22. Don't Act Like You Care About Me

3.6K 563 31
                                    

"Mas, udah gue bilang gue nggak mau dateng ke acara amal itu. Udah ada Siska juga, kan?" tanyaku dengan nada memelas. Sudah hampir sepuluh menit aku merayu Mas Jodi agar aku tidak terlibat dengan acara amal yang diadakan Soebarjo Hospital, tapi kakak tiriku itu belum luluh juga.

Setiap bulan rumah sakit memang selalu mengadakan acara amal yaitu berupa berobat gratis untuk anak-anak panti asuhan, tapi biasanya aku tidak pernah terlibat. Lagi pula aku bukan dokter di Soebarjo Hospital. Untuk apa juga aku di sana.

"Please, tolongin Mas, Win. Gue nggak bisa dateng karena harus rapat sama Mr. Liu. Ini beliau ngubah jadwal rapatnya dadakan karena harus balik ke Taiwan. Lo temenin Siska, oke?" pinta Mas Jodi lagi.

Aku mendesah panjang. "Karena udah ada Siska, gue nggak harus di sana, kan?" negoku mencoba memberikan alasan yang realistis.

"Masalahnya, bulan ini mama juga nggak bisa dateng karena ada jadwal operasi, makanya waktu itu mama minta tolong ke gue. Tapi ini gue harus banget rapat sama Mr. Liu. Please help me, okay?" mohonnya lagi, kali ini dengan nada yang terdengar putus asa.

Aku menghela napas panjang, lalu mengangguk mengiakan. Walau tentu saja Mas Jodi tidak akan melihat gerakan kepalaku di ujung sana. "Oke, tapi ini gue ke sana karena nolongin lo, ya, Mas. Bukan karena hal lain. Apalagi bantu Kanjeng Ratu cari muka biar cepet diangkat jadi wakil menteri kesehatan," ujarku ketus.

Mas Jodi tertawa di ujung sana. "Iya, Mas ngerti, kok. Lagian acara ini kan memang diadain setiap bulan, Win. Bukan karena mama mau jadi wakil menkes," jelas pria itu. "Dan soal mama--"

"Gue nggak mau denger," potongku cepat dengan rasa sesak yang mencengkeram dada.

"Oke, gue ngerti," sahut Mas Jodi lembut. "Sekali lagi makasih karena udah mau gantiin gue. Inget, acaranya jam 9. Jadi, sebaiknya lo siap-siap sekarang. Nanti Siska jemput lo."

"Oke." Setelah mengatakan itu aku menjauhkan ponsel dari telinga karena Mas Jodi sudah mengakhiri telepon di ujung sana.

Kali ini ponselku bergetar dua kali, menandakan ada sebuah pesan yang masuk. Dan ternyata pesan tersebut adalah sebuah pesan dari Siska yang memberi info jika ia akan datang sekitar satu jam lagi. Oleh karena itu aku pun memutuskan untuk bersiap-siap.

Tetapi langkahku tertahan ketika melihat Alex keluar dari kamarnya dengan pakaian yang memang terlihat kasual tapi rapi. Sepertinya pria itu juga akan pergi pagi ini.

"Mau ketemu klien, Lex?" tanyaku basa basi. 

Alex mengalihkan pandangan dari ponsel, lalu menggeleng seraya tersenyum manis. Senyuman yang justru mengingatkanku kepada genggaman hangat Alex kemarin. Walau jelas itu tidak nyambung sama sekali. Sepertinya otakku memang sudah korslet. "Nggak, ini gue mau ke komunitas. Biasa ada acara," jawab pria itu yang sontak membuatku mengangguk mengerti.

Setiap bulan Alex memang ada acara dengan komunitas alumni dari SMA-nya dulu. Aku tidak tahu acara apa itu dan tidak pernah ingin ikut campur juga. Tetapi yang jelas sudah pasti komunitasnya tidak melakukan hal-hal buruk, karena Alex selalu lolos tes narkoba dan HIV setiap bulan sesuai syarat dari Mbak Tari. 

"Oke, hati-hati kalo gitu."

Alex menganggukkan kepalanya. "Oke." Lalu pria itu menatapku khawatir. "Ini lo beneran udah sembuh, kan? Nggak masalah gue tinggal sendirian?"

Aku menggigit bibir dalamku untuk mencegah senyuman yang hampir terbit. "Santai, gue udah sembuh, kok. Lagian bentar lagi gue juga pergi sama Siska."

Lagi-lagi Alex menganggukan kepalanya. "Yaudah kalo gitu gue duluan." Tetapi bukannya berjalan menuju pintu pria itu malah berjalan ke arahku lalu menempelkan telapak tangannya di dahiku. Membuat indra penciumanku menghidu aroma citrus yang manis.

Dan pria itu baru meninggalkan Twogether setelah memastikan suhu tubuhku normal. Jelas itu membuatku terpaku di tempat. Yang benar saja! Kami hanya pacaran bohongan, tapi kenapa rasa hangat itu terasa betulan? Is it nomal?

***

Saat ini aku sudah berada di dalam mobil bersama Siska. Sejak tadi hanya ada keheningan yang memenjara sehingga aku merasa tersiksa luar biasa. Aku ogah menyalakan musik karena yang langsung terputar pasti resital piano klasik dari abad pertengahan. Gue bisa ngantuk setengah mati!

Walau tidur mungkin ialah pilihan yang bagus, tapi akhirnya aku memutuskan untuk memecah keheningan yang ada.

"Lo beneran cinta sama Saka?" tanyaku datar. Kami biasanya jarang mengobrol, makanya suasana saat ini canggung luar biasa.

Siska tertawa sinis. "Serius seorang Wina mau ngomongin soal cinta? Lo kerasukan jin Twogether?" tanyanya.

"Gue nanya serius, Sis. Karena pernikahan bukan hal yang main-main."

"Don't act like you care about me. I don't need that," ujar gadis itu dingin dan penuh penekanan. Tatapan tajam gadis itu seolah mampu membelah aspal. Siska tidak menatapku, tapi aku merasa gadis itu tengah membunuhku dengan tatapannya. Sehingga akhirnya aku memutuskan mengunci mulutku sendiri.

Aku hanya ingin Siska tidak tersakiti. Aku hanya ingin Siska hidup sesuai dengan yang ia mau. Aku hanya ingin Siska bebas dari segala aturan mama. Tetapi entah mengapa semua kalimat itu seolah menyangkut di tenggorokan. Dan saat aku menyadari apa alasannya, peribahasa; buah jatuh tak jauh dari pohonnya langsung bergema di kepala. Membuat dadaku sesak luar biasa karena aku menyadari jika aku tidak ada bedanya dengan ia.

Aku mengembuskan napas lega saat akhirnya mobil yang dikendarai Siska berhenti di salah satu sekolah negeri di Jakarta. Terlihat sudah banyak sekali anak-anak dengan segala usia di sini. Mengikuti Siska aku pun segera keluar dari mobil. Namun kemudian aku tertegun saat melihat pemandangan manis di depan halaman sekolah.

Mereka berdua terlihat cocok dan manis sekali.

Hi, Mate! (Completed)Where stories live. Discover now