38. Runaway

3K 513 36
                                    

Malam sudah semakin larut. Tetapi aku masih berdiam diri di dalam mobil tanpa berniat beranjak sedikit pun. Malam yang begitu sepi dan kegelapan yang membentang di sisi kanan dan kiri tak membuatku takut sedikit pun. Kepalaku sibuk berpikir tentang kejadian tadi malam. Ah sialan! Bisa-bisanya aku bertanya kepala Alex begitu. Can I kiss you? Can I kiss you? Hahahaha sial! Pasti gue udah gila!

Aku membenturkan kepala ke setir dua kali, berharap semua ingatan tentang kemarin malam hilang dari jemala. Namun, ingatan itu malah semakin kuat. Membuat tubuhku kembali meremang karena semua sensasi itu masih begitu terasa. Kembang api itu masih meledak-ledak di dada dan kepala, begitu menyenangkan sekaligus menyakitkan.

Aku menyandarkan tubuhku di kursi mobil, saat ini netraku fokus melihat dua ekor laron yang terbang mengerubungi lampu teras vila yang menyala temaram. Tanpa sadar sebuah senyum kecil bertengger di bibirku, di dunia ini memang hanya ada dua orang yang mampu membuatku menjadi orang paling pengecut di dunia. Yang pertama Mama dan yang kedua ... Alexandre.

Sontak netraku langsung melebar begitu semua lampu di teras dan halaman vila mati semua, sehingga kini kegelapan benar-benar menyelimuti sekitar. Aku pun memutuskan untuk cepat-cepat keluar dari mobil karena seluruh tubuhku merinding. Apalagi hutan pinus di samping kiri terlihat begitu menyeramkan. Kan, tidak lucu kalau tiba-tiba aku melihat tuyul atau pocong gabut yang sedang bermain di sana.

Untuk pertama kalinya sejak dua puluh lima jam terakhir, akhirnya aku bisa melupakan semua tentang Alexandre dan ‘Can I kiss you’ yang sepanjang hari ini melayang-layang di kepala. Bahkan sampai ke dalam mimpi.

Dengan sedikit berlari aku menghampiri pintu vila, dan sebelum aku sempat mengetuk pintu kayu yang dipenuhi ukiran abstrak itu, pintu di depanku ini tiba-tiba terbuka membuatku sontak menaruh satu tangan di dada karena kaget luar biasa.

“Oma!” seruku refleks begitu netraku bertabrakan dengan netra wanita tua yang masih sangat trendi di usianya yang sudah menginjak enam puluh tahun itu. Liat saja bibirnya yang berwarna merah menyala, nenek-nenek sinting mana yang mau tidur saja pakai dandan segala? Tentu saja hanya Nyonya Dahlia Soebardjo seorang.

Oma membuka pintu vila lebih lebar dan aku pun langsung menyelonong masuk dengan perasaan dongkol yang masih tersisa di dada. “Tega-teganya Oma matiin semua lampu depan vila, kalo ada tuyul iseng gangguin aku gimana?” protesku.

Oma berkacak pinggang, lalu berdecak terang-terangan. “Malah bagus kalo kamu mainnya sama tuyul iseng, kirain kamu esek-esek di halaman vila Oma sama cowok nggak jelas. Dari tadi diem di mobil mulu nggak ketok-ketok pintu!” ujar wanita yang kecantikan masih terlihat walau wajahnya sudah penuh keriput di mana-mana.

Aku melongo tak percaya dengan ucapan Oma. Bisa-bisanya ia berpikir begitu! “Ngapain juga aku esek-esek di depan vila Oma? Ewh banget kayak nggak ada tempat lain aja. Kalo mau, aku bisa pesen hotel paling bagus di Maldives malam ini juga cuma buat orgasme doang!”

Oma menjewer telinga kananku lumayan keras hingga aku mengaduh pelan karena telingaku terasa sakit. Lambemu, Win! Cah wedok kok ngomonge koyok ngono!”

“Lho, yang bahas esek-esek duluan, kan, Oma. Kok, malah aku yang diomelin? Aku cuma nanggepin omongan Oma doang. Entar kalo nggak ditanggepin ngomeeeeel lagi,” sahutku seraya cemberut.

“Kamu itu, ya, Win. Dari piyik pinter aja bales omongan Oma. Udah sana bersih-bersih terus jangan lupa makan. Oma mau ke kamar dulu, mau tidur.”

Aku mengangguk patuh, lalu aku segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lagi pula saat ini tubuhku juga sudah sangat lengket karena tadi pagi aku mandi tiga jam lebih cepat dari biasanya untuk menghindari Alex dan pertanyaan tentang hubungan kami yang tidak jelas ini.

Aku menyender di dinding yang terasa dingin, membiarkan air yang mengalir dari bambu membasahi tubuhku yang telanjang. Aku tahu saat ini pasti Alex tengah kesal setengah mati padaku, karena daripada menjelaskan segalanya aku malah melarikan diri. Membayangkan pria itu yang cemberut sepanjang malam, tanpa sadar malah membuatku tersenyum sendiri.

***

Aku membuka pintu kamar Oma hati-hati, lalu tidur di sampingnya seraya memeluk tubuh nenekku itu yang sedikit berisi. Walau selalu dandan cantik sebelum tidur, aroma tubuh Oma tetap minyak angin yang sangat menyengat. Ya, khas mbah-mbah sekali.

Ternyata saat ini Oma belum tidur, tangkupan tangganya di tanganku yang ada di atas perut wanita itu terasa hangat. “Kamu ada masalah sama Mama kamu?” tanya Oma lembut dan terkesan sangat hati-hati walau tidak begitu kentara.

Aku bungkam cukup lama sebelum menjawab pertanyaan Oma. “Kali ini masalah cowok, Oma.”

“Cowok yang mana? Si artis itu? Atau yang biasa kamu kencanin koyok kamu ganti BH? Cepet banget bubarane.”

Aku memberengut. “Nggak secepet ganti BH juga kali, Oma!” protesku, sebelum terdiam lagi. Oma juga hanya diam kali ini, sehingga suara jangrik-jangkrik yang konser di luar sana mendominasi.

Aku memandang tembok bata di depan sana dengan pandangan menerawang, lalu akhirnya berkata, “Kali ini beda. Aku cinta dia, Oma....”

“Terus apa masalahnya? Kalo kamu jatuh cinta sama dia, ya, jatuh cinta wae. Kalau kamu pengin lanangan iki bales perasaanmu, yo, gawe Mas-e balik cinta sama kamu. Cuma kudu eling, cinta nggak bisa dipaksa, Win. Kalo kamu wis usaha tapi ora ono hasile, yo wis, iklaske.”

Aku mengangguk mengerti. “Aku tau, Oma. Aku tau semua konsekuensinya. Aku udah mikirin semuanya, aku bahkan udah siap kalo misal nanti akhirnya hubungan kami nggak berhasil. Aku udah siap, kalo hatiku nantinya hancur berantakan. Tapi, Oma ... Aku nggak pernah siap kalo hubungan kami justru berhasil. Oma, gimana kalo kami justru saling mencintai sampai mati?”

Hi, Mate! (Completed)Where stories live. Discover now