Delapan Belas : Sebuah Alasan

625 121 125
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

Malam yang dingin, dilengkapi dengan rintik hujan yang tak begitu deras. Seakan-akan langit paham, apa yang tengah dirasakan lima orang dalam ruang tamu. Harusnya mereka beristirahat, agar ketika hari berganti, bisa mendapatkan kebugaran yang lumayan untuk mencari jejak Kinara. Namun, mana bisa mata mereka terpejam jika isi kepala masih kemana-mana?

Salfa baru saja meletakkan teh hangat yang ia buat untuk membantu meringankan rasa dingin yang mulai menusuk ke tulang. Gadis itu tak banyak bicara. Lebih sering diam dengan raut gelisah yang kentara di wajahnya. Ia menyeruput teh tersebut tentu saja dengan mengingat sahabatnya. Kinara sangat menyukai teh. Senyum simpul yang terbentuk di bibirnya, sangat miris ia rasakan.

"Jadi rencananya gimana? Kita besok cari kemana lagi?" tanya gadis itu kemudian pada siapa saja. Ia mendapati tak ada jawaban. "Kita harus tau langkah kita. Kalau kita bergerak tanpa tujuan, sia-sia aja."

"Salfa benar," sahut Novan. "Petunjuk sekecil apapun itu, kita harus temuin. Lebih baik besok kita balik ke tempat Kinara terakhir kali. Siapa tau ada yang bisa kita temuin disana?"

Genta segera mengangguk setuju. "Iya, semoga ada sesuatu disana."

Dari semuanya, hanya Gopal lah yang menyadari kesenyapan di sebelahnya. Ia melirik, Vin termenung menatap kosong dengan tangan yang masih memegang secangkir teh. Disenggol lah pemuda itu dengan siku. "Kenapa lo diem aja?"

Tersadar dari lamunannya, Vin terlihat seperti orang cengo ketika Gopal menanyainya. "Ha? K-kenapa?" balasnya yang malah bertanya balik.

Tiga orang lainnya berganti fokus ke Vin, menoleh spontan padanya. Sama-sama dapat membaca kebingungan di wajah pemuda itu. Tapi mereka masih sama-sama menunggu sampai Vin menjawab.

"Lo kenapa diem aja? Ngelamun lagi. Awas, ati-ati jangan sampai kecolongan," ujar Gopal lagi, memperingati. Masih jelas ia ingat yang terjadi pada Kinara, Salfa, maupun dirinya. Kerasukan itu. Mengingatnya, sekilas Gopal sempat membodohkan tindakannya bersama teman-temannya ini yang tetap memaksa tinggal disini, bahkan sampai menolak tawaran Pak Beni. Tapi tunggu, ada sesuatu yang terbesit sedetik setelahnya. Pemuda itu kemudian menatap teman-temannya secara bergantian. "Guys, mungkin nggak sih, yang terjadi sama gue tuh…"

Semua dibuat bingung oleh Gopal yang menggantungkan kalimatnya sendiri. Salfa yang paling tak sabar, segera menyahut. "Kenapa, Pal?"

Gopal sendiri yang sempat menunduk menatap kakinya yang dibalut perban tersebut, mengangkat lagi wajahnya membalas Salfa. "Apa gue kayak gini karena gue yang ngajak kita semua untuk ke hotel dan ninggalin rumah ini?"

Genta mengernyit, masih mencoba meresapi perkataan Gopal namun belum juga berhasil. "Maksud lo? Kenapa emangnya kalau lo ngajak kita pergi dari rum—"

Tepat ketika Genta memberikan pertanyaan itu, otaknya sedang bekerja dengan baik. Ia sepertinya memiliki dugaan atas yang Gopal katakan. Meskipun ya, sedikit lemot untuk kali ini, namun akhirnya ia mengerti. Matanya kini berubah membulat.

Bahkan, bukan hanya Genta. Vin pun tertohok. "Kalau ini emang santet, dan orang misterius itu pelakunya, jelas dia nggak mau kita pergi dari sini agar dia tetap bisa ngintai kita dan nunggu kita lengah," ujarnya kemudian dengan merasa amat mantap. Tak mungkin salah.

"Dan dia tau kalau Gopal yang ngajak kita pergi dari sini, makanya Gopal yang kena!" sahut Novan yang sesaat setelahnya berdiri. Ia mengusap mukanya dengan tak percaya, tapi perbincangan yang ia capai dengan teman-temannya saat ini terdengar masuk akal.

AWAKENED [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now