26. Free Hug

3.5K 593 36
                                    

Gemetar di tubuhku tak berkurang sedikit pun walau ada sesuatu yang memelukku hangat. "Hei, Win, I'm here. Dengerin gue oke? Gue di sini," bisik sebuah suara di telingaku.

Tetapi suara itu tak berefek banyak. Hanya seperti sebuah mimpi indah. Aku masih tenggelam. Gelap itu semakin pekat. Menarikku semakin dalam. Mengoyak jiwaku yang goyah. Mencekik leherku dengan brutal sehingga untuk bernapas saja terasa sulit sekali. Aku masih mendengar suara napasku sendiri yang putus-putus. Kenapa tidak putus saja sekalian?

Sesak sekali. Aku mau mati. Tolong pecahkan saja kepalaku agar semua ini berakhir. Sesak sekali. Terlalu gelap, terlalu menyakitkan.

"Win, liat mata gue." Suara itu datang lagi. Kali ini aku dapat merasakan sebuah tangan mengelus pipiku lembut. "Buka mata lo, terus liat mata gue. Please...." Menuruti suara itu aku membuka mataku perlahan dan sepasang mata coklat yang begitu lembut dan hangat langsung menyambutku.

Hah ... hah ... hah....

"Inhale-exhale. Gue di sini. Gue di sini. Gue di sini. Lo nggak sendirian. Dengerin gue, lo nggak sendiri. Gue di sini."

Seperti ada sebuah tangan yang menarikku dari kegelapan dan menarikku dari samudera pekat itu aku pun bisa bernapas lega. Hah.... Aku menarik napas panjang dan akhirnya napasku mulai beraturan.

Aku meraba wajah Alex dengan jemari gemetar. "Lex, gue takut...," ujarku dengan suara bergetar.

Alex mengelus pipiku lagi sehingga aku bersandar di telapak tangan pria itu. "Gue di sini, Win. Lo nggak sendirian. Gue di sini...," bisik pria itu di depan wajahku. Sehingga aku dapat merasakan hangatnya napas pria itu yang beraroma kopi.

Aku memejamkan mata lalu berusaha merasakan semua hal yang ada di sekitarku. Hangatnya dekapan Alex. Suara napas Alex yang beraturan. Halusnya jemari Alex di pipiku. Aroma cologne dan parfum Alex. Dan aroma napas Alex yang beraroma kopi. Aku tidak sendirian. Alex di sini. Begitu nyata. Begitu hangat.

Setelah berhasil menenangkan diri aku kembali membuka mata. Dan iris coklat yang tak begitu kentara karena hanya bercahayakan senter ponsel langsung menyambutku. 

"Better?" tanya pria itu masih sama lembutnya dengan tadi.

Aku menganggukkan kepala. "Thanks." Lalu semakin menenggelamkan tubuhku ke dekapan pria itu.

Di lantai dapur yang dingin, Alex mendekapku hangat. Semua monster dan kegelapan yang tadi  menenggelamkanku seolah lenyap tanpa sisa entah ke mana.

***

Dengan diterangi cahaya lilin remang-remang yang sesekali ditiup angin, aku dan Alex masih berpelukan di kasur. Setelah tadi aku agak  tenang, Alex memang segera membawaku ke kamar.

Aku melepaskan pelukan kami, tapi aku masih menggenggam tangan pria itu erat. Aku agak menggeser tubuhku menjauh, sehingga kini aku dan Alex saling berhadapan dengan netra saling bertautan.

"Kenapa balik?" tanyaku lirih.

Alex menyampirkan rambutku ke belakang telinga. "Gue tadi belum jauh pas mati lampu. Pas banget lagi mampir beli kopiko di warung Ucok karena agak ngantuk. Terus tiba-tiba mati lampu dan inget kalo lo benci gelap."

"Nyebelin karena lo tau kelemahan gue."

"Udah gue bilang, jangan terlalu sempurna. Entar lo sulit gue gapai," candanya.

Aku hanya menanggapi perkataan Alex dengan senyuman. "Lo tadi masuk pake kunci cadangan?" tanyaku. Jenis pertanyaan paling tolol yang pernah ada. Namun, aku hanya ingin obrolan ini terus berlanjut.

"Ho-oh, kunci cadangan yang ada di bawah pot tanaman janda bolongnya Debie. Di sebelah bangku depan, terus kuncinya ada gantungan gambar Naruto gepeng," jawab Alex super detail. Mungkin pria itu saat ini juga berpikir kalau jawabannya juga super tolol, karena jelas aku sudah tahu semua. Tetapi kami hanya tidak mau mengakhiri ini semua.

"Udah gue bilang belinya gambar Sasuke aja. Kuning terlalu ngejreng, kan? Mending biru ke mana-mana."

"Ya, apa sih yang lo harepin dari Anna? Udah pasti dia selalu suka tokoh utamanya."

Aku terkekeh kecil. "Ya, Anna emang begitu,” jawabku yang juga membuat Alex ikut tertawa kecil.

"Lex...." Aku mengelus pipi pria itu. "Thanks, buat hari ini. Terima kasih karena udah ngepang rambut gue, makasih karena udah meluk gue, dan makasih karena udah ada di sini sekarang."

Alex balas mengelus pipiku. Kali ini senyuman kembali terbit di bibir penuh pria itu. "Akhirnya lo notice juga soal kepang itu. Gue pacar yang so sweet, kan? Dan lo malah dengan songongnya nyuruh gue nyuci panci gosong."

"Jadi, lo tadi ngambek gara-gara gue nggak notice kepangan lo?" tanyaku tak percaya.

"Apa susahnya bilang makasih, sih, hah?" dengkusnya.

Aku terkekeh pelan, lalu mencium pipi kiri pria itu lama seraya memejamkan mata. "Thanks, Lexi, buat semuanya. Lo pacar yang baik. Tapi kenapa selama ini betah jomlo, sih? Padahal gue yakin banget siapa pun yang bakal jadi pacar lo bakal bahagia banget," ujarku seraya memeluk pinggang Alex.

"Pacar lo itu gue, kan?" tanya pria itu seraya balik memelukku.

"Iya, lo pacarnya gue," jawabku seraya tersenyum, lalu aku menatap mata Alex sekali lagi. "Boleh gue tau siapa yang lo peluk saat ini? Apa anak kecil itu lagi? Biar gue nggak kepedean?" tanyaku.

Alex menggeleng. "Bukan. Saat ini gue lagi meluk Wina Rakasiwi si ratu narsis sejagat."

"1=1, jadi utang lo gue kurangin satu."

"Jangan dikurangin. Anggep aja pelukan gue hari ini free hug.

Aku terkekeh kecil. "Free hug? Udah kayak badut ancol aja lo!"

"Just for tonight."

"Gue tetep bakal bales yang ini."

"Deal, kalo gitu. Gue jelas sungguh menunggu yang mulia Wina jadi badut ancol."

"In your dream!"

Alex terkekeh pelan. "Tidur, Win," ujar pria itu seraya mengelus rambutku.

"Gue belum minum obat, Lex. Boleh tolong ambilin alprazolam gue di laci nomor dua?" tanyaku seraya memejamkan mata.

"Bentar gue ambilin dulu. Sekalian gue ambilin minum di dapur," ujar pria itu seraya berusaha bangkit dari tempat tidur. Namun, aku memeluk Alex semakin erat. Tak mengijinkan pria itu pergi. Karena alprazolam bahkan tak ada apa-apanya dibanding pelukan Alex. Andai ... aku bisa membekukan momen ini untuk selamanya.

Selamat mimpi indah, Wina. Semua ini akan berakhir besok pagi.

***

Hai pagi, cuma mau bilang siapa pun yang lagi ngerasa hidupnya berat. Terus capek setengah mati. Dan leeeelah banget pokoknya. Kalian nggak sendirian ya, Sayang. Sa di sini. Sa di sini. Sa di sini. Dan akan selalu ada di sini❤️ Peluk erat buat kalian semua yang baca cerita ini 🤗🤗🤗

Hi, Mate! (Completed)Onde histórias criam vida. Descubra agora