Tiga : Tercetusnya Rencana

1.1K 244 272
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

Di abad ini, manusia sudah bisa menjangkau apapun dengan adanya teknologi yang terus-menerus berkembang, termasuk dapat dengan mudah menemukan alamat dan tempat-tempat yang hendak dituju.

Dalam sebuah rumah sederhana dengan dinding kayu, Salfa dan Kinara menikmati teh jahe buatan tuan rumah.

Mata seorang wanita terus memandang dengan bertanya-tanya, apa yang membuat dua gadis datang ke rumahnya jauh-jauh. Di antara mereka, ada satu gadis lagi. Seragam putih abu-abu yang dijemur di halaman rumah, cukup menjelaskan kisaran usianya. Anehnya, tatapan gadis itu tampak tak bersahabat pada dua tamu tak diundangnya.

"Langsung aja, mau minta sumbangan?" ketus gadis itu, membuat Salfa dan Kinara tertohok. "Nggak lihat apa, kami teu orang miskin? Masih juga dimintai sumbangan?"

"Fina!" sentak sang ibu yang kemudian mengarahkan senyum sungkannya pada Salfa dan Kinara. "Maaf, Teteh-Teteh. Anak saya teu memang suka asal ngomong."

"Jadi, ada apa ya?" sambung ibu itu lagi.

Disini lah dilema besar memenuhi hati Salfa maupun Kinara. Keduanya sama-sama tidak tega menjelaskan maksud kedatangan mereka. Keriput di wajah si ibu menambah kegelisahan keduanya. Namun, bagaimanapun, sudah sejauh ini. Se-spontan ini. Tidak mungkin untuk kembali tanpa memenuhi tujuan mereka.

"Bu, maaf. Maaf sekali. Sebelumnya saya mau tanya. Apa di Jakarta, selain suami, ibu punya saudara atau kerabat lain?" tanya Salfa dengan tega tidak tega. "Kenapa—kenapa saya yang diamanati, Bu? K-kalau saya yang diminta memberitahu kalian, bukannya itu berarti bahwa polisi nggak bisa nemuin siapapun dari kalian?"

Menyadari kalimatnya sangat berantakan, Salfa memejam dengan tangan mengepal. Ia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Dadanya, serasa ditikam pisau bertubi-tubi. Sakit, sesak, semuanya menjadi satu kesatuan yang membuatnya ingin berteriak kencang.

Disitu, kemudian Kinara memegang tangan Salfa yang masih mengepal kuat. Berharap itu dapat memberikan kekuatan tak terlihat berupa dukungan atas semuanya. Matanya beralih pandang ke si ibu yang mengernyit bingung. Kinara tahu, dengan beliau memegang dadanya, pasti sudah mulai paham ada sesuatu yang tidak biasa.

"Teteh maksudnya apa sih? Ngomongnya nggak jelas pisan!" sahut putri Pak Karni dengan nada tak enak.

"Gini, Dek, Bu. Kami sendiri nggak ngerti, gimana bisa kalian sampai sekarang nggak tau apa-apa. Tapi yang jelas, datangnya kami kesini…" Kinara menunduk menggantungkan kalimatnya. "K-kami, membawa kabar soal Pak Karni."

Entahlah itu perasaan Salfa saja atau memang hal tersebut adalah hal yang seperti sudah di duga oleh si ibu. Reaksinya seperti orang yang belum mendengar apapun, tapi sudah pasrah. Salfa hanya melihat ibu yang sampai detik itu belum ia ketahui namanya.

"Setiap malam saya mimpiin suami saya. Dia nggak ngomong apa-apa. Cuma berdiri, diam, tersenyum ke saya. Tapi saya bisa lihat, suami saya sedih," kata si ibu, matanya sudah berkaca-kaca. "Suami saya kenapa, Teh?"

Mendengar itu, Salfa menitikkan air matanya. Ia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya lagi. Kinara yang duduk di sebelahnya juga mengusap air mata sesaat sebelum menoleh ke Fina, anak Pak Karni. Ekspresinya kaget usai mendengar penuturan sang ibu. "Bapak kenapa?"

Dengan pelan penuh ketidakyakinan, Kinara menjawab, "Pak Karni meninggal, Dek. Enam hari lalu."

Fina mematung seketika itu. Setengah dari dirinya ingin marah saat itu juga, namun hatinya seakan melarang. Alasan dirinya terkejut mendengar bahwa ibunya memimpikan sang bapak setiap hari, adalah karena dirinya juga mengalami hal yang sama. "Nggak mungkin. Teteh bohong, kan?"

AWAKENED [Sudah Terbit]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora