Truth

1.5K 85 1
                                    

Dean terengah, tapi ia tiba secepat yang ia bisa. Ia menekan tombol bel cepat.

Ting tong... Ting tong...

Dean menggigit bibir bawahnya, "Kenapa aku segugup ini?"

Pintu tiba-tiba terbuka, memperlihatkan wajah Adara yang nampak datar.

"Adara..."

"Masuklah, tuan."

"Disini saja, tak masalah..." Ucap Dean.

"Saya tak ingin orang berfikir macam-macam saat melihat kita berdua." Ucap Adara.

Dean melangkah masuk, sementara Adara menutup pintunya cepat.

"Duduklah. Biar saya ambilkan minum dulu. Anda ingin apa?" Tanya Adara.

Dean menarik Adara, ia mendekapnya erat. Adara diam.

"Kumohon!? Jadilah Adara yang seperti biasanya!?"

Adara yang masih terkejut hanya terdiam tak membalas dekapan Dean.

"Aku minta maaf! Aku benar-benar tak sadar karena minuman bodoh itu! Aku..."

"Ayah anda menelepon saya. Ia meminta saya untuk menjauhi anda, tuan. Saya tak bisa menolaknya." Sahut Adara.

Dean seketika melepas dekapannya. "Apa kau bilang?"

Adara berjalan dan duduk di sofa cepat. "Itu kebenarannya." Ucap Adara.

"Apa yang papa katakan?"

"Saya harus menjauhi lelaki beristri sepertimu, tuan. Walaupun saya sendiri tahu jika anda sudah menceraikan perempuan itu. Tapi, saya tak ingin mengambil resiko." Jelas Adara.

"Kita adalah sesuatu yang salah. Perasaan anda, perasaan saya... Itu semua sudah salah. Tak seharusnya saya seperti ini, karena tujuan awal saya datang adalah sebagai mahasiswa magang. Bukan perebut suami orang." Lanjut Adara lagi.

Dean menghela nafas. "Aku bisa jelaskan kenapa aku harus menceraikan istriku..."

"Istri anda berkhianat, saya tahu persis tentang hal itu..." Ucap Adara kembali memotong kalimat Dean.

"Kalau begitu, biarkan aku menanyakan sesuatu padamu."

"Silakan."

"Bagaimana perasaanmu tentangku?" Tanya Dean.

---

Risa melangkah pelan menyusuri rak supermarket. Ia harus belanja banyak karena kebutuhannya mulai habis.

"Aku ingin apa lagi..."

Risa menatap deretan bahan makanan disana.

"Risa?"

Risa berbalik mendapati ibu Dean berdiri disana. "Mama?"

"Mama harus bicara..."

Dan berakhirlah mereka di sebuah restoran tak jauh dari supermarket.

"Terimakasih..." Ucap ibu Dean pada seorang pelayan restoran.

"Jadi..." Risa menegakkan duduknya, menatap ibu mertuanya disana.

"... Apa kabar?"

"B-baik, ma..." balas Risa.

"Proses perceraian kalian sudah proses setengah jalan, bukan?" Tanya ibu Dean.

"Iya. Saya tidak bisa lagi membujuk Dean."

"Sebenarnya mama kecewa padamu, seharusnya kau jujur dari awal." Ucap Ibu Dean.

"Saya sudah berusaha. Tapi orangtua saya tidak mendengarkan." Ucap Risa.

"Karenamu Dean bertengkar dengan ayahnya. Ia bahkan tak menyapa ayahnya sendiri. Kenapa kau tak ada usaha untuk itu?"

Jadi, Dean bertengkar dengan ayahnya?

"Maaf, ma... Saya tidak bisa selancang itu. Apalagi Papa pasti tidak membiarkan saya bercerai dengan Dean."

Di hati kecil Risa, ia juga tak ingin bercerai.

"Aku ingin kau datang ke rumah. Bicara dengan ayah Dean. Mereka akan terus begitu jika tak ada orang yang meluruskan." Ucap ibu Dean.

Risa terdiam. Tiba-tiba sebuah ide melintas. "Saya akan mencoba..."

---

"Bagaimana perasaanmu tentangku?"

"Saya sudah menemukan yang saya cari, tuan. Tuan cukup tahu apa jawaban saya..."

"Apa maksudmu?" Tanya Dean.

"Jantung milik orang yang ku cari ada padamu. Apa anda ingin saya melakukan yang sama seperti Oma? Menganggap tuan sebagai Edward..."

Dean makin kacau. Bagaimana bisa Adara justru jatuh cinta pada Edward.

"Aku memang kurang beruntung..." Umpatnya dalam hati.

Dean berjalan masuk ke dalam rumah. Ia tak mengira akan benar-benar memilih untuk kembali pulang. "Aku pu..."

Ia menghentikan langkahnya. "Kau sudah pulang?" Tanya Risa muncul.

"Sedang apa kau disini?" Tanya Dean.

Risa tersenyum, berjalan mendekat. "Papa memintaku pulang dan kita akan perbaiki semua..."

"Apa katamu?" Tanya Dean.

"Dean, suamiku yang kusayang... Tentu saja perceraian kita takkan mulus jika papa percaya bahwa anak itu adalah yang membuatmu begini..."

"Apa maksudmu!? Apa yang kau katakan pada papa tentang Adara!?" Dean mulai emosi.

"Tentu kau tak perlu tahu..." Dean makin terdiam. 

Adara terdiam, ayah Dean benar-benar duduk dihadapannya. "Apa yang kau lakukan pada putraku? Kenapa kau harus melakukan itu?"

Adara diam. Tak ada yang bisa ia jawab. "Jawab, gadis jalang..." Adara hanya sanggup menarik nafas panjang. 

"Untuk kesekian kali, saya bukan wanita seperti itu, tuan..." Ucap Adara.

"Lalu bagaimana bisa kau menjelaskan semuanya?" desak ayah Dean menatapnya tajam. 

"Memang siapa yang memberitahu Anda mengenai berita murahan ini?" Ucap Adara.

"Apa pentingnya untukmu?"

Adara menyahut gelas dihadapannya. Ia melempar gelas itu kearah pintu. Pyarrr!! 

"Saya tidak jatuh cinta pada Dean, tuan. Saya mencari Edward yang sudah meninggal karena anda biarkan dia mendonorkan jantungnya pada Dean!?" Umpat Adara. 

Ayah Dean terdiam disana, tak mengira gadis dihadapannya tahu soal Edward. "Bagaimana kau tahu tentang Edward?" Tanya ayah Dean.

"Saya tahu dia dan semua hal lebih dari pada anda, tuan. Dan jika anda kira saya lemah, anda salah besar. Saya minta anda keluar dan bawa orang-orang anda pergi dari sini..."

Adara bangkit menuju pintu dan membuka pintu cepat.

"Keluar..."

-tbc-

Beauty And The BossМесто, где живут истории. Откройте их для себя