Shall we?

1.7K 88 0
                                    

Adara mematung, "T-tuan..."

"Bolehkah aku mengulangi kesalahanku di mobil?" Tanya Dean.

Adara makin kaku. "T-tapi... Saya..."

"Aku membutuhkannya..." Ucap Dean pelan menatap Adara sayu.

Gadis itu diam. Tak tahu harus bersikap bagaimana.

"J-jangan, tuan. Bagaimana jika..." "Tidak ada yang tahu tempat ini... Kumohon..."

Adara diam. "Kau membuatku gila beberapa hari ini..." Ucap Dean.

Adara melongo, "Aku khawatir saat tak melihatmu." Ucap Dean.

Jadi selama ini, bos nya mengawasinya?!

"T-tuan, itu..." "Bisakah panggil aku Dean?"

Adara terdiam. "Jadilah milikku..." Ucap Dean. Gadis itu makin diam.

Dean diam menatap bibir mungil gadis dihadapannya. Ia bergerak mendekat, Adara pun diam tak bergerak.

"Demi tuhan, apapun! Ini salah!" Jerit Adara dalam hati, ia mulai menutup mata.

Tapi tangannya bergerak, menahan Dean untuk mendekat. "Ra?"

"Berhenti..."

Adara membuka mata. Dean menatapnya, dahinya berkerut.

"Yang kita lakukan salah..." Ucap Adara pelan. Dean diam mendengarkan.

"... Meski anda sudah bercerai, tapi masih proses, tuan. Apa anda sadar itu?" Tanya Adara.

"Bukankah sudah kujelaskan jika aku tak bisa menahan diri untuk tetap hidup di dekat seorang pengkhianat?"

"Bukankah jika memintaku tinggal, kau jadi sama saja seperti wanitamu itu, tuan?" Tanya Gadis itu tajam.

Dean terhenyak, diam. "Apakah aku hanya akan jadi pelampiasan?" Tanya Adara.

Dean tetap diam. "Jangan lakukan itu... Saya tak masalah jika anda menyukai saya atau semacamnya. Tapi saya tak ingin jadi pelampiasan..."

Adara beralih kembali menghadap piringnya. Sementara Dean masih terdiam mencerna apa yang baru saja terjadi.

Siangnya, Adara memilih pulang. Ia meninggalkan semua dokumennya, mungkin Jonathan yang akan mengambilnya.

Ia menghempas tubuhnya ke ranjang. "Apakah yang dikatakan laki-laki itu benar?" Batinnya menatap kosong langit-langit kamarnya.

"Kenapa..." Ucapnya pelan. Adara memejamkan matanya erat.

Di tempat lain, Dean terdiam menatap beberapa tumpukan dokumen miliknya.

"Bukankah kau jadi sama saja seperti istrimu, tuan?"

Kalimat itu...

Tak lama, seseorang menekan belum apartementnya. Dean membuka pintu cepat.

"Waahhh, bisa-bisanya kau menyembunyikan apartement semewah ini dariku..." Ucap Jonathan masuk begitu saja.

"Dasar... Aku tak ingin Risa mendekat lagi." Ucap Dean menutup pintu dan kembali menguncinya.

"Iya, iya... Aku tahu..." Ucap Jonathan duduk di sofa.

"Hei..." Panggil Dean.

"Aku punya nama..." Ucap Jonathan meminum minuman yang ada di meja. "... Woahhh... Berhenti minum anggur, tuan. Tapi aku suka. Ada lagi?" Tanya Jonathan.

Dean menghela nafas. "Aku ingin tanya sesuatu..."

"Tanya saja. Kenapa kau jadi seperti orang bodoh?" Tanya Jonathan meminum anggurnya lagi.

"Menurutmu, jika aku menyukai wanita lain dan membawanya kemari, apakah aku sama seperti Risa? Pengkhianat?" Tanya Dean.

Jonathan menoleh. "Kau bawa wanita kesini?" Tanyanya.

Dean menggeleng, "Jawab dulu..."

"Bukan pengkhianat, bajingan lebih tepatnya. Bagaimana bisa kau melakukannya?" Tanya Jonathan.

Dean terdiam. Ternyata benar.

"Kau belum resmi cerai, Risa sudah pergi dengan laki-laki itu. Gio meneleponku tempo hari. Ku bilang, tak masalah dan ternyata kau sendiri membawa wanita lain. Katakan, siapa dia..." Ucap Jonathan menatap Dean.

Dean diam. Menggeleng. "Aku tak ingin membicarakannya. Dia marah padaku karena hal itu. Dia pikir, ia hanya pelampiasan..."

"Cerdas sekali wanita itu..." Ucap Jonathan.

Dean diam. Ia sudah lama memperhatikan Adara. Sejak ia masuk ke kantor. Bukankah itu sudah lama?

"Kapan mahasiswa magang selesai?" Tanya Dean.

"Bulan depan."

"A-apa???"

"Kenapa sekaget itu?" Tanya Jonathan. Dean menghela nafas dan menggeleng.

"Seharusnya kau tahu kenapa aku menjadikannya sekretaris, bukan pegawai biasa." Batin Dean.

---

Adara melangkah keluar rumah, ia harus membeli bahan makanan. Seharusnya ia membelinya tadi siang.

"Aahh, dasar pelupa..." Umpatnya pelan.

Sudah hampir dua minggu. Yang ia lakukan hanya mendiamkan Dean. Datang ke ruangan, memberikan jadwalnya dan pergi lagi.

"Aku yakin aku tak menyukainya. Aku tak jatuh cinta padanya."

Tapi ia bisa cukup gila memikirkan laki-laki itu. Betapa beruntungnya wanita yang mendapatkannya.

Adara membuka pintu gerbang dan mendapati Dean disana.

"Sedang apa disitu?" Tanya Adara.

Dean menoleh. "Ayo bicara sebentar..."

"Aku harus belanja." Ucap Adara. Pertama kalinya ia bicara seperti ini.

"Biar kuantar..." Adara menggeleng.

"Hanya dekat. Jika mau, tunggu saja dulu. Aku lebih suka pergi sendiri." Ucap Adara melangkah begitu saja.

Dean menghela nafas, "Marah, huh?" Ia memilih melangkah mengikuti Adara.

Adara diam sepanjang jalan, padahal ia tahu Dean di belakangnya.

"Aku sudah cukup kasar, bukan?" Batinnya.

Tiba di persimpangan jalan, Adara yang setengah melamun justru menyeberang jalan begitu saja.

"Ra!"

Dean berlari menarik Adara sebelum sebuah mobil melesat kencang hampir menabraknya.

Deg...

Adara memejamkan mata erat, "Tidak apa... Kau aman..."

Adara terdiam merasakan seseorang mendekapnya erat. Ia membuka mata, mendongak.

"Tuan..."

"Jangan melamun. Untung saja aku mengikutimu..." Ucap Dean.

Adara hanya diam. Jika tak ada Dean mungkin...

-tbc-

Beauty And The BossNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ