Dua Puluh Tujuh : Yang Dipendam Diam-diam

557 122 118
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

Tepat ketika fajar tiba, seluruh barang-barang dan koper yang semula ada di mobil sewaan yang rusak semua itu, telah dipindahkan ke mobil yang lain. Vin memberikan uang kompensasi sebagai pertanggung-jawaban atas mobil Pak Beni tersebut, namun beliau menolak dengan dalih, "Wong saya tidak melakukan apa-apa untuk kalian kok, jadi biar sekarang saya membantu sebisa saya. Yang terjadi biarlah terjadi, toh itu juga bukan kesalahan kalian semua."

Beruntungnya, teman mereka—Gopal, mendapatkan Pak Beni sebagai pemilik kendaraan yang mereka gunakan. Orang baik yang selalu berusaha membantu ketika mereka sedang kesusahan. Pak Beni juga memberikan KTP Gopal pada Vin, karena rombongan tersebut akan segera pulang kembali ke Jakarta.

"Terima kasih banyak, Pak. Kami nggak akan pernah melupakan bantuan Bapak, juga Si Mbah," ujar Vin yang kemudian menoleh ke laki-laki renta yang berdiri di dekatnya. "Saya harap, silaturahmi kita akan terus berlanjut."

Si Mbah mengangguk. "Insya Allah. Sekarang, segeralah berangkat."

Salfa, Genta, Kinara, dan Vin, diantarkan oleh Pak Beni menuju ke rumah sakit dimana dua teman mereka yaitu Novan dan Gopal berada. Untungnya, sudah tak ada gangguan sinyal sehingga mereka bisa menghubungi Novan. Teman mereka tersebut rupanya sudah menunggu di depan UGD. Salfa langsung melompat keluar tepat setelah mobil berhenti, menghampiri Novan dengan buru-buru.

"Gimana Gopal? Gopal nggak apa-apa, kan?" tanya Salfa panik pada Novan. Pertanyaannya menyambar bagai kilat seakan tak memberikan Novan waktu untuk menjawab. "Gopal baik-baik aja, kan, Van? Jawab!"

Novan mengangguk dengan sedikit senyum tipis yang ia sunggingkan. "Dia baru sadar subuh tadi. Sekarang masih di UGD."

"Ya udah, ayo kesana," ujar Salfa dengan menarik lengan Novan untuk segera menunjukkan jalan. Sementara yang ditarik, secara tak sengaja melihat tangan Kinara yang tertaut dengan tangan Vin. Erat sekali. Sedikit terhenyak, karena desiran aneh itu merebak memenuhi dadanya dengan cepat. "Ayo, Van, buruan!" ujar Salfa lagi, mengalihkan fokusnya.

Novan menunjukkan jalan dengan menahan gejolak di dadanya. Dari apa yang ia lihat, Kinara dan Vin sepertinya telah ada perubahan. Cemburu? Ya, sepertinya begitu. Novan tak mengelak bahwa ia merasakan itu. Namun, tentu saja, sekarang bukan waktunya memikirkan itu dulu. Gopal bahkan baru saja selamat dari maut, apalagi hal mencengangkan yang terjadi padanya sampai berhasil mencapai rumah sakit ini masih terputar jelas di kepalanya.

Rupanya, di dalam ruang yang Gopal tempati, pemuda itu tengah bercengkrama dengan seorang anak laki-laki. Tangan mereka saling adu membentuk simbol gunting, batu, dan kertas. Permainan sederhana yang sudah familiar di hampir seluruh penjuru dunia. Melihat itu, tentu saja teman-temannya melega luar biasa. Gopal sendiri yang masih dalam posisi bersandar agak terbaring, menatap senang menyambut mereka.

"PAAAALL!!" sahut Salfa tak dapat membendung perasaan meleganya. Langsung saja ia menghambur ke Gopal, memeluknya, membuat Gopal langsung merintih karena luka di perutnya tertekan.

"Ups, sorry… saking senangnya, Pal," ujar Salfa merasa bersalah.

"Lo baik-baik aja, kan, Sal? Kata Novan lo habis… kerasukan?" balas Gopal dengan ragu karena membayangkannya saja ngeri.
Salfa yang telah kembali ke posisi berdiri yang normal, tersungging kecil, "Ya, syukurlah ada yang bantuin kami. Genta yang jemput gue."

AWAKENED [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now