Spy

1.5K 82 0
                                    

Adara memulai kesibukan dengan laporannya. "Seminggu bisa dapat apa..." Umpatnya pelan.

Dean membuka pintu ruangan Adara cepat. "Astaga!?" Panik Adara.

"Ke ruanganku..." Ucap Dean. Adara mengerutkan dahinya.

"Ada apa?" Tanya gadis itu bangkit.

Dean melangkah keluar disusul Adara di belakangnya.

Laki-laki itu masuk ke ruangan dan mengambil satu dokumen. "Ada apa sebenarnya?" Tanya Adara.

Dean memberikan dokumen itu. "Laporanmu..."

Adara melongo. "Apa?"

"Aku tahu, beberapa waktu disini kau tak sempat melakukannya. Pelajari ini saja... Ujianmu pasti lancar..." Ucap Dean.

Adara terdiam. "Ambil... Lagi pula di waktu terakhir disini, kau akan membantuku. Kita akan sangat sibuk." Ucap Dean.

Adara mengambilnya ragu. "Ini serius?"

Dean mengangguk. Adara tersenyum. "Terimakasih!" Ucapnya mendekap Dean. Lelaki itu membeku.

"Aaahh, padahal aku sudah panik, laporan dalam dua minggu apakah mungkin selesai dengan pekerjaanku yang menumpuk..." Ucap Adara.

Dean tersenyum balas mendekap Adara. "Senang sekali sampai kau harus memelukku seperti ini?" Tanya Dean.

Adara sadar, "M-maaf!!!" Paniknya melepaskan diri. Dean terkekeh pelan.

Wajah Adara mulai memerah. "Tak masalah..." Ucap Dean menatap gadis itu.

"Jangan melihatku seperti itu!?" Dean makin tertawa.

"Lucu sekali..." Ucap Dean.

Adara mencebik. "Tentang tawaranku..." Adara mendongak.

"... Kau mau?" Tanya Dean.

Adara mengalihkan pandangannya. "Aku ingin perceraianmu selesai, tuan." Ucap Adara.

"Jika selesai?" Tanya Dean.

Adara kembali menatap Dean. "Ya... Itu..."

"Aku akan menyelesaikan semuanya." Ucap Dean.

Adara diam. Apakah orang ini sungguhan? "Aku tak ingin gagal lagi..." Ucap Dean.

Adara melangkah kearah jendela ruangan. Ia menatap hamparan gedung kota diluar sana.

"Apakah seorang yang dingin sepertimu bisa jatuh cinta secepat itu pada seseorang sepertiku, tuan?" Tanya Adara.

Dean diam. Sebenarnya apa yang dia pikirkan.

"Pikirkan saja dulu baik-baik... Aku juga tak ingin gagal." Ucap Adara berbalik berjalan keluar ruangan.

Dean diam disana. "Aku juga belum yakin. Adara belum menerimaku." Ucap Dean mendengus.

Adara masih di luar ruangan, memeluk dokumen laporannya. "Bosku melamarku? Menembak? Apa istilahnya?" Batin Adara.

Ia lanjut melangkah kearah ruangannya.

Sekitar pukul 6 sore, Adara baru keluar dari kantor.

"Aku harus tidur setelah ini. Sakit sekali badanku..." Ucapnya pelan.

Parkiran bahkan sudah sepi. Jam kantor memang sudah berakhir dari jam 4 sore tadi.

"Padahal masih jam segini." Ucapnya. Ia masuk kedalam mobil dan berkendara cepat.

"Ikuti dia..." Dari kejauhan nampak seseorang sepertinya sudah menunggunya.

Dean masuk ke dalam rumah. Ia mendengar suara beberapa orang didalam.

"Mama, papa?"

Dua orang yang tengah duduk bersama oma di ruang tengah menoleh.

"Sudah pulang, nak?" Tanya ibunya bangkit dan melangkah mendekat.

Dean balas mendekap ibunya, "Tumben mama kesini, ada apa?" Tanya Dean.

"Hanya ingin mengunjungi Oma, papa juga ingin bicara denganmu." Ucap ibunya pelan.

Dean beralih menatap ayahnya. "Papa mau bicara soal Risa?" Tanya Dean.

"Kita bahas tempat lain saja..." Ucap ayahnya melangkah menjauh.

Dean menghela nafas. Bukankah terlalu mengekang jika urusan rumah tangganya saja di campuri oleh tangan orangtuanya.

"Aku permisi dulu ya, ma..." Ucap Dean. Ibunya hanya mengangguk.

Dean melangkah mengikuti ayahnya ke taman belakang. Setidaknya, Oma takkan mendengar pembicaraan mereka disana.

Mereka duduk di kursi taman. "Papa ingin bicara soal apa?" Tanya Dean.

Ayahnya diam mengeluarkan sebuah amplop coklat. "Buka..."

Dean mengerutkan dahinya. Ia membuka amplop itu, isinya beberapa lembar foto. Tapi...

"Adara?"

"Apakah wanita ini yang membuatmu menceraikan Risa?"

"Aku berniat menceraikan Risa sebelum aku bertemu dengan Adara." Ucap Dean.

"Apakah itu hanya alasan?" Tanya ayahnya pelan.

"Pa... Bukankah sudah kuberikan lembar tes DNA itu? Apa papa waras membiarkanku dikhianati begitu saja?" Tanya Dean.

"Kau yang tidak waras, Dean... Risa adalah wanita terbaik pilihan papa dan mama, tapi kau menyia-nyiakannya." Ucap Ayahnya mulai keras.

"Papa hanya ingin menyelamatkan perusahaan. Aku tahu itu, sekarang perusahaan kita baik-baik saja meski berjalan tanpa saham milik keluarga Risa. Papa kira aku tak tahu jika perjodohan ini hanya usahamu menjualku?"

Plakkkk!!!

Dean merasakan pipi kirinya terasa panas. "Jaga bicaramu, anak muda..."

"Jaga juga attitude mu, papa." Ucap Dean menatap ayahnya sedih.

"Aku berusaha bersikap baik padanya, papa..." Lanjutnya menegakkan badan.

"Maka batalkan perceraianmu..."

"Tidak akan pernah." Ucap Dean berdiri begitu saja.

"Aku tak peduli jika papa akan mengambil harta warisan yang sudah kumiliki. Aku sungguh takkan peduli. Aku hanya ingin hidup sesuai kehendakku." Ucap Dean.

"Lagi pula, aku tak pernah sekalipun memohon kepada papa untuk mengijinkan Edward mendonorkan jantungnya padaku. Haruskah aku balas budi padamu atas matinya saudaraku? Tidak, kan?" Tutup Dean kepalang emosi.

Ia melangkah menjauh dari sana, berjalan melalui ruang tengah dan melewati Oma dan ibunya begitu saja.

"Dean..." Tahan ibunya.

"Ma... Lepas..." Ucap Dean.

"Apa yang terjadi? Jangan seperti ini..." Ucap ibunya panik. Oma diam disana. Ia tahu betul seperti apa Dean meski hanya dengan melihat.

"Jangan sampai aku berteriak, ma... Lepas..."

Ibu Dean terdiam. Tangannya melepaskan Dean.

Oma menghampiri ibu Dean cepat. "Biarkan..." Ucap Oma. Ibunya terdiam melihat Dean menjauh.

"Dia bahkan belum makan..." Ucapnya pelan.

Dean masuk kedalam mobilnya. Ia berkendara menjauh. "Memang sebaiknya aku tidak dirumah." Ucapnya pelan.

-tbc-

Beauty And The BossUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum