23. Jealousy, Jealousy

3.7K 606 24
                                    

Hatiku merasa tidak nyaman saat melihat Alex dan Sania tengah mengobrol bersama seorang anak kecil sambil sesekali tertawa. Mereka tampak seperti keluarga bahagia. Dan aku tidak suka itu.

Aku menggigit bibir bawahku untuk menekan segala emosi yang bercokol di dada. Lalu aku kembali masuk ke mobil untuk menata kembali penampilanku. Tidak lupa aku memoleskan lipstik berwarna merah untuk menegaskan kesan angkuh. Tidak, tentu aku tidak akan melabrak mereka berdua walau aku tahu Sania terang-terangan suka dengan Alex. Tetapi setahu Sania, Alex kan pacarku. Jadi, untuk menghadapi gadis itu aku harus tampil sempurna. Untuk menunjukkan jika ... He choose me because I'm perfect and damn beautiful. So, stay away from him, bitch!

Sebenarnya ini menyebalkan, karena saat ini aku hanya berdua dengan Siska. Kami biasanya jarang bicara. Namun, aku tak punya pilihan lain. Akhirnya walau awkward, aku tetap meminta pendapat pada adikku itu.

"How do I look?" tanyaku dengan dagu terangkat percaya diri.

Siska melihatku dengan tatapan dinginnya seperti biasa. "Ck, are you kidding me?" desisnya dengan nada super datar.

Aku melongo saat mendengar komentar Siska. Syok setengah mati. "Why?" tanyaku dengan kening berkerut. Karena bahkan para lesbian juga nggak bakal kedip saat aku dandan begini. Ayo taruhan, Ardhito Sahala juga bakal langsung ninggalin konsernya yang penuh ledakan hormon progesteron-campur parfum yang aromanya membuat mual itu.

"Please, use your brain, Sister. Kita di sini mau jadi relawan bukan clubbing di Kemang. Lo pikir anak-anak nggak bakal takut liat bibir lo yang kayak abis makan orok itu? Lap pake ini!" serunya seraya melempar tasnya yang penuh kain kasa. Aku menangkap tas milik Siska lalu dengan cemberut kembali masuk mobil untuk membenarkan riasan.

Siska itu memang pendiam, tapi sekalinya bicara bisa langsung membuat semua orang tak berkutik. Lagi pula benar kata gadis itu, di sini aku mau jadi relawan bukan jadi abege labil yang cemburuan. Jadi, ayo beraksi dengan cara lain. Walau pemandangan di depan sana benar-benar sangat menyebalkan!

***

Acara amal hari ini dibagi menjadi beberapa kelompok. Karena aku baru pertama kali ikut, jadi aku hanya mengikuti arahan Siska. Setelah rapat dengan para dokter dan panitia akhirnya kami mulai mengerjakan tugas masing-masing.

Dibantu para relawan kami mulai membujuk anak-anak untuk cek kesehatan. Dan sejak rapat tadi, aku belum bertemu lagi dengan Alex dan Sania. Sebenarnya sejak tadi aku sudah ingin menghampiri mereka berdua di halaman sekolah, tapi pelototan Siska membuatku tak berkutik sehingga aku manut saja. Kalau adu bacot silahkan diadu karena aku pasti menang, tapi kalo adu tatap sudah pasti Siska juaranya. Tatapan gadis itu bak tatapan Medusa!

Saat ini aku tengah membantu Dokter Emma untuk menimbang berat badan setiap anak, sambil sesekali lirik sana sini siapa tahu akan melihat Alex. Walau aku hanya pacar pura-puranya, aku tetap butuh penjelasan. Si blasteran Jerman satu itu nggak berniat menghancurkan segala rencana, kan?

Dasar aneh. Seharusnya aku senang saat semua kegilaan ini berakhir, tapi kenapa aku tidak rela?

"Kak Wina, apa cabut gigi sakit?" tanya Kila seorang anak yang baru saja selesai mengukur tinggi badannya.

Aku berjongkok dan tersenyum manis kepada bocah yang tampak pucat pasi itu. "Nggak dong, kan, nanti gusi kamu dibius dulu. Jadi, nggak bakal sakit sama sekali," jelasku menenangkan seraya mengelus lembut rambut Kila yang diikat ekor kuda.

"Janji nggak sakit?" tanya Kila seraya mengacungkan jari kelingkingnya. Manis sekali.

Sekali lagi aku mengelus rambut gadis itu lalu mengaitkan jari kelingking kami berdua. "Janji. Nanti Kakak temenin kamu pas cabut gigi, oke?"

Senyum Kila mengembang. "Oke! Yaudah aku ikut temen-temen gosok gigi dulu, ya, Kak! Jangan ke mana-mana! Aku mau ditemenin pas cabut gigi!" Setelah mengatakan Kila segera berlari menghampiri Suster Diana dengan senyuman lebar di bibir. Membuat senyumanku juga ikut terbit.

Namun senyumanku langsung lenyap begitu melihat Alex datang menghampiriku dengan senyuman super lebar yang bertengger di bibirnya. Pemandangan tadi di halaman sekolah masih saja membuat aku dongkol setengah mati "Thanks, udah mau dateng, Win. Akhirnya Kila bisa didampingi orang tua lengkapnya," ujar Alex yang justru membuatku melongo. Hah?

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang