PART RANDOM "WIRA & RETHA" - BONUS DADAKAN 2

91 12 0
                                    


Jika hari libur biasanya digunakan untuk bersantai di rumah dari segala kepenatan duniawi, maka kali ini Retha tidak bisa melakukan itu. Sengaja ia mengajak Ical dan Fadhil untuk nongkrong di kafe langganan mereka, karena ada yang ingin ia tanyakan soal Wira. Masih jelas ia ingat bahwa cowok dingin itu menolak ketika ia mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Bisa-bisanya Wira begitu, padahal dengan bersalaman dengannya, tangan cowok itu juga tak akan rabies.

Masih mencari momen yang tepat, Retha memilih menikmati dulu cokelat panasnya sambil membaca novel, karena Ical dan Fadhil sudah bertitah tak ingin diganggu dulu sebab mereka sedang mabar game online. Daripada tak mendapatkan apa yang ia mau, maka Retha memilih untuk menurut. Gadis itu sesekali menyinis pada dua temannya. Ia bahkan sudah dapat setengah novel, namun dua manusia menyebalkan itu masih tak selesai-selesai.

“YUHUUU!! VICTORY!!” seru Fadhil, mengundang pandangan orang-orang di kafe tersebut. Sementara Ical malah terkekeh karena ekspresi Retha yang terlihat menahan malu.

Ya, memang benar. Retha memang mati-matian menahan kekesalan. Seolah kesabarannya menunggu Ical dan Fadhil masih belum cukup, ia harus mendapatkan momen awkward macam itu. Kadang ia menyesalkan mengapa harus kenal dengan dua cowok tersebut. Meskipun mereka berbeda kelas, tapi karena ada di dalam ekstrakulikuler yang sama, jadi pertemanan mereka makin dekat.

Baiklah, Retha merasa sekarang saatnya bertanya. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman. “Eee … by the way, yang kemarin itu … teman kalian?”

“Yang mana, Beb?” balas Fadhil sengaja menggoda.

“Apaan, sih, Bab Beb Bab Beb!”

“Iya iyaaaa marah-marah mulu. Yang manaaa?”

“Yang di perpus kemarin. Wira atau siapa itu lah namanya, lupa gue,” balas Retha berpura-pura. Gadis itu menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

Giliran Ical yang menyahut. “Iya sekelas gue itu mah. Kenapa lo tanya?”

“Nggak apa sih. Cuma kaget aja. Nggak pernah lihat soalnya.” Retha kembali menyeruput minumannya, belagak santai seolah tak ada apa-apa. Padahal, tiap menyebut nama Wira, hatinya bergetar hebat yang ia sendiri tak mengerti itu perasaan apa.

“Dia emang jarang banget keluar kelas. Aneh emang tuh anak. Masa iya kalau gue ajakin keluar alasannya selalu sama. Takut cewek-cewek naksir sama dia, katanya. Beeuuhhh. Padahal mah cakepan gue kemana-mana. Hahaha,” ujar Fadhil membanggakan diri.

“Sakit jiwa lo ya!” hanya itu kalimat yang sanggup Retha ucapkan sebelum akhirnya kembali membaca novel. Ical pun hanya geleng-geleng tak habis pikir. Fadhil memang manusia paling percaya diri sedunia. Jika diukur dari nilai 1-10, tingkat kepercayadirian Fadhil adalah 17. Tapi, sejujurnya ingin sekali Retha menyanggah ucapan Fadhil. Bahwa Wira jelas lebih ganteng darinya, dan masuk akal kalau Wira bilang seperti itu. Retha akui Wira lebih berpotensi digandrungi cewek-cewek daripada Fadhil.

Wira. Wira. Wira. Entahlah, nama itu melekat di pikiran Retha. Cowok jutek yang baginya sangat misterius. Saat itu juga Retha meraih ponsel, mengesampingkan chat-chat Whatsapp yang masuk yang di antaranya adalah chat dari Pak Taufan, mengabari perihal anak-anak yang sudah pindah ke panti asuhan. Padahal ia tak ingin tahu juga. Justru, Wira lah yang membuatnya kagum karena berani speak-up kemarin. Segera melupakan itu semua, Retha lantas membuka media sosial. Langsung saja ia menuju ke pencarian.

AWAKENED [Sudah Terbit]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt