Care

1.9K 101 1
                                    

"Aku pulang..."

Dean melangkah keluar. "Edward..." Dean melongo melihat tubuh Edward sudah basah kuyup.

"Kau darimana? Memang diluar hujan?" Tanya Dean.

Edward menggeleng. "Tidak. Aku tadi baru menolong seseorang yang tercebur ke danau."

"Apa?" Tanya Dean. "Sssttt..." Edward mengkode Dean untuk diam. "Diam, jangan sampai yang lain tahu. Aku ganti baju dulu." Ucap Edward berlari ke kamarnya cepat.

Dean diam disana menatap saudaranya. "Antara baik dan bodoh hanya beda tipis memang." Batinnya menghela nafas.

---

Dean membuka matanya, sudah cukup lama ia tertidur. "Aku ingat Edward lagi..."

Ia melihat sekeliling dan mendapati seseorang berdiri di balkon.

"Iya. Aku tahu... Aku bisa menjaga diriku sendiri... Sampai nanti."

Adara memutus panggilannya. Ibunya pulang entah kapan. Ia berbalik dan terkejut saat Dean sudah berada di belakangnya.

"Astaga!" Tubuh gadis itu hampir saja terjungkal kebelakang andai saja tangan Dean tidak menahannya.

"Sedang apa disini?" Tanya Dean.

"Kenapa anda bangun dari ranjang?! Ayo kembalilah tidur!?" Omel Adara.

"Aku sudah lebih baik..."

"Benarkah?" Adara menyentuh kening Dean, membuat pemiliknya memejamkan mata.

"Aah, iya... Sudah lebih dingin..." Ucap Adara pelan, tersenyum.

Dean membuka mata pelan. Gadis ini... "Jangan di balkon, bahaya jika aku tak ada." Ucap Dean.

Adara mengangguk. Keduanya hanya saling menatap, "Tuan... Bisakah lepaskan aku?" Tanya Adara.

Dean tersentak dan melepaskan Adara perlahan. "Anda mau makan?" Tanya Adara.

"Kau memasak?" Tanya Dean. Adara tertawa pelan.

"Saya memesannya. Takut jika saya memasak justru tidak enak." Ucap Adara.

Dean tersenyum tipis. "Ya sudah..." Tubuhnya berbalik berjalan menjauh diikuti Adara ke ruang makan.

Adara sudah menyiapkan beberapa makanan. "Saya pesankan pasta. Oma bilang, Anda menyukainya..."

Dean terdiam, Edward yang menyukainya. "Tuan?" "Edward yang menyukainya..." Ucap Dean pelan.

Adara terkejut. "Astaga... Maaf, saya kira..." "Tidak apa-apa..." Ucap Dean mulai memakan pastanya.

"Saya juga buatkan jus. Saya tidak tahu Anda suka apa. Saya ambil saja yang ada di kulkas." Ucap Adara.

Dean mengangguk. "Tidak pake es?" "Tentu saja tidak... Anda baru demam, bagaimana bisa saya beri anda es?" Tanya Adara.

Dean Mengedikkan bahunya. "Ya sudah. Aku hanya bertanya." Ucapnya pelan.

Adara menatap jam tangannya. Sudah jam 8.

"Apakah setelah ini saya bisa pulang?" Tanya Adara.

Dean mendongak, "Jam berapa ini?? Menginap saja. Ada satu kamar kosong di sebelah kamarku." Ucap Dean santai.

"Tidak perlu, saya pulang saja." Ucap Adara.

"Kenapa membantah?" Tanya Dean.

"Saya tidak bawa baju ganti." Ucap Adara.

Dean menghela nafas menyahut handphone nya. "Carikan baju tidur, setelan kerja dan semua kelengkapannya untuk sekretarisku. Antar ke apartement, minta petugas apartement membawanya untukku..."

"Tuan! Itu tidak--"

"Terimakasih." Dean meletakkan handphone nya ke atas meja cepat.

"Makan. Aku mau kau menginap. Bagaimana jika tengah malam demamku kembali lagi?" Tanya Dean.

Adara lemas. Pasrah sudah. "Baik."

"Lagi pula kau juga sudah pernah menginap disini. Untuk apa sungkan?"

"Tapi itu berbeda..."

"Apa bedanya? Kau akan tidur di kamar yang sama. Kita beda kamar." Ucap Dean.

Adara diam saja tak protes lagi. "Habiskan makananmu. Jangan hanya diaduk." Ucap Dean.

Adara diam melahap makanannya. Ada sesuatu yang hilang. Kemana istri bosnya? Apa mereka sungguhan akan bercerai? Kenapa?

---

Risa melangkah masuk ke unit apartement milik Gio. "Gio..." Panggilnya.

Laki-laki yang tadinya duduk di sofa menatap layar televisi menoleh. "Ada apa kau kesini?"

Risa menghela nafas. "Maafkan aku-" "Sudah kubilang mantapkan hatimu. Jangan kembali padaku..."

"Dean benar-benar menceraikanku." Ucap Risa.

Gio terdiam. Laki-laki itu... "Lalu?" Risa terdiam. Keduanya sama-sama senyap kecuali suara televisi yang memenuhi ruangan.

"Sudah malam. Bersihkan dirimu. Pergilah tidur." Ucap Gio. Risa bangkit melangkah ke kamar. Membiarkan Gio masih disana.

Gio terdiam. Salahnya jika ia dulu keras kepala dan malah menghamili wanita itu.

Tapi, apa boleh buat...

"Hah..." Eluhnya pelan menyandarkan kepalanya ke sofa.

Gio menutup matanya. "Aku akan menceraikannya. Tolong, jauhkan dia dariku. Bawa dia pergi."

Pertemuan terakhir itu...

Gio membuka mata. "Akan ada kekacauan apa jika aku tak membawa Risa kemana-mana?" Batinnya menatap kosong langit-langit.

Sejauh ini, Dean memang tak berusaha balas dendam atau menghajarnya. Laki-laki itu justru berusaha agar ia bisa bercerai dari Risa.

Perjodohan itu memang amat memaksa keduanya. Gio tahu tentang awal pernikahan yang bahkan sangat dibenci Dean.

Bukan salahnya jika ia memilih mencampakkan Risa. Gio terdiam, ia harus mulai memikirkan semua kemungkinan terburuknya.

"Aku harus tetap tenang. Aku harus tetap hati-hati. Aku tak boleh salah langkah." Batinnya bangkit berjalan menuju kamar.

-tbc-

Beauty And The BossWhere stories live. Discover now