Dua Puluh Lima : Tentang Diandra

564 111 142
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

"HALO, MAS GENTA?"

Suara nyaring itu membuat Genta menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia memeriksa daun telinganya baik-baik saja atau tidak. Khawatir pendengarannya akan terganggu setelah yang dilakukan adiknya tersebut. Ia menghela pelan kemudian.

"Selalu gitu. Nggak kasihan sama telinganya Mas Genta?" balasnya masih berusaha sabar.

"Hehehe," adiknya nyengir di seberang telepon. "Eh, Mas, jadi ke Pulau K? Jadi berangkat besok?"

"Jadi."

"Berarti, ketemu Mbak Salfa, dong?"

"Iya."

"Wahhhh, keren nih. Ketemu lagi cie, cie."

"Apasih, Dek!"

Suara di seberang telepon kemudian berubah jadi menyeramkan karena adiknya terkekeh makin kencang. Barangkali karena telah berhasil membuat dirinya kesal. Seorang Genta memang paling tidak suka jika diajak membahas soal seseorang yang bisa dibilang spesial di hidupnya kalau bukan dia sendiri yang mengawali.

Tapi tunggu, mengapa ada suara-suara riuh ketika didengarkan lebih seksama?

"Dek, kamu lagi dimana?" tanyanya heran.

"Di angkot, ini mau balik ke kost."

"Oke, ati-ati."

"Mas Genta yang ati-ati. Pulau itu kan jauh, Mas. Mbak Salfa dijagain, ya?" ujar sang adik masih berusaha menggoda.

"Udah lah, jangan julid," balas Genta malas.

"Mas?" Entah kenapa mendengar panggilan itu, nadanya terasa lain untuk Genta.

"Kamu nggak kenapa-napa, kan?" tanya Genta kemudian, rasa cemas itu mendadak menghinggapinya. "Kamu sakit?"

"Enggak, kok. Nggak apa-apa tuh."

"Kok manggilnya gitu banget?"

"Gitu gimana?"

Genta lantas menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, karena merasa konyol. "Nggak jadi."

"Aku manggil tadi tuh, mau minta oleh-oleh," jawab sang adik kemudian.

"Mau apa?"

Terdengar adiknya nyengir lagi. "Nggak banyak, kok. Satu aja."

"Iya apa?"

"Balik sama Mbak Salfa, Mas. Cuma itu."

Harusnya, Genta bisa biasa saja, ya. Tapi ini rasanya kenapa lain? Seperti ada yang berbeda entah apa itu. Genta sendiri juga baru kali ini merasakan seperti sekarang. Ia tahu, memang sejak lama adiknya penasaran dengan Salfa-gadis yang memang selama ini sangat sering ia ceritakan. Barangkali, perasaan aneh yang menyeruak ke dalam benaknya tersebut tak lain adalah terharu. Baru kali ini adiknya se-care itu dengan gadis dalam hidup Genta.

"Mas?" panggil adiknya kemudian karena tak kunjung mendapat jawaban. "Bisa, kan?"

Genta menghela pelan, merasakan seluruh perasaannya untuk Salfa kian jelas yang kian jelas. "Semoga ya, Dek."

●●●●

Gadis berambut pendek itu melega setelah mendengarkan jawaban kakaknya di telepon. Ia memang sedang naik angkot, seperti apa yang ia katakan tadi. Namun bukan untuk kembali ke kost, melainkan ke stasiun.

AWAKENED [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang