Dua : Tak Seimbang

1.1K 254 260
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

Pagi itu seperti biasa, Salfa bangun lebih awal ketika memiliki tugas kuliah yang belum selesai. Kebiasaannya memang demikian, mengerjakan apapun ketika sudah mendekati deadline. Kini Salfa tengah duduk manis di meja belajarnya, mengerjakan dengan segera karena kelasnya akan dimulai jam delapan nanti.

Ditengah-tengah kegiatannya, dari sudut mata, ia seperti menyadari seseorang berdiri di pojok kamarnya. Fokusnya sudah mulai terganggu, namun ia mencoba tak memikirkannya, dan melanjutkan tugas yang belum selesai itu. Baginya, menjadi anak Teknik Sipil membuatnya kalang kabut, terlebih, itu bukan jurusan yang ia mau. Tapi, demi membuat Ayahnya senang untuk sekali itu, ia menuruti saran tersebut.

Kreekk...

Suara itu terdengar ngeri di telinga Salfa. Ia menyadari lemari pakaiannya terbuka sendiri, padahal, ia tak lupa menguncinya tiap kali usai mengambil apapun. Tak beranjak dari kursi, Salfa memperhatikan terus lemari itu. Hingga, pelan-pelan, ia melihat jari-jari pucat keluar dari sana. Spontan, gadis itu berdiri dan berjalan mundur menjauhi lemari.

"Siapa?" tanyanya, setelah memahami bahwa itu bukan dari golongan manusia.

Tak ada jawaban. Tapi tangan itu masih disana. Merasa muak karena dirasa sudah cukup lama menunggu, Salfa mendekat. Bersamaan dengan langkah kakinya menuju lemari, tangan itu masuk. Dan tepat ketika ia sampai di depan lemari yang satu pintunya masih juga terbuka lebar itu, tangan tersebut, hilang. Tak ada apapun disana selain pakaian-pakaian yang digantung di hanger.

"Tolong saya..."

DEG! Napas Salfa terasa tercekat mendengar suara yang tepat berada di belakangnya. Hal itu, membuat bulu di leher bagian belakangnya berdiri semua, merindingnya terasa sampai ke telinga. Dekat sekali rasanya.

Suara laki-laki yang ringkih dan bergetar itu membuat Salfa tak berani menoleh. Ia hanya meringis menahan tangis dengan melantunkan doa-doa yang ia bisa. Tangannya, perlahan menutup pintu lemari, karena manyadari, ada kaca yang tak begitu besar pada bagian luar.

Setelah kaca terpampang, baru Salfa ketahui. Laki-laki itu, si pedangan asongan. Masih lengkap dengan kaos hijau lusuhnya. Dan bukan seperti pertama kali ia melihat bapak itu, kini wujud yang ditampakkannya adalah wujud dimana Salfa telah dibuat berteriak kencang di malam mengerikan itu.

"B-bapak?" lirih Salfa dengan menutup mulutnya dengan satu telapak tangan. "Bagaimana saya bisa m-menolong? S-saya harus memberitahukan apa ke keluarga Bapak?"

"Mereka tidak tau kalau saya meninggal... Saya minta tolong..."

"Kenapa Bapak nggak coba menemui mereka sendiri?" pertanyaan bodoh itu terlontar dari mulut Salfa.

"Mereka tidak seperti kamu... Mereka tidak bisa melihat dan mendengar saya... Tolong saya..."

Sepertinya, Salfa sudah mulai bisa mengendalikan dirinya. Rasa takut itu pelan-pelan hilang entah kemana ketika melihat bapak itu menangis. Rasanya, sesak. Sesak sekali. Seolah Salfa bisa merasakan kesedihan mendalam dari bapak-bapak itu. Setelah sempat menghapus setetes air mata yang jatuh di pipinya, Salfa kembali menatap ke cermin namun bapak itu sudah hilang. Lenyap.

"Halo, Ra? Gue jemput lo sekarang ya. Temenin gue ke jalan itu. Gue harus segera selesaiin ini," ujar Salfa melalui sambungan telepon yang sesaat tadi langsung ia ambil di atas meja belajar. Gadis itu pun segera memasukkan ponselnya ke dalam sling-bag kecil, mengambil jaket, dan mengikat rambutnya.

AWAKENED [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang