Dua Puluh Empat : Dibukanya Mata Ketiga

552 113 143
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

Bersama dengan Si Mbah yang tak berkenan memberitahukan namanya tersebut, tiga anak muda itu kembali ke rumah tua yang mereka tinggalkan. Bahkan, untuk sekadar memikirkan Novan apalagi Gopal rasanya tak sempat. Memang kedengarannya jahat, namun otak ketiganya sudah terlanjur larut dalam emosi atas ketidaksadaran mereka mengenai semua yang terjadi. Mereka telah lengah.

Terburu-buru, Genta mengawali masuk dan ketika menoleh ke belakang, rupanya Si Mbah masih diam di ruang tamu mengamati ke setiap sisi. Genta mengernyit, tak tahu apalagi yang harus ditunggu sementara jeritan-jeritan dari dalam sana sudah tidak tahan untuk didengarkan lebih lama.

"Nunggu apa, Mbah?" tanya Vin yang menyadari tatapan penuh tanya dari temannya sehingga ia mewakili untuk bertanya.

Si Mbah matanya masih mengeliling kemana-mana. "Memang handal dia. Bahkan seisi rumah ini telah dikerangkeng olehnya agar tak mengganggu rencananya."

Kinara sungguh ingin menangis. 'Dia' yang dimaksud oleh Si Mbah sudah tentu adalah Widji, ayahnya. Namun gadis itu juga sadar, tidak saatnya untuk menangis sekarang. Bukan waktu yang tepat untuk menjadi lemah saat ini. Ia harus tetap kuat apapun yang terjadi. Dua temannya tengah mempertaruhkan nyawa. Dalam hati, ia hanya bersumpah. Tak akan pernah memaafkan Widji seumur hidupnya. Menurutnya, itu adalah bentuk hukuman atas semua yang telah Widji lakukan.

Si Mbah terlihat komat-kamit, seperti merapalkan sesuatu yang Genta dan Vin serta Kinara sama sekali tidak tahu. Si Mbah keluar dari rumah lagi, membuat mereka mau tak mau jadi mengikuti. Mengesampingkan dulu suara Salfa yang menjerit-jerit dibarengi gubrakan dari barang-barang yang seperti dibanting.

Tangan Si Mbah naik satu ke atas. Awalnya terbuka, namun pelan-pelan berubah menjadi kepalan. Sebelum kemudian beliau membungkuk dan berjongkok dengan kepalan itu yang ditumbukkan ke tanah. Tangan Si Mbah kembali terbuka, mengais tanah disana kemudian membawanya masuk. Genta, Vin, dan Kinara masuk lagi. Dilihatnya Si Mbah membuang sedikit demi sedikit pasir tersebut ke hampir setiap penjuru rumah, tetap dengan mulut yang membaca doa.

"Dia sudah dibawa ke alam lain," ujar Si Mbah ketika berhenti di depan pintu kamar yang penuh dengan papan tersebut.

Vin mengernyit ketika menyadari pintu tersebut sampai nyaris retak. Melihat itu saja hatinya sudah tidak tenang membayangkan bagaimana keadaan Salfa di dalam sana. Ia melirik Genta yang kelihatan sayu. Satu tangan pemuda itu bertumpu di dinding. Vin tahu Genta sangat takut bukan main, mencemaskan Salfa.

"Mbah tau dari mana kalau dia dibawa ke alam lain?" tanya Vin kemudian, karena jujur, ia masih susah menerima pernyataan tersebut. Terlebih ketika melihat Genta diam tanpa sepatah katapun seperti sekarang. "Mbah kan belum lihat langsung?"

"Tuhan memang bermurah hati pada saya," balas Si Mbah yang Kinara mengerti apa maksudnya. Ada unsur penekanan disana menurutnya, mungkin karena Si Mbah merasa telah diremehkan.

"Eh, Vin. Lo apaan sih?" bisik Kinara kemudian berpindah menatap Si Mbah. "Saya percaya Anda, Mbah. Tolong bantu sahabat saya, atau nanti saya nggak akan memaafkan diri saya sendiri. Kalau dia kenapa-napa gimana saya akan kasih tau ibunya? Gimana saya akan jelasin ke ayahnya?"

Melihat gadis berkacamata itu memohon dengan amat tulus, membuat Si Mbah merasa makin tidak tega untuk mengatakannya. Namun, tiga orang ini berhak tahu bagaimanapun juga.

AWAKENED [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang