32. Artis Sangklek

3.3K 498 21
                                    

Tepat pukul 5 sore aku memutuskan untuk pulang. Jujur saja tubuhku terasa begitu lelah setelah berkerja seharian. Aku merenggangkan tubuhku yang terasa kaku karena hampir 3 jam berkutat dengan laporan keuangan cafe. Hari ini aku juga rapat dengan makelar yang mengurus tempat untuk cabang baru Ayo Ngopi. Makelar itu merekomendasikan tiga tempat strategis yang membuat kepalaku berdenyut nyeri karena bingung harus memilih yang mana. Kakiku juga terasa pegal karena tadi siang aku bolak balik Blok M--Kemang untuk mengecek persediaan kopi di Ayo Ngopi cabang Blok M. 

Setelah mematikan laptop dan melepaskan kacamata anti radiasi yang sejak tadi bertengger di hidung, aku pun segera beranjak pergi dari kantorku yang ada di lantai tiga. Aroma harum roti bakar, pekatnya kopi, manisnya teh, dan bau khas buku langsung memenuhi indra penciumanku saat aku sampai di lantai dua. Campuran aroma itu benar-benar memberi kehangatan di hatiku yang biasanya hampa, dan sungguh, sejak detik pertama aku membuka library-cafe ini, aku tidak merasa menyesal sedetik pun.

Aku memutuskan untuk berhenti sejenak di lantai dua saat melihat dua kardus besar berjejer di samping rak komik. Terlihat Leora tengah membeset lakban yang jadi perekat kardus dengan cutter. Dan kedua netra gadis itu langsung berbinar begitu melihat apa isi kardus tersebut.

"Wah, gila, Mbak! Beneran Bridgerton series dari seri 1-8! Ini yang The Duke and I fix gue duluan yang pinjem!" serunya bersemangat seperti mendapat harta karun. Sebenarnya ini sedikit aneh, kalau melihat betapa sugih-nya keluarga 'Sastronegoro' harusnya membeli buku seperti ini semudah menjetikan jari bagi Leora.

"Buku yang gue beli udah nyampe semua, Mil?" tanyaku pada Mila yang memang bertanggung jawab mengatur buku-buku di perpustakaan ini. Kemarin aku memang membeli beberapa buku baru untuk mengisi rak yang masih kosong. Sekalian membeli buku yang merupakan request dari pelanggan tetap Queen Bakery.

"Udah nyampe, Mbak. Ini gue juga lagi cek sekali lagi. Oh, ya, komik dari Mas Dhito juga udah nyampe kemaren."

Aku mengerutkan kening bingung saat mendengar perkataan Mila karena Ardhito sama sekali tidak bilang dulu kalau mau menyumbang komik. "Dia nyumbang komik apa?" tanyaku akhirnya. 

"Conan dari seri satu sampai terakhir," jawab gadis itu. Dan jawaban Mila sontak membuatku memijat pelipis kanan yang tiba-tiba berdenyut. Sial, kalau Ardhito Sahala jadi baik begini pasti si artis sangklek itu ada maunya. 

Lalu aku pun mengembuskan napas keras seraya mengangguk mengerti. "Oke, entar tolong lo atur semuanya, ya, Mil. Dan gratisin aja si Dhito kalo mampir."

"Katanya lo harus berterima kasih yang benar-benar 'terima kasih', Mbak."

"Shit! Udah gue duga si artis geblek itu pasti ada maunya!" seruku seraya menelepon nomor Ardhito yang ada di urutan teratas karena 'A' ditakdirkan menjadi huruf pertama alphabet.

Mila memutar matanya jengah. "Peka kek, Win, si Dhito jelas-jelas suka lo!"

Aku pun tertawa ngakak seraya menempelkan ponsel di telinga. "Mana ada, sih, Mil! Kata netijen, kan, si Dhito sukanya main pedang-pedangan."

"Win, stop gosipin gue sama Mila! Lo jelas tau kalo gue bukan gay!" protes Ardhito Sahala di ujung sana yang hanya aku tanggapi dengan tawa keras dan membayangkan wajah cemberut Ardhito di ujung sana membuat tawaku semakin kencang.

"Noh, Mil, si Dhito ngaku kalo doi pacaran sama Bimo Nagara," ujarku masih meledek Ardhito.

"Bimo Nagara your head, Win! Otak lo ilang setengah, hah? Sampe budek begini?"kesal pria itu yang malah membuatku semakin terkekeh.

Untuk beberapa saat aku mengabaikan panggilan Ardhito dan kembali menatap Mila. "Mil, entar malem tolong kirim data buku perpus ke email gue, ya! Dan Le, lo boleh pinjem bukunya dulu dan kalo ada tugas dari sekolah selesein dulu sebelum kerja nggak papa."

Leona tersenyum tulus--bukan senyum datar yang aku lihat saat wawancara. Bahkan matanya juga ikut berbinar. "Thanks, Mbak,” sahutnya masih dengan senyum lebar itu. Namun, senyum itu mendadak lenyap begitu ia melihat seorang pria ber-hoodie hitam datang dan menempati meja dekat jendela. Seharusnya itu hanya pelanggan biasa, seperti puluhan orang lainnya. Tetapi entah mengapa orang itu seolah menyerap semua energi milik Leora. Senyum gadis itu memang masih bertengger di bibirnya, tapi semua binar itu mati tak bersisa.

Dengan sopan Leora izin untuk melayani pelanggan itu yang tentu saja langsung aku iyakan. Sebenarnya aku ingin mengamati Leora lebih lama, tapi perkataan Ardhito di ujung telepon benar-benar menarik atensiku sepenuhnya.

"DHIT, LO GILA?" seruku seraya mememototkan kedua netra.

Lalu dengan segera aku meninggalkan Queen Bakery dan menghampiri Ardhito yang sudah ada di parkiran. Oh, God! Aku benar-benar ingin menendang Ardhito ke Segitiga Bermuda karena pria itu membuat ponselku tidak berhenti berbunyi sepanjang malam.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang