Dua Puluh Enam : Kembali

568 117 161
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

Sesuai arahan dari Si Mbah, Genta berjalan mengikuti gandengan tangan Diandra. Mereka menyusuri lorong-lorong aneh yang dipenuhi mereka. Malahan, disini semakin beragam bentuknya. Genta masih kaku menghadapi semua itu. Sesuai apa yang Si Mbah bilang, bahwa ia tidak boleh melepaskan gandengannya dengan Diandra agar energi mereka bersatu, sehingga, mereka tidak menyadari bahwa Genta adalah nyawa dari seseorang yang masih hidup.

Di tengah-tengah perjalanan, Genta seringkali melirik ke samping. Pada sang adik yang ia tahu setelah keluar dari dimensi ini, tak akan pernah bisa melihatnya lagi. Hatinya sungguh hancur seumpama pecahan kaca yang hancur menjadi bagian kecil-kecil. Tapi kali ini, demi memenuhi misinya sekaligus mengabulkan permintaan Diandra yang terakhir kali padanya, ia harus mampu tabah dan menguatkan diri.

"Jangan lihat mereka lama-lama, Mas," ujar Diandra mengingatkan. Ia tak mau kakaknya merasa terganggu dengan mereka semua meskipun itu tidak mungkin. "Aku juga takut, Mas. Mas mau kan, berani dan kuat demi aku? Demi Mbak Salfa juga?"

Genta menoleh, tatapannya dalam. Sangat dalam. "Pasti, Dek. Mas nggak akan takut sedikitpun."

Mereka berdua melanjutkan langkah menyusuri lorong yang paling gelap ketimbang sebelum-sebelumnya. Masih sama, dipenuhi makhluk-makhluk berbagai bentuk itu. Ada yang berdarah-darah, mukanya hancur, berjalan dengan terseok-seok, tangannya hilang, lehernya patah, dan banyak lagi. Disitu Genta merasakan Diandra makin kuat melingkarkan tangan di lengannya.

"Mas disini, jangan takut," ujar Genta dengan teramat tulus. Tiap kali berbicara dengan Diandra, luka itu datang lagi. Bahkan lebih menyakitkan. "Ayo, jalan terus."

Diandra hanya mengangguk. Kini berganti Genta yang memimpin jalan. Kata Si Mbah tadi, Salfa tersesat di tempat yang gelap dan tak tahu kemana jalan kembali. Itulah sebabnya, makin lama, mereka berdua makin berada di tempat gelap karena memang itu yang mereka cari dan tuju.

Langkah kaki Genta berhenti ketika telinganya menangkap suara samar-samar yang lirih. "Kamu dengar, Dek?"

"Iya, Mas. Ada yang nangis," balas Diandra.
Pelan-pelan, satu demi satu langkah membuat mereka makin dekat dengan sumber dari suara yang mereka ikuti. Tepat di persimpangan lorong, di tempat yang lebih gelap lagi, Genta melihat seseorang meringkuk memeluk lutut. Mulutnya setengah terbuka menyaksikan itu. Seorang gadis dengan rambut keritingnya. Membenamkan wajah, menangis.

"Salfa?" panggilnya bersamaan dengan setitik air mata yang kembali jatuh. Genta mendadak jadi seseorang yang cengeng kali ini. Kehilangan seorang adik, juga hampir kehilangan Salfa. Tangisan itu bentuk kelegaannya. Selain karena menemukan Salfa, ia juga berhasil menepati keinginan Diandra.

Salfa mengangkat kepalanya tepat setelah mendengarkan satu suara yang menyebutkan namanya. Suara yang sangat ia kenal, bahkan tak pernah bisa ia lupakan. Suara yang selama ia ada di dimensi ini, selalu ia dengar dengan lirih, memintanya pulang.

"Ta?" balasnya lalu segera beranjak dan berlari ke Genta. Melingkarkan dua tangannya ke badan tegap pemuda itu. "Makasih udah datang... Makasih udah jemput aku..." lirihnya dengan tangis yang menjadi.

Genta tak menjawab, ia malah memejam merasakan seluruh perasaannya. Pemuda itu memberi waktu untuk dirinya sendiri. Telah lama ia tak memeluk Salfa dengan penuh cinta seperti sekarang. Banyak hal telah terlewati, waktu bergulir, tahun berganti, tapi satu hal yang tak berubah. Perasaan mereka.

AWAKENED [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang