63. You Are The Only Person Who Makes Me Happy

1.3K 226 7
                                    

“Setelah aku kirim pesan ke Sila yang isinya foto kalo aku sama Bryan lagi tidur bareng, Sila langsung benci sama aku. Ya, aku nggak nyalahin dia, aku yang paling tahu kalo Sila cinta banget sama Bryan tapi aku malah nusuk dia dari belakang. Setelah itu hubungan kami nggak lagi sama. Yah ... baguslah karena emang sesuai rencana.”

“Abis ngirimin foto ke Sila aku ke Oliver. Minum sampai mabok parah, dan itu emang bikin aku sedikit melupakan semua masalah aku. Tapi alkohol nggak bisa bikin aku lebih baik, hingga untuk pertama kalinya, aku nyoba ekstasi. Efeknya lebih baik daripada alkohol mana pun, dan itu bikin aku tidur nyenyak. Aku ngerasa tidur dalam waktu yang sangat lama, hingga akhirnya kamu tahu? Aku bangun dibalik jeruji besi. Tapi Lex ... aku mau ceritain ini lain kali. Karena kamu pasti udah muak dengerin dongeng yang nggak ada bagus-bagusnya ini, kan?”

Alex mengecup kepalaku lembut. "Kamu tahu, baby, kalo aku nggak bakalan pernah ke mana-mana. Jadi, kamu boleh cerita kapan pun kamu mau, bahkan kalo kamu mau mengulang kisah yang sama buat mengeluarkan beban di dada kamu—karena itu bakal bikin kamu lega. Aku bakal selalu di sini. Meluk kamu, meluk kamu, meluk kamu-sampai kamu muak."

Saat ini aku dan Alex memang sudah sendiri lagi di ruang rawat yang kata Mbak Hanum adalah toko buah dadakan karena ruang rawatku memang dipenuhi berbagai macam buah. Sedangkan Mbak Hanum sudah izin pergi dari sepuluh menit lalu karena ada pasiennya yang masuk UGD. Awalnya aku tidak yakin bisa seterbuka ini dengan Alex, makanya aku meminta Mbak Hanum untuk menemuiku. Tetapi ternyata semua tidak sesulit yang aku pikirkan, karena walau Alex melihat versi diriku yang paling buruk, pria itu tidak ke mana-mana. Bahkan, tatapan pria itu tidak berubah, jadi ini rasanya dicintai begitu besarnya?

"Awalnya aku takut banget pas bangun di penjara sendirian, aku pikir saat itu aku benar-benar sudah tamat. Ya, Mama memang bisa dengan mudah mengeluarkan aku dari sana dan nggak ada yang tahu. Tapi Lex ... yang aku butuhin bukan itu. Aku tahu aku sakit, dan aku butuh pertolongan. Karena aku nggak mau mati, seperti yang monster-monster di kepala aku bisikin. Makanya, untuk pertama kalinya aku memberanikan diri buat ke rumah sakit dan akhirnya aku ketemu Mbak Hanum. Dan kalo saat ini aku udah lebih baik, itu karena bantuan dari dia. Lex, aku sayang banget sama Mbak Hanum, dan jangan bilang ke dia, ya! Si dokter sedeng itu pasti langsung besar kepala!" candaku.

"Terus aku jadi rajin konsul sebulan sekali, kadang terapi juga. Nah, di sesi terapi, beberapa kali aku ketemu Ardhito—tapi aku rasa kita bisa bahas ini lain kali."

"Setuju!" sahut Alex cepat dengan ekspresi cemberut, yang sontak langsung memancing tawaku.

Sungguh, aku tidak tahu kenapa Alex bisa secemburu ini, padahal hubunganku dan Ardhito tidak pernah lebih dari seorang teman.

Karena cukup melegakan saat kamu tahu kalo bukan cuma kamu yang hidupnya menyedihkan. Sangat melegakan saat kamu tahu kalau bukan hanya kamu yang terpuruk sendirian. Hubunganku dan Ardhito akan selalu seperti itu.

Alex memandang wajahku lama, lalu pria itu mengecup dahiku, kedua mataku, pipi, dagu, kedua sudut bibirku, dan terakhir mengecup bibirku lama. "Hai, Wina Rakasiwi Soebardjo. My baby, maaf karena kamu ngalamin itu semua, aku tahu itu nggak mudah. Terima kasih sudah berjuang dan sudah bertahan sejauh ini. Dan terima kasih karena sudah memutuskan untuk tetap hidup. Terima kasih karena saat ini kamu ada di pelukan aku dan peluk aku balik. Terima kasih karena udah ceritain semuanya ke aku walau aku tahu itu sama sekali nggak mudah. I love you, baby. I love you so much."

"I love you too, Lexi. Terima kasih buat semuanya...." ujarku serak karena aku tak tahu harus berkata apa. Yang aku tahu saat ini aku begitu bahagia, dan dadaku diselimuti rasa hangat yang asing tapi aku suka. Selama ini aku hanya kenal dengan rasa sakit, tapi Alex memberiku banyak rasa bahagia.

"Yes, you're welcome my baby."

Memang hanya Alex satu-satunya— hanya Alexandre Rajendra yang bisa membuat aku bersyukur karena sudah lahir ke dunia. Dia adalah bahagia; bahagiaku yang paling sakral.

Makanya, boleh kan kalau aku jadi egois sekali saja?

"Lex ... hari ini aku juga mau bikin pengakuan. Aku—”

Aku menggigit bibir bawahku sebentar sebelum melanjutkan cerita,
"Aku dan Mbak Hanum bikin dare cukup gila. Dan dare ini ada hubungannya sama kamu. Mbak Hanum nantang aku buat jatuh cinta, dan pilihannya adalah ... kamu atau Jonathan. Dan, Lexi ... aku milih kamu. Awalnya aku nggak mau ngejalanin dare gila ini, tapi kamu malah nawarin fwb malam itu, dan aku pikir itu kesempatan. Sebuah kesempatan untuk mencintai kamu dengan segala yang aku punya, walau sebentar saja."

"I love you, Lexi, sejak awal aku cinta sama kamu. You are the only person who makes me happy, but no one person should be responsible for your happiness, because that's not fair. Makanya, sejak awal aku tahu kalo selamanya nggak bakalan pernah jadi milik kita, aku nggak berhak nyeret kamu ke hidup aku yang berantakan. Tapi, Lex ... aku jadi nggak tahu diri. Aku mau mencintai kamu dengan segala yang aku punya untuk selamanya, aku mau nahan kamu untuk waktu yang sangat lama, meluk kamu kayak gini, cium kamu kayak gini, tapi aku nggak boleh serakah, kan? I am broken and too damage, Lex. Until I don't know how to fix it."

"No, baby you're not. Kamu nggak hancur dan rusak. Andai kamu tahu betapa sempurnanya kamu di mata aku, sampai aku takut kehilangan kamu karena kita nggak sepadan. Andai kamu tahu betapa aku takut kehilangan kamu karena pada akhirnya kamu nemuin orang yang lebih baik daripada aku. Andai kamu tahu betapa cemburunya aku sama Ardhito, karena dia lebih baik segalanya daripada aku. Andai kamu tahu, Wina, betapa takutnya aku kehilangan kamu karena kamu selalu bersinar begitu terangnya. Sedangkan aku cuma Alexandre yang biasa saja, Alexandre yang bukan siapa-siapa. Alexandre yang selalu lupa buang kotak bekas susu, Alexandre yang suka lupa bedanya sikat gigi warna biru tua dan biru muda, Alexandre yang tidak dikenal siapa-siapa dan followers Instagramnya cuma lima puluh tiga biji, nggak ada apa-apanya dibandingkan followers Ardhito Sahala yang udah tembus 6 juta," kekeh pria kesayanganku itu yang juga sontak memancing tawaku.

"Dan Wina ... kali ini aku saja yang serakah. Biar Alexandre yang biasa-biasa saja ini yang menahan kamu lebih lama. Kalo selamanya memang bukan milik kita, maka kita nggak butuh 'selamanya'. Izinin aku buat nemenin kamu setiap hari. Dari Senin-Minggu, 24/7 sampai kamu muak. Biar kamu tahu kalo kita nggak butuh selamanya. Kita lebih dari selamanya, karena waktu bakal terus berlalu. Senin bakal ganti jadi Selasa, tanggal satu bakal berubah jadi tanggal dua, Februari bakal berubah jadi Maret, tapi aku dan kamu—bakal selalu jadi kita. Dan Wina ... terima kasih karena udah milih aku. Dan aku harap, kalo kamu bisa mengulang waktu, kamu juga bakal tetep milih aku. Walau saat itu perasaan kamu bukan cinta, walau perasaan kamu cuma pura-pura."

Oh, Alex ... andai kamu tahu.... Bahkan, jika waktu bisa diulang, aku nggak bakalan pernah mengubah apa pun. Aku bakal tetep menempuh jalan yang sama, merasakan sakit yang sama, berkali-kali terpuruk dan berkali-kali ingin mati karena tidak punya harapan sama sekali. Aku nggak bakalan mengubah apa pun, karena aku takut, kalo aku mengubah sedikit saja takdir aku, saat ini aku nggak bakalan ada dipelukan kamu.

I love you, Lexi. I love you, baby....

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang