07. Nightmare

5.3K 703 45
                                    

Seorang anak berusia empat tahun meringkuk di samping ranjangnya. Sekitarnya gelap gulita, tak ada sedikit pun cahaya yang terlihat. Sepertinya hari ini mati lampu, karena di luar sana lampu milik tetangga juga tak tampak menyala. Hujan deras dengan petir bersahutan semakin memperburuk segalanya. 

Tubuh mungil itu menggigil karena rasa takut yang menyelimuti ujung kaki sampai kepala. Ia ingin berteriak, tapi sejak tadi ia menahan suara apa pun keluar dari mulutnya. Gadis cilik itu menggigit bibirnya sendiri hingga berdarah. Ia ketakutan setengah mati.

Di kepala mungilnya segala skenario mengerikan tercipta. Kegelapan ini bukan kamarnya. Tetapi sebuah kastil milik nenek sihir jahat yang dipenuhi banyak monster. Jika ia bersuara, monster-monster itu akan memakannya. Mengunyah tubuh mungilnya, lalu menyisakan jantung dan mata. Lagi-lagi ia ketakutan setengah mati.

Aroma tanah basah akibat hujan dianggapnya aroma lumut dari rumah nenek sihir jahat yang tak pernah dibersihkan. Aroma itu begitu menyengat, membuatnya ingin muntah. Tenggorokannya terasa panas--seperti tercekik.

Oh, tidak! Bahkan kini monster-monster itu merambat di kakinya. Membuat air matanya luruh dan tubuhnya semakin menggigil. Boneka teddy bear-nya seperti hidup dengan mata merah darah dan taring panjang. Gadis cilik itu memejamkan matanya erat-erat. Ia takut setengah mati. Ia tidak mau mati dikunyah monster

Maafin Wina Mama ... Buka pintunya Mama ... Wina janji nggak bakal nakal lagi....

Tubuh mungil itu masih gemetaran karena rasa takut yang menyerang sampai tulang. Tetapi pintu kayu yang dikunci mamanya sejak tadi sore belum dibuka. Pasti mereka semua masih di rumah sakit, meninggalkan dirinya di rumah sendirian. Di rumah penyihir jahat yang punya banyak monster.

Mama ... Wina takut....

Aku terbangun dengan keringat bercucuran. Kegelapan yang menyapa netra membuat dadaku sesak luar biasa. Tanpa aba-aba aku berlari ke arah saklar. Tetapi selimut yang membungkus tubuh membuatku tersandung sehingga aku jatuh dari ranjang. Membuat kedua lututku ngilu luar biasa.

Saat akhirnya lampu di kamarku menyala aku bersandar di tembok. Rasa sesak itu berangsur-angsur menghilang walau tubuhku masih gemetaran. Aku memeluk pundakku sendiri--mempraktekan teknik butterfly hug--seperti yang diajarkan psikiaterku untuk meredakan ketakutan serta rasa cemas yang menguasai tubuh.

Aku juga membisikkan kata-kata menenangkan untuk diriku sendiri. Meyakinkan jika itu semua hanyalah mimpi. Monster-monster itu tidak ada, semua itu hanya halusinasiku saja. Betapa aku ingin kembali ke dua puluh tahun lalu, untuk meyakinkan Wina kecil jika monster-monster itu tak pernah ada. Aku ingin kembali ke waktu itu, walau hanya sekedar untuk membawakan lilin kecil. Agar Wina kecil tidak merasa ketakutan hingga dewasa.

Saat aku merasa lebih tenang aku memutuskan untuk bangkit dari lantai. Lututku kembali terasa ngilu, ternyata memang ada memar di sana. Aku berjalan pelan ke ranjang, lalu membuka laci nakas untuk mengambil satu tablet alprazolam. Aku berharap obat penenang itu mampu membuatku tidur tanpa mimpi buruk sampai besok.

Sembari menunggu rasa kantuk itu datang, aku memilih memainkan ponsel. Membalas setiap pesan dan email yang masuk. Membaca webtoon Knitting Room seraya memutar musik klasik untuk rileksasi dari youtube. Aku juga melakukan meditasi dipandu aplikasi Riliv selama sepuluh menit. Semua metode itu cukup berhasil, karena kini perasaanku jauh lebih baik. Sudah lama aku tidak mimpi buruk seperti ini. Mungkin besok aku harus mengunjungi psikiaterku lagi untuk konsultasi. 

Sebuah notifikasi dari aplikasi E-news membuat ponselku bergetar. Aku segera membuka berita tersebut saat membaca nama Riani Hariadi ada di headline berita. Aku tersenyum puas saat kakak iparku itu kali ini pun berhasil memenjarakan anggota DPRD yang melakukan pelecehan seksual terhadap salah satu pembantunya. Riani Hariadi memanglah seorang pengacara yang hebat.

Ada juga berita wawancara Siska di Metro Magazine sebagai anak muda paling inspiratif tahun ini. Walau kami jarang bicara, tapi jujur saja aku bangga pada adikku itu.

Lalu aku mengklik salah satu berita yang berkaitan dengan berita yang saat ini aku baca. Tetapi senyum di bibirku perlahan luntur saat membaca berita tersebut.

Bukan, aku tidak sedang membaca berita buruk. Berita yang saat ini aku baca justru merupakan berita yang sangat mulia. Karena memberitakan tentang Melani Soebarjo yang merupakan pemilik Soebarjo Hospital sekaligus dokter bedah terbaik di Indonesia saat ini, resmi menjadi donatur tetap di sebuah panti asuhan kanker anak bernama Dandelion.

Komentar-komentar yang ditujukkan untuk Melani juga sangat banyak dan positif. Bahkan, menteri kesehatan memberi kode blakblakan jika Melani Soebarjo sangat potensial untuk menggantikan wakil menkes yang mengundurkan diri karena kanker hati sehingga harus melakukan perawatan di Singapura.

Membaca berita itu aku hanya bisa tertawa sinis. Tawa yang lama-lama semakin menggelegar dengan air mata yang mengalir di pipi. Bagaimana bisa ada seseorang yang begitu ambisius? Dasar tante-tante gila! Tetapi yang lebih miris, bagaimana ada seseorang yang begitu baik ke anak orang lain, tapi begitu kejam pada anaknya sendiri?

Tawaku semakin kencang. Air mataku juga mengalir semakin deras. Untung saja Twogether di desain kedap suara, sehingga yang lain tidak perlu tahu jika hari ini, lagi-lagi aku menggila.

Hi, Mate! (Completed)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum