50. Sister (3)

1.7K 302 12
                                    

“Ya, namanya Maxwell umurnya 6 tahun dan dia punya mata biru gelap yang pasti bakal lo suka. Lo selalu suka warna biru,” ujar Siska seraya menunjukan foto Maxwell di ponselnya.

Aku menerima ponsel yang disodorkan adikku itu dan mulai melihat-lihat banyak foto dan video Maxwell yang ada di sana.

Terlihat seorang anak blasteran Inggris-Indonesia yang sangat lucu dan tingkahnya menggemaskan. Siska punya foto Maxwell sejak masih bayi hingga usia 6 tahun. Siska benar-benar merekam semua momen tumbuh kembang Maxwell, kentara sekali jika gadis itu sangat mencintai anaknya.

Lalu di beberapa foto Maxwell juga ada seorang pria yang sepertinya beberapa tahun lebih tua dari Siska. Pria bule itu memiliki mata warna biru gelap seperti warna mata Maxwell, jadi aku tebak—siapa pun si London Boy tampan ini, pasti adalah ayah dari Maxwell.

“Namanya Adam Clark. Dia senior gue di Oxford. He's so kind. Selalu ada saat gue kesepian, apalagi pas tahun pertama di Inggris gue ngalamin homesick lumayan parah. Nah, Adam selalu ada di sana. Nemenin gue, meluk gue, menenangkan gue. Lalu kami jatuh cinta dan yah ... Lo tau, Kak, apa yang terjadi selanjutnya. Ya, ya, gue tahu pasti sekarang lo mikir buat apa gue jauh-jauh kuliah di Oxford kalo cuma jadi bucin tolol? Hamil dan melahirkan di usia 17 tahun. Emangnya nggak tahu sesuatu bernama kondom! But at that time ... Gue cuma jatuh cinta. Adam kayak tali kekang yang mengikat sisa-sisa kewarasan gue. Hingga gue tetap menjadi Siska yang sekarang, dan kalo boleh jujur ... Gue sama sekali nggak menyesali semuanya.”

“Saat pertama kali tahu gue hamil, jujur gue takut setengah mati. Tapi gue nggak tahu harus ngadu ke siapa. Mama? Oma? Papa? Mas Jodi? Gue nggak bisa ngelakuin itu, karena lo tahu hamil di luar nikah adalah aib besar yang harus gue tutupi sebisanya. Agar nama keluarga kita nggak tercoreng. Kadang gue pengin ngadu dan cerita banyak hal ke lo, lalu lo bakal ngegoblok-goblokin gue. Menyumpahi gue bucin kelewat tolol dan lainnya, tapi lo tahu ... Kita nggak sedekat itu—”

Tanpa sadar air mata mengalir di pipi. Astaga ... Sebenarnya apa yang selama ini aku lakukan?

“Sis, gue—”

“Kak, gue belum selesai ngomong,” ujar Siska yang sontak membuatku langsung bungkam tapi air mataku masih mengalir deras.

“Ya, saat itu gue emang ketakutan setengah mati. Gue sendirian dan juga kesepian. Gue marah sama semua orang, sama Mama, sama lo, sama Oma, sama semuanya. Karena memposisikan gue di posisi ini, karena membuat gue mengemban beban yang sangat berat ini. Harus sempurna, harus bisa semuanya, harus jadi dokter handal, harus jadi pemain piano terbaik. Apa nggak bisa gue jadi anak normal kayak yang lainnya aja? Kadang gue mikir mengemban nama sebesar Soebardjo adalah anugerah tapi juga kutukan.”

“Tapi gue menutuskan untuk nggak menyalahkan siapa pun, atau menyesali apa pun. Karena gue tahu Mama, lo, Oma, dan yang lainnya juga sama menderitanya.”

Siska masih menatap langit-langit kamar, wajahnya tegar dan terlihat lega. Sedangkan aku masih setia memiringkan kepala ke arah gadis itu dengan air mata yang mengalir di pipi.

“Gue nggak punya nyali buat jadi pemberontak kayak lo, jadi gue memutuskan memainkan peran gue dengan benar. Sebagai si anak emas Soebardjo yang tanpa cela, sempurna, dan mengikuti semua aturan yang ada. Dan gue sama sekali nggak menyesali apa pun.”

Siska mengalihkan pandangan dari langit-langit dan matanya yang berkaca-kaca mengunci mataku. “Kak, kali ini gue bener-bener takut. Gue takut menghancurkan semuanya, takut menghancurkan semua yang gue punya. Gue takut melukai Mama, Oma, dan menghancurkan kerja keras semua orang. So, gue mohon temenin gue, ya?” tanyanya dengan isak tangis yang menyesakkkan.

Oh, Siska....

Aku pun langsung memeluk Siska dan membawanya kepelukanku. Kali ini kami sama-sama menangis keras tanpa menahan apa pun, untungnya Twogether kedap suara, hingga kami bisa menangis sepuasnya.

Mendengar perkataan Siska membuatku berpikir tentang banyak hal. Benarkan selama ini hanya aku yang menderita? Benarkah selama ini hanya aku yang terluka? Atau Mama, Oma, Papa, Opa, juga punya lukanya masing-masing? Sepertinya Siska yang nyatanya juga terluka sangat parah?

Mungkin monster-monster itu bukan hanya menghantui aku, mungkin selama ini bukan hanya aku yang terluka. Apa ini saatnya aku berhenti mengacungkan senjata ke siapa pun? Dan membiarkan mereka mendekat agar bisa melihat perasaan mereka yang tersembunyi?

Setelah lelah menangis kini kami kembali tiduran bersisian. Siska kembali menceritakan banyak hal tentang Maxwell dan betapa ia mencintai anaknya itu. Lalu kami berjanji akan menjemput Maxwell di bandara besok pagi.

“Sis, kalo lo berhasil merahasiakan Maxwell dari Mama selama enam tahun, bukannya aneh kalo sekarang foto kalian tersebar gitu aja? Dari kemarin gue ngerasa ada yang janggal di sini.”

“Ya, emang ada yang sengaja sebarin foto gue sama Maxwell dan gue tahu siapa orangnya,” jawab Siska dingin dengan tatapan mata tajam menusuk.

Siapa pun orang yang menyebarkan foto itu pasti ialah orang yang sangat dekat dengan Siska, karena adikku itu lebih mempercayai orang itu daripada keluarganya sendiri. Sebab, hanya orang-orang tertentu saja yang tahu keberadaan Maxwell Clark.

***

Intinya semua pergejolakan batin di cerita ini bakal gue kupas satu-satu. Biar kalian tahu sudut pandang masing-masing tokoh. So, jangan bosen-bosen, ya! Soalnya ceritanya masih panjang banget hehe.

Sa,
Xoxo.

Hi, Mate! (Completed)Where stories live. Discover now