Puppet

1.3K 76 2
                                    

Adara melangkah malas ke kelas. Ya... Kelas pertama setelah magang.

"Adara..." Panggil seseorang.

Adara menoleh mendapati seorang laki-laki disana. "Oh, Kenan..."

Laki-laki itu tersenyum. "Ada waktu? Ayo bicara..."

Jadilah Kenan dan Adara di kantin pagi itu. "Ada kelas hari ini?" Tanya Kenan.

Adara mengangguk. "Iya... Tapi masih satu jam lagi. Aku berangkat pagi karena takut jalanan macet."

"Bagaimana magangmu?" Tanya Kenan.

Adara terdiam. "Biasa saja..." "Kudengar kau di rekrut sebagai sekretaris?" Tanya Kenan lagi.

"Iya... Bagaimana kau tahu?" Tanya Adara.

"Keisha bilang..." Ucap laki-laki itu meminum jusnya.

"Dasar." Umpat Adara pelan.

"Oh iya, aku lupa... Aku ingin mengabarimu tentang acara bazar buku di kota. Jika kau mau ikut, kau bisa berangkat bersamaku..." Ucap Kenan.

"Benarkah? Huwaa... Aku sudah lama menunggu bazar itu..." Ucap Adara senang.

Kenan memberikan selebaran. "Aku panitianya. Kau bisa menanyakan buku apa yang kau inginkan. Jadi kau takkan kecewa nanti jika koleksi kami habis atau tidak ada..."

Adara berbinar. Ia bisa menemukan banyak buku yang diinginkannya.

"Kurasa aku akan tetap dapat... Terimakasih, aku akan datang sendiri memilih." Ucap Adara tersenyum.

Kenangan mengangguk. "Jangan sampai terlambat..."

Adara mengangguk.  

Tiba malam hari, Adara menatap keramaian. "Ramai sekali..." Ucapnya pelan. Kenan muncul, "Hai..." Ucapnya.

Adara terkejut menatap Kenan yang mendadak muncul. "H-hai..."

"Ayo. Kita tidak akan kebagian buku nanti."

"Katamu aku takkan kecewa?" Tanya Adara. Kenan tertawa. "Iya, makanya ayo..."

Kenan menarik Adara melangkah menembus keramaian, "Apa yang ingin kau cari?" Tanya Kenan.

"Entahlah, aku harus pilih yang mana dulu..."

"Belakangan kita jarang pergi bersama. Menyenangkan bisa kembali seperti semula."

Adara diam, apa yang semula?

Kenan menemani Adara membeli beberapa buku dan berakhir di sebuah kedai ramen yang tak jauh dari kawasan bazar.

"Aku tidak tahu jika disini ada ramen." Ucap Adara.

"Aku juga tidak tahu..." Ucap Kenan.

Adara mengerutkan dahinya. "Lalu kenapa mengajakku kemari?"

"Karena aku penasaran." Adara tertawa pelan.

"Kenan bodoh..." Ucap Adara. "Aku hanya tak tahu harus apa setelah kejadian beberapa waktu lalu."

Adara terdiam. "Maaf..."

"Tidak apa-apa. Ku lihat kau sudah baik-baik saja. Kurasa itu cukup." Ucap Kenan.

Kejadian pengusiran ayah Dean sampai Adara harus membanting gelas kearah pintu tak sengaja didengar Kenan ketika melintas didepan rumahnya.

"Mengejutkan saat mendengarmu masuk bagian sekretaris begitu mudah." Ucap Kenan.

Adara hanya diam, belum ingin menanggapi apapun.

"Seharusnya kau cerita..." Ucap Kenan.

"Kau akan menganggapku murahan seperti yang lainnya..."

Kenan menatap Adara yang tersenyum menatap minumannya.

"... Aku terlalu buruk sekarang."

"Kenapa bicara seperti itu. Kau anak baik." Ucap Kenan meletakkan tangannya diatas kepala Adara.

"Kau akan selalu jadi anak baik..."

Adara menatap Kenan. Laki-laki itu tersenyum begitu lebarnya. "Terimakasih..." Ucap Adara pelan. 

***

Dean diam di meja makan. "Kenapa tidak makan?" Tanya Risa. 

"Aku tidak lapar."

"Makanlah, Dean. Beberapa hari ini kau jarang sekali makan." Ucap Ibu Dean. "Bagaimana aku mau makan dengan jalang di sebelahku?" 

Seisi ruangan terhenyak. "Dean, jaga bicaramu." 

"Semua gara-gara ayahku sendiri. Hidupku seperti boneka. Jika tahu begini lebih baik aku mati dari dulu." Ucap Dean pelan. 

Plak!!! 

Tamparan keras di pipi kanannya membuat Dean terhenyak. "Pa!?" Panik ibu Dean menahan ayah Dean yang sudah naik pitam. "Jaga bicaramu..." Ucap Ayah Dean. 

"Papa yang harusnya berhenti ikut campur..." Ucap Dean pelan. 

"Kau tak apa?" Tanya Risa. "JANGAN SENTUH AKU, JALANG!!" Teriak Dean. 

Oma terdiam disana. "Aku sudah bersabar menghadapi kalian!? Bisakah sekali saja biarkan aku hidup sesuai keinginanku!? Kenapa aku harus jadi keturunan keluarga pemain boneka seperti kalian, ha!?" Umpat Dean. 

"Jika tahu begini, lebih baik aku mati. Edward seharusnya disini!? Bukan aku!?" Beberapa detik kemudian, Dean menyadari sesuatu. Oma... 

Oma bangkit melangkah menjauh. "Oma..." 

"Istirahatlah, Dean..." Ucap Oma. Untuk pertama kalinya Dean mendengar namanya dari mulut neneknya itu. "Kau panggil aku apa?" Tanya Dean menyusul Oma secepatnya. 

Oma menatap Dean. "Aku tahu kau Dean. Tapi kau sepasrah itu saat aku memanggilmu dengan nama saudaramu." Dean terdiam. 

"Aku takkan marah, jika aku jadi dirimu aku pasti lebih marah dari tadi." Ucap Oma. Dean diam. "Pulang lah ke apartementmu, pulang jika kau sudah siap." Ucap Oma. 

"Ma!?" Teriak ayah Dean. "Beraninya kau berteriak padaku!?" Balas Oma. "Aku sudah bilang biarkan cucuku memilih pilihannya sendiri. Kau sudah lihat menantumu itu berkhianat, kenapa kau terus membiarkan anakmu sakit?" Tanya Oma. 

Oma mendorong Dean pelan. "Pergilah..." Ucap Oma. Dean mengangguk. "Dean..." Panggil Risa menghampiri Dean. "Pergi dariku. Aku muak melihatmu." Ucap Dean menyahut kunci mobil dan handphonenya. 

Risa terdiam tak lagi mengejar laki-laki itu. Dean melangkah keluar dan mengendarai mobilnya secepat yang ia bisa. 

"Kembalilah kalian ke rumah kalian. Aku hanya mengijinkan cucuku yang tinggal disini. Bukan kalian bertiga. Aku tak ingin melihat kalian besok pagi." Ucap Oma melangkah ke kamarnya. "Bawa makananku ke kamar." Pesannya pada seorang pelayan. 

"Papa, aku harus apa..." "Kembalilah ke rumah orang tuamu. Aku tak bisa memaksa Oma." 

Adara melangkah menenteng belanjaannya. Kenan masih di bazar karena masih banyak orang datang. 

"Hah... Seharusnya aku tak langsung membeli sebanyak ini..." Umpat Adara pelan. Pikirannya kembali melayang ke Dean. Ia tak seharusnya bicara soal Edward. Itu terlalu menyakitkan. 

Adara menghela nafas, namun ia menatap kedepan. Seseorang duduk bersandar didepan mobilnya. Adara hafal siapa dia, tapi tidak mungkin. 

Dean melihat Adara dari kejauhan. Ia bangkit dan melangkah mendekat. "Berhenti!" Ucap Adara. "Tolong, jangan mendekat." Ucap Adara. 

-tbc-

Beauty And The BossWhere stories live. Discover now