan Kinara baru saja keluar dari kamar. Rumah itu, sangat panjang ke belakang, dan kamar para gadis berada di bagian tengah. Di kamar depan dipakai Vin dan Gopal, sementara di kamar belakang dipakai Genta dan Novan.

Salfa, sesekali menundukkan pandangannya. Seringkali berhenti mendadak dan menyisakan Kinara berjalan sendirian beberapa langkah lebih dulu dari dirinya, hingga kemudian ia mempercepat langkah dan menyejajarkan posisinya lagi, tentu saja tanpa sepengetahuan Kinara. Tiap kali ia berhenti mendadak, hanya dirinya sendiri dan Tuhan yang tahu apa yang dia lihat. Sesuatu dari tabir yang lain, berpapasan dengannya sehingga ia tidak mau saling bertabrakan. Rasanya seperti beban, yang benar-benar ia tanggung sendirian.

"Ra, kalau mau ke sisi manapun di rumah ini, jangan lupa izin dalam hati sama mereka ya," pinta Salfa.

Kinara melotot, "Ha? Kenapa, Sal? Disini banyak ya?"

Salfa memilih tak menjawab. Bukan karena mereka berdua telah sampai di ruang tamu, tapi karena ia tak tega mengatakannya pada Kinara. Tidak mungkin dia bilang bahwa rumah ini seperti tempat wisata. Ramai, riuh, tapi yang sangat aneh, adalah tatapan mereka. Sengit. Seperti tidak terima tempat yang mereka tempati, di datangi tamu.

Tercekat dengan napas yang tertahan beberapa detik, Salfa berusaha sebisa mungkin menahan dirinya ketika sosok laki-laki memelotot tepat di sebelahnya. "Kami tidak pernah menerima tamu. Kalian tidak seharusnya disini."

Mendengar itu, Salfa menoleh. Mengamati lamat-lamat laki-laki dengan hidung yang mengeluarkan darah itu. Ia hanya membatin dalam hati untuk menjawab sosok tersebut. "Apa maksudnya?"

"SAL?!!" panggilan Gopal yang nyaring membuat Salfa lebih terkejut dibandingkan kejadian barusan. Merasa telah mengganggu Salfa yang entah sedang apa, Gopal menggigit bibir bawahnya dan terdiam.

"Kenapa? Lo lihat apa lagi?" sahut Novan dengan gaya bicaranya yang khas jika menyangkut soal hal yang demikian. Salfa hanya membalas dengan menghela pelan, sehingga Novan kembali buka suara. "Ada apa aja disini? Genderuwo? Kuntilanak? Pocong? Atau jangan-jangan tuyul? Biar gue amanin duit gue kalau gitu."

Gopal mengernyit mendengar itu. "Lo nggak bisa menghargai dia dikit gitu, Nyet?"

Genta yang semulanya tak habis pikir pada Novan, tiba-tiba beralih fokus ke Gopal. Satu hal yang membuatnya merasa bangga, adalah pemuda itu yang sekali ini menunjukkan tanda-tanda kewarasan. Sesaat kemudian, fokus Genta beralih lagi ketika melihat satu tangan Salfa yang disembunyikan ke belakang. Mengepal.

Mata Salfa menyorot tajam ke Novan.

"Karena lo tanya, gue jawab," ujar gadis itu dengan suara memberat. "Yang barusan itu, laki-laki yang dari hidungnya keluar banyak banget darah. Kalau lo nggak keberatan, gue mau ngomong sama dia sekarang. Untuk bikin tidur lo nggak nyenyak malam ini."

Semua mata tertegun menatap Salfa. Sama-sama menyadari ancaman yang diberikan adalah tidak main-main dilihat dari caranya bicara. Beda dengan teman-temannya, Novan malah bersandar merentangkan tangan di sofa, lengkap dengan wajah santainya. "Wah, gue takut banget..."

Menggeram tanpa suara, lalu kemudian Salfa melesat keluar rumah. Tidak tahan satu atap lebih lama dengan Novan dalam situasi yang demikian. Mengapa pemuda itu sebegitunya memperlakukannya seolah-olah dirinya adalah orang paling aneh sedunia? Ia mengenal Novan sejak SMA, namun yang berbanding terbalik dengan sekarang. Novan dulu sangat pengertian dan sangat mendukung dirinya dan...

AWAKENED [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now