Sembilan Belas : Dibawa Pergi Jauh

617 115 135
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

Jakarta, 14:22

Derum motor yang terdengar tak lama kemudian berhenti. Seorang cowok dengan seragam putih abu-abunya baru saja memarkirkan motornya di halaman rumah. Ia langsung disambut pemandangan yang membuat keningnya mengenyit heran. Buru-buru ia mempercepat langkah sampai ke teras. Wira masih mendapati ayahnya diam, tak menatapnya. Seolah-olah dirinya ini tidak terlihat.

"Yah?" sapanya pada lelaki yang menatap kosong, tak menghiraukan dirinya sama sekali. Wira mengernyit lagi, ia membungkuk mendekatkan diri ke wajah ayahnya. Tangannya melambai tepat di hadapan Dody namun tak ada balasan. Berkedip pun tidak. "Ayah tumben jam segini udah pulang? Nggak ngantor?"

Merasa aneh, Wira pun masuk ke rumah, langsung menuju ke sang ibu. "Buk?" Panggilannya menggema ke tiap sudut rumah. Matanya kemudian menemukan Nilam yang baru keluar dari kamar mandi.

"Buk, Ayah kenapa?"

"Ha? Kenapa gimana?" bingung Nilam.

"Ayah ngelamun. Wira ajakin ngomong diem aja."

Segera Nilam berjalan ke depan, sambil memegangi dada. Ia masih ingat jelas sang suami yang mimpi buruk malam tadi. Ditambah, pagi-pagi sekali tadi, suaminya akhirnya menceritakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Bahkan, yang membuat Nilam makin takut lagi, adalah omongan suaminya yang ngelantur kemana-mana. Lebih seperti orang pamit. Ah, apasih. Pamit, pamit, emangnya kenapa? Nggak usah mikir macam-macam, Nil!

"Yah?" panggil Nilam sesampainya ia di teras. Dody kali ini menoleh, namun tatapannya sungguh tak bisa diartikan baik oleh Nilam maupun Wira.

Disitu, Dody beranjak dari tempatnya duduk. Masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamar dan membanting pintu dengan kasar. Nilam dan Wira yang sejak tadi mengekori hanya saling pandang tak percaya sekaligus bingung. Ada apa dengan Dody sebenarnya?

Wira, yang menyadari sang ibu malah melamun, segera mengguncang pelan bahu Nilam. "Buk? Kenapa sih? Ayah kenapa?" tanyanya masih tak menyerah. Dari raut ibunya, ia meyakini ada sesuatu yang Nilam ketahui.

"Ibuk juga nggak paham, Le..."

Kini, giliran Nilam yang pergi. Wira hanya menatap punggung ibunya yang menjauh, kembali ke belakang. Pikirnya mungkin ke dapur. Maka ia pun memilih untuk berlalu juga ke kamarnya untuk mengganti baju. Pikirannya masih tidak karuan. Rasanya seperti ada yang mengganjal di hati. Sikap ayahnya sangat berbeda sekali. Tatapan kosong itu mengingatkannya akan sesuatu yang dulu pernah terjadi ke temannya.

Wira membanting tubuhnya ke tempat tidur dengan posisi telentang. Kepalanya masih menyeracau kemana-mana. Entah kenapa juga, ia langsung teringat kakaknya yang masih berlibur. Hanya untuk sekadar menanyakan kabar. Ia hampir saja meraih ponsel dalam saku jaket hitamnya, namun sebuah panggilan dari depan membuatnya menoleh ke arah pintu. Setelah sempat membuang napas kasar, Wira pun bangkit.

Benar kan, dugaannya? Willy sudah duduk saja di teras depan. Itu adalah teman sejak kecilnya. Willy menoleh ketika Wira menyusul duduk. Dilihatnya, temannya itu melirik tajam padanya.

"Apa saya datang disaat yang kurang tepat, Wir?" tanya Willy seperti mengerti arti tatapan itu.

"Jangan langsung tersinggung. Gue cuma lagi bingung," balas Wira.

Willy yang sesaat tadi sudah siap pergi dan memberi waktu pada Wira untuk sendiri, kembali duduk. "Ada apa?"

"Bokap."

AWAKENED [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now