Prolog

2.2K 340 352
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

"Selama dua puluh satu tahun lo hidup, kapan lo merasa benar-benar hidup?"

Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di kepala dan langsung gadis itu utarakan pada gadis lain di sebelahnya. Yang diajak bicara melirik sekilas, membenarkan posisi kacamata silindernya sambil menyeruput cappuccino kesukaannya. Belum ada jawaban. Hanya angin sore yang memecah kesunyian, mengisyaratkan dua gadis itu agar segera pulang karena sebentar lagi turun hujan.

Ketika beranjak dari bangku pinggir jalan raya hendak menuju ke motor yang terpakir, baru lah gadis berkacamata itu menjawab pertanyaan teman dekatnya. "Emm, waktu lahir ya keluar gitu aja, habis itu gatau lagi gue hidup apa enggak."

"Gue pernah satu kali ngerasa hidup. Setelah masanya selesai, gue kehilangan diri gue sendiri," balas Salfa dengan lemah, mengundang perhatian Kinara yang membuatnya batal mengenakan helm.

Kinara menghela pelan. "Andai gue bisa milih, gue juga nggak pengen ada di dunia ini, Sal. Ribet banget tau nggak. Tapi ya udah lah ya, prinsip gue mah hidup mengalir aja. Ntar juga terlewati semuanya."

Gemuruh terdengar menyuarakan kegagahannya di atas langit abu-abu. Sebuah perasaan menyeruak bersamaan dengan itu. Salfa memegangi dadanya, entah pertanda apa lagi yang ia terima hari ini. Entah sudah untuk keberapa kalinya kegelisahan itu merebak memenuhi benaknya. Gadis itu nampak tertegun, dengan tak memindahkan posisi tangan yang memegang dada itu, ia bersuara.

"Ra, jangan lewat jalan yang tadi kita lewati waktu kesini ya?" pinta Salfa begitu saja tanpa ia tahu darimana asalnya.

Kinara hanya mengerutkan kening, baru saja memasang pengunci helm-nya. "Terus mau lewat mana? Yang dekat kan itu… Lo nggak lihat bentar lagi hujan? Gue nggak mau ya kehujanan!" mulai lah Kinara mengomel, "yang ada ntar gue dimarahin Nyokap, Sal… Nih motor baru aja dicuciin tadi pagi."

Salfa hanya menatap Kinara yang sudah duduk di motor, menyalakannya bersiap untuk tancap gas. "Feeling gue nggak enak, Ra."

Tapi tidak tahu kenapa, Kinara yang selama ini selalu memilih mengalah daripada berdebat, tak mempedulikan Salfa yang wajahnya makin gelisah. Beberapa waktu belakangan, ia memang tidak kaget lagi atau bisa dibilang sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan Salfa yang seperti itu. Ia tahu, sahabatnya tersebut memang sedang peka-pekanya terhadap segala sesuatu. Susah untuk menjelaskannya, tapi rasanya, Kinara pun tahu perubahan yang terjadi pada Salfa tak akan berhenti disitu.

Kinara memang tidak banyak tahu tentang hal-hal semacam itu, dimana intuisi semakin tajam, dan indra-indra yang ada semakin terasah. Tapi, ia percaya, bahwa memang ada beberapa orang yang diberikan kelebihan semacam itu oleh Tuhan. Sayangnya, toleransinya saat ini terhadap Salfa tidak bisa bekerja. Ia benar-benar sedang banyak pikiran mengenai tugas kuliahnya, sehingga tidak berminat untuk basa-basi dan ingin segera pulang.

"Udah ayo, ah."

Salfa berdecak, kemudian pasrah saja menyusul duduk di belakang Kinara. "Ati-ati nyetirnya ya."

"Tuh kan, udah gerimis!" balas Kinara yang mulai panik ketika titik-titik air jatuh mengenai punggung tangannya yang sudah berada di stir motor.

Tidak usah tanya, sudah jelas bagaimana perasaan Salfa seketika itu. Makin gugup ketika Kinara mengemudikan motor dengan kecepatan yang lumayan. Sampai di persimpangan jalan, tepat ketika motor berbelok ke kiri, sebuah bayangan terlintas di pikiran Salfa. Seolah, ada layer yang terpasang di kepalanya, dapat dirasakan dengan jelas dari pandangan yang ia lihat.

AWAKENED [Sudah Terbit]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें