D-Day

1.2K 62 1
                                    

Sudah 2 hari sejak Adara benar-benar dikurung oleh Dean. Rumahnya dijaga dan ia tak bisa kemana-mana.

Adara juga tidak lagi menerima surat teror itu. Tapi 2 pengawal penjaganya mengatakan sesuatu tentang pengirim surat itu.

"Tak ada yang tahu. Bahkan saat kejadian penyerangan itu, CCTV tak menangkap siapapun selain pejalan kaki yang ikut terkejut melihat gedungnya rusak."

Adara menghela nafas. "Aku yakin, pencuri di surat itu adalah aku, aku yang mereka maksud. Dan harta itu, bisa jadi itu Dean." Ucapnya dalam hati.

Adara melihat keluar jendela. Akses keluar rumah hanya satu, di gerbang utama.

"Aku harus apa..." Ucapnya. Tak lama telepon rumahnya berdering.

"Halo?"

"Siap untuk mengembalikan milikku, gadis kecil?"

Adara mematung seketika. Suara ini... Ia yakin dialah pelaku penyerangan dan pengirim surat itu. Suaranya disamarkan.

"Siapa kau?" Tanya Adara.

"Menanyakan namaku sama seperti kau menanyakan sesuatu pada bayanganmu, sayang."

"Tolong, jika masalahmu adalah aku, jangan libatkan Dean." Ucap Adara. Si penelepon tertawa.

"Aku akan mencoba. Sampai bertemu nanti, Adara."

Tut...

"Halo! Halo!! Kau..."

Adara makin panik. "Jangan-jangan..."

Adara menghubungi Dean, nomor tidak aktif. Sekali lagi ditelepon, tetap sama saja.

Adara mencoba telepon ruangan. Tapi ia baru ingat jika tidak dihubungkan oleh telepon di ruangannya, telepon itu tak bisa dihubungi siapapun.

Tak pikir panjang, ia menelepon Silvana. "Halo, Adara! Kemana saja kau!"

Adara terkejut karena Silvana berteriak begitu saja.

"Ceritanya panjang, sekarang ke ruangan tuan Dean." Ucap Adara.

"U-untuk apa? Aku tidak berani!" Ucap Silvana.

"Aku tak bisa menghubunginya! Kau harus ke ruangannya sekarang! Suruh dia pulang, jangan biarkan dia menyetir sendiri. Atau pergi ke ruanganku sekarang, sambungkan teleponku dengan telepon ruangan Dean!?"

Silvana ikut panik segera keluar dan menuju lantai atas untuk masuk ke ruangan Adara.

"Sebenarnya ada apa? Kenapa sejak penyerangan itu kau tak ke kantor?" Tanya Silvana.

"Dean memintaku tetap dirumah, karena ia khawatir aku akan terluka karena peneror itu..."

"Apa hubungannya denganmu?" Deg...

Adara lupa, Silvana tak tahu apa-apa. Bahkan tidak ada yang tahu.

"Adara... Bukannya Tuan Dean sudah punya istri?" Tanya Silvana.

"Ini bukan saat yang tepat untuk cerita, Silvana..." Ucap Adara memijat pelipisnya.

"Lalu kenapa Tuan Dean harus sekhawatir itu?"

Adara mendengus. "Beliau sudah cerai dengan istrinya dan aku calon istrinya yang baru..."

"Kau pelakor!!!!!?"

"Aku tidak seperti itu, bodoh!!" Omel Adara.

Silvana tiba, tapi...

"Kunci ruanganmu..."

Adara menepuk jidat. "Sial..."

"Aku harus apa?" Tanya Silvana. Adara harus keluar dari rumahnya.

"Tunggu disana. Aku akan ke kantor sekarang." Ucap Adara memutus panggilan.

Beauty And The BossWhere stories live. Discover now