Sembilan : Goyahnya Logika

822 173 206
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

Hari berganti, semuanya sengaja bangun pagi-pagi sekali untuk berolah raga di sekitar pantai. Meski dari semuanya, diketahui bahwa Salfa yang paling tidak bisa lama-lama berada dekat dengan laut, tapi Genta mendapati raut yang lebih ogah-ogahan dibanding Salfa.

Sengaja ia berlari di paling belakang, membiarkan Vin, Gopal, Salfa, dan Kinara lebih dulu. Langkahnya sejajar dengan Novan. Genta dapat merasakan teman dekatnya itu seperti menghindarinya, dengan berlari lebih kencang. Genta tak menyerah. Ia segera menyusul Novan dan mensejajarkan langkahnya lagi.

"Lo kenapa sih? Muka lo suntuk banget gitu. Padahal pemandangannya seindah ini," ujar Genta dengan merentangkan tangan dalam posisinya berlari.

Novan melirik sinis. "Iya lah indah. Semalam udah jalan bareng Salfa."

Tampak Genta menunduk setelah mendengarkan itu. Novan yang menyadari tak ada sahutan lagi dari teman dekatnya tersebut, menoleh. "Lah, kok jadi lo sekarang yang mukanya suntuk? Apa gue salah?"

Memilih tak ingin menjawab pertanyaan Novan karena jika dibahas akan lebih mengingatkannya soal perbincangannya dengan Salfa malam tadi, Genta lantas berlari lebih cepat menyisakan Novan di belakang.

Rupanya, rasa penasaran Novan naik level. Giliran ia yang mengejar Genta dan tak butuh waktu lama, mereka sudah bersejajar lagi. Ketika itulah, Novan mendapati raut muka Genta berubah serius.

"Gue serius tanya, Van. Lo kenapa?" tanya Genta berusaha mengalihkan topik pembicaraan sebelum Novan sempat melemparinya pertanyaan.

Lagi-lagi, Novan hanya melirik. Merasa tak ingin mengatakannya. Tidak mungkin kalau ia bilang semalam dirinya mimpi buruk bahkan bukan hanya sekali. Melainkan berkali-kali. Tiap tertidur, ia memimpikan hal yang sama. Yang percaya tidak percaya sesuai dengan yang dikatakan Salfa sebelum keluar rumah. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya malam tadi hingga menyebabkannya tak bisa tidur, seperti:

Kalau benar-benar sosok yang dibilang Salfa itu ada, apa itu yang datang ke mimpinya semalam?

Jadi benar? Berarti Salfa serius menyuruh sosok itu membuatnya tak bisa tidur?

Ah, shit!

Sementara di depan, Salfa mengajak Kinara berbelok menjauhi pantai. Karena lelah, mereka memutuskan berhenti. Duduk-duduk menselonjorkan kaki seraya mengelap peluh yang menetes. Mereka sudah banyak berkeringat. Disitu, Kinara menyadari raut sahabatnya yang berubah.

"Jadi gimana, Sal? Apa suasana hati lo udah membaik?"

Terdengar helaan berat dari Salfa. "Lo tau es campur? Nah, kayak gitu perasaan gue sekarang."

"Campur-campur maksudnya?" Kinara mengernyit. "Tapi es campur kan enak, Sal. Lo nggak salah milih perumpamaan?"

"Mungkin emang enak. Tapi lo lupa gue nggak suka es campur?"

Kinara terdiam mendengar balasan Salfa. Ia sendiri baru mengingat hal tersebut. Jika kesukaannya adalah es teh, maka kesukaan Salfa es cokelat entah apa saja produk dan mereknya, yang penting cokelat.

Disitu, Salfa kembali bersuara. "Rasanya sedih banget tau nggak sih, Ra, tiap kali lihat Genta. Kayak luka lama soal Bokap gue ikutan balik," ujarnya dengan tak mengalihkan pandangan dari laut di depan sana. "Sama kayak gue bisa lihat kasih sayang Bokap gue, begitupun sama Genta."

AWAKENED [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now