16. His Hug

4.6K 685 46
                                    

Alex menatapku cukup lama sebelum akhirnya tersenyum jahil. "Wah, seorang Wina yang over pede sampai menggadaikan raga dan jiwanya sama gue. Lo nggak lagi kesurupan penunggu rooftop sini, kan?" candanya.

Aku menarik kedua sudut bibirku ke atas, yang jelas aku bersyukur karena Alex menganggapku sedang bercanda. Begini lebih baik daripada pria itu menanggapiku serius. Karena nggak lucu kalau aku kalah dalam permainan 50:50 secepat ini.

"Ya, sepertinya dalam beberapa detik gue kerasukan hantu genit penunggu sini yang jatuh cinta sama lo sejak lama," jawabku ikut bercanda.

Aku membusungkan dadanya super songong. "Ya, pesona gue emang menembus alam lain, sih. Tapi anehnya kok, lo, Debie, atau Dewi, nggak ada yang naksir gue, ya?" 

Sontak aku terbahak saat mendengar perkataan Alex, tapi kemudian aku menatap pria itu serius. "Untuk ukuran cowok lo jelas good looking, Lex. Ya, percaya aja kalo gue, Dewi, dan Debie juga pernah punya perasaan kayak gitu ke lo. Tapi lo tau Debie punya Xavier, dan Dewi punya Reza," jelasku.

"Kalo lo kenapa nggak pernah suka gue?" tanya Alex.

"Kalo gue, tentu aja karena terlalu mencintai diri gue sendiri," jawabku songong.

Alex menggetok dahiku. "Udah gue duga lo bakal jawab begitu," ujarnya seraya memutar bola mata malas. "Tapi, Win, kalo suatu hari nanti ada yang mencintai lo sepenuh hati, please, jangan suruh dia ngejauh atau pun nyuruh dia pergi. Karena lo juga berhak dicintai," lanjutnya tiba-tiba yang sontak membuatku menatap pria itu lama. Jujur saja aku tak pernah menyangka Alex akan mengatakan hal itu.

Aku memilih tak menanggapi ocehan Alex dan memutuskan untuk menatap bintang-bintang yang berkedip di atas sana. Alex juga melakukan hal yang sama. Orang bilang mengobrol sekitar jam 3 pagi biasanya akan membuat kita melantur. Sepertinya itu yang sedang aku dan Alex lakukan. Sebenarnya aku juga merasa tak enak pada Alex karena mengajak pria itu begadang malam ini. Tetapi untungnya Alex tak protes sama sekali, sehingga rasa bersalah itu sedikit menguap.

"Lexi," panggilku diiringi suara merdu Takahiro Moriuchi yang menyanyikan lagu Wherever You Are.

"Hmm?" jawab pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari langit dan tumben sekali pria itu tak protes saat aku panggil 'Lexi'.

"Lex, lo punya nggak sih kenangan menyakitkan yang ditorehkan sama mama lo waktu lo kecil tapi terus keinget sampai sekarang?"

Kali ini Alex mengalihkan pandangan ke arahku. "Tentu aja punya. Sampai sekarang gue masih inget gimana sakitnya saat dipukul sapu sama mama gara-gara gue pulang sekolah ujan-ujanan. Bukannya nunggu mama jemput atau nunggu ujan reda," jelas pria itu.

"Apa lo juga ngerasa anak kecil yang dipukul sapu itu sampai sekarang masih ada di tubuh lo? Maksudnya gini ... Nggak seperti kenangan lo yang lain yang bisa bebas, dia kayak nggak gerak sama sekali. Padahal rantai yang membelenggu kakinya sudah lepas, dia bisa bebas seperti kenangan yang lain, tapi dia masih diam ditempat."

"Tentu, sampai sekarang anak tujuh tahun itu juga nggak bergerak sama sekali. Udah gue bilang gue masih ngerasain sakit yang dia rasakan sampai sekarang," jawab pria itu.

"Terus gimana caranya lo baik-baik saja sampai sekarang dengan rasa sakit yang dibawa anak tujuh tahun itu? Lukanya bukannya sembuh, tapi makin membusuk, kan? Waktu bisa menyembuhkan luka adalah toxic positivity paling bikin muak sedunia," tuturku seraya menekan rasa sesak di dada.

"Waktu emang nggak bisa menyembuhkan luka, Win. Karena pada akhirnya diri kita sendiri yang memutuskan pengin sembuh atau nggak. Nah, itu yang gue lakuin ke anak tujuh tahun yang masih bersemayam di diri gue. Gue membiarkan dia terluka, membiarkan dia mengutuk mamanya sepuasnya. Sampai dia ngerasa lega dan ngerasa saatnya sembuh. Lo nggak harus ngandelin waktu. Lo nggak harus sembuh sekarang, atau besok, atau sepuluh tahun yang akan datang, atau untuk selamanya, lo boleh terus terluka jika emang luka itu belum sembuh. Jangan maksa diri lo baik-baik saja, kalo nyatanya nggak.”

Tanpa sadar aku sudah menangis sesenggukan. "Tapi gue pengen sembuh, Lex. Gue pengen anak empat tahun yang ada di diri gue juga ngerasain kebebasan. Gue pengen liat dia berhenti menggigil ketakutan dalam gelap, gue pengen meluk dia, tapi walau dia di depan mata gue, gue tetep nggak bisa ngelakuin apa-apa," isakku.

Alex mendekat ke arahku lalu memelukku erat. "Jangan geer, ya, Win. Karena saat ini gue nggak lagi meluk Wina yang umur 24 tahun. Tapi gue lagi meluk anak kecil umur empat tahun yang menggigil ketakutan." Lalu pria itu berbisik di telingaku. "Hi, jangan takut lagi. Sekarang kamu nggak sendirian, maaf karena butuh 20 tahun untuk dapat pelukan," lanjutnya yang membuatku menangis semakin kencang.

Di dalam pelukan Alex aku menangis sekerasnya. Mengeluarkan rasa sesak di dada. Selain di depan Mbak Hanum, akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan semua topeng yang aku pakai. Di depan Alex aku mengakui kalo aku tidak pernah baik-baik saja.

Setelah puas menangis aku tetap menenggelamkan tubuhku di dalam pelukan Alex yang terasa hangat. Jujur saja aku merasa malu karena menangis di depan pria itu seperti ini. Tapi tak bisa dipungkiri jika aku merasa lega luar biasa. 

"Besok jangan tanyain apa pun. Anggep aja malem ini nggak terjadi apa-apa," lirihku di dada pria itu.

Alex masih mengelus-elus punggungku. "Oke, gue janji."

Setelah mendengar janji Alex aku memejamkan mataku. Tak seperti perkiraanku sebelumnya, ternyata malam ini aku bisa tidur nyenyak. Pelukan Alex memberikan efek menenangkan seperti alprazolam yang biasa aku minum. Apa aku membuat Alex jatuh cinta saja agar tidak lagi ketergantungan obat?

Tidak, ingat batasanmu Wina.

Hi, Mate! (Completed)Where stories live. Discover now