Tujuh Belas : Mengais Jejak

663 120 140
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

Brakkk! Suara hentakan keras di atas meja tersebut disebabkan oleh Novan. Ia tidak tahan lagi dengan apa yang polisi di hadapannya bilang, bahwa jika belum dua kali dua puluh empat jam, mereka tidak akan mengambil tindakan. Padahal, Pak Beni sudah menjelaskan pada mereka secara panjang lebar, namun seperti tak menggubris apapun, polisi itu tetap dengan apa yang semula dikatakan.

Langkah cepat nan penuh kemarahan membawa pemuda itu keluar dari kantor polisi tersebut. Ia mengusap wajahnya yang frustasi. Vin menjadi yang pertama menyusulnya ke depan. Segera Novan meraih rokok dalam saku kemeja temannya itu. "Mana korek?" tanyanya pada Vin.

"Sejak kapan lo ngerokok?" sahut Genta yang datang bersama dengan Gopal. Pemuda itu mengernyit karena setahunya, Novan sama sepertinya. Tak merokok.

"Hari ini aja," jawab Novan cepat seraya menerima uluran korek dari tangan Vin. Segera ia menyalakan rokok itu kemudian menjauh sedikit. Bukan sengaja menyendiri, namun Novan tahu bahwa Salfa tidak menyukai asap rokok. Gadis itu punya sensitifitas lebih dengan tenggorokannya, sehingga ketika kena rokok, akan langsung terbatuk-batuk. Ia tahu itu dari Genta, waktu SMA.

Salfa hanya memandang Novan yang menjauh dengan raut kusut. Ia telah sampai di depan, bersamaan dengan Pak Beni. Gadis itu memilih untuk duduk di bangku yang terdapat tak jauh dari tempatnya berdiri. Pikirannya masih terus menyeracau kemana-mana, menyiksa dirinya sendiri. Keberadaan Kinara masih tak diketahui.

"Pak Beni bilang masyarakat disini udah akrab dengan mereka? Tapi kenapa tadi polisi itu kayak nggak percaya sama semua yang kita jelasin?" tanya Salfa dengan sewot. "Setidak-masuk-akal itu kah semua ini buat mereka?"

"Ya… Lo tau lah, Sal. Nggak semua orang percaya git—"

"Lo ngomongin diri lo sendiri?" sergah Salfa dengan cepat sebelum Genta menyelesaikan kalimatnya. "Kalau itu yang lo maksud, gue nggak tertarik buat dengerin!"

Salfa kemudian membuang muka dengan tangan yang bersidekap. Rasanya apapun itu yang Genta katakan tak akan membantu sama sekali, malah hanya membuatnya makin kesal saja. Ia tahu, jika sudah terbawa emosi, ia tak akan pernah menemukan ide untuk mengambil langkah selanjutnya dalam pencarian ini. Gadis itu sangat kecewa karena usahanya mengajak teman-temannya melapor kesini hanya sia-sia saja.

Pak Beni, yang semula berbincang dengan Gopal dan Vin lantas mendekat menepuk bahu Genta pelan. "Sudah, sudah. Nggak ada gunanya ribut. Sekarang kita harus mikir, kita harus gimana," ujarnya.

Genta masih tetap diam di posisinya. Meski Salfa selalu ketus seperti itu padanya, hal itu tak akan membuatnya menjauh barang sedikitpun. Ia hanya menatap intens ke gadis itu, mencoba mengerti kekhawatirannya. Bagaimanapun, berat ketika sahabat sendiri hilang entah kemana.

Sadar bahwa Genta masih juga diam di tempatnya, dengan menatapnya, Salfa memilih untuk pergi. Jika pemuda itu tak ingin menjauh maka dia yang akan menjauh, bahkan tanpa disuruh. Gadis itu melewati begitu saja Genta dan Pak Beni tanpa menoleh. Menuju ke Vin dan Gopal. "Ini gimana sekarang?"

Gopal hanya menghela pelan, menatap Salfa dengan tatapan yang sukar dimengerti. Pemuda itu melirik ke Genta sekilas lalu beralih ke Salfa lagi. "Tuh anak cuma pengen ada disamping lo waktu lo rapuh kayak gini. Masih aja keras kepala," ujarnya karena merasa kasihan pada Genta yang menatap nanar ke arah mereka.

AWAKENED [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now