10. Girls Talk

4.1K 651 27
                                    

Akhirnya hari ini cat rambut yang aku pesan tiba. Gara-gara dare kampret dari Dewi dua hari lalu, aku pun harus mewarnai rambut menjadi abu-abu. Mirip rambut mbah-mbah. Emang sialan banget si Dewi, untung ia tak menyuruhku mewarnai rambut dengan warna nyentrik seperti merah jambu atau biru muda.

Aku sudah melewati masa-masa itu dan rasanya tidak sudi jika harus mengulangnya kembali.

Aku keluar dari dapur seraya membawa mangkuk berisi cat yang sudah aku larutkan dengan air beserta kuas milik Dewi yang baru saja aku cuci. Lalu aku duduk di ruang tamu bersama Dewi, Anna, dan Debie. Ketiga teman kosanku itu terlihat begitu fokus melihat drama When a Snail Falls in Love.

"Di sini Wang Kai naik kasta, ya. Nggak kayak di Love Me If You Dare jadi sad boy," oceh Dewi seraya memasukkan kuaci ke dalam mulut.

"Ya, iyalah orang dia jadi main lead di sini. Coba kalo jadi second lead auto jadi duta sad boy dia," sahut Debie menanggapi komentar Dewi.

"Walau misteri pembunuhannya nggak seuwow LMIYD tapi gue lebih suka drama ini, sih. Karakternya Xuxu kece banget cuy! Dia cerdas overload! Berasa liat Sherlock Holmes versi cewek." Kali ini Anna yang bicara.

"Tapi walau cerdas kebangetan, Xuxu jadi beban banget nggak sih kalo lagi kerja lapangan? Greget banget gue liatnya," komentar Dewi lagi.

"Tapi menurut gue karakter Xuxu cukup realistis, sih. ‘Manusia nggak sempurna’. Karena manusia kan emang nggak ada yang sempurna. Nggak kayak female lead di drama-drama lain yang terlalu over power atau polos dan jadi oon kebangetan gara-gara jatuh cinta." Akhirnya aku pun ikut berkomentar. "Wi, tolong warnain rambut gue dong!"

Dewi tersenyum lebar. "Sini-sini. Gue warnain rambut lo dengan penuh cinta!" serunya seraya mengedipkan mata menggoda.

Aku memutar bola mata malas, karena aku tahu Dewi begitu semangat bukan karena ingin membantu, tapi ingin cepat-cepat menistakan rambutku! Begini nih kalau punya sahabat super sinting!

"Tapi nanti akhirnya Xuxu bakal latihan fisik biar nggak jadi bebannya Ji Bai lagi, kok." Setelah mengatakan itu Debie mengalihkan pandangan ke arahku. "Believe me, Win, setiap penulis entah novel, komik, skenario film, atau skenario drama itu sama. Mereka pasti punya alasan kenapa bikin karakter begitu. Karena tujuannya ya emang buat pengembangan karakter tokoh tersebut ke depannya."

"Ini gue ngomong dari pengalaman pribadi sebagai penulis komik yang masih terus belajar, ya. Gue ngomong gini juga bukan karena anti kritik atau terlalu baperan, cuma membeberkan sudut pandang gue sebagai orang yang juga menciptakan 'karaktek' tokoh fiksi," jelas Debie.

"Iya, gue ngerti Debie sayang! Ini gue juga cuma membeberkan sudut pandang gue sebagai penonton aja, kok. Gue juga tau lo nggak anti kritik, malah girang banget kalo ada yang ngasih kritik pedas setara bon cabe level seratus," kekehku seraya mengangkat rambut karena Dewi menyampirkan handuk di bahuku agar baju yang aku pakai tidak terkena cat.

Debie ikut terkekeh. "Ya, jelaslah! Karena kritik-kritik itu yang membuat gue semakin berkembang. Gue jadi tau salah gue di mana dan bisa perbaiki itu. Yaelah kritik pedas level seratus mah biasa aja, gue udah biasa disuguhi kritik level serebu dari mulut lo!"

Yes, your welcome, bestie.”

"Eh, spill siapa pembunuhnya dong, Deb, sumpah gue penasaran!" seru Anna gregetan.

"Ah, nggak seru kalo nonton sama lo, Na! Minta spoiler mulu!" decak Dewi seraya mewarnai rambutku dengan kuas.

"Tau nih si Anna. Udahlah, sono lo baca novelnya dulu sampe ending. Tapi nanti nggak usah spoiler," sambarku.

"Lo percaya gue bakal tutup mulut?" tanya Anna dramatis, karena gadis itu memang terkenal sebagai 'Kang Spoiler'.

Aku dan Debie menggeleng bersamaan. "Nggak!" jawab kami serentak yang membuat Anna manyun.

Debie tertawa kecil. "Makanya ganti Sweet Teeth aja daripada kalian penasaran. Gue butuh asupan yang manis-manis buat membangun chemistry tokoh gue di ending," ujar gadis itu tanpa dosa.

Kami bertiga melotot pada Debie. "Ganti aja gundulmu, Deb!" protes kami berbarengan yang justru membuat tawa Debie semakin keras. Drama ini memang rekomendasi dari Debie, makanya gadis itu sudah tak penasaran siapa pembunuh sebenarnya karena sudah menonton sampai tamat.

Akhirnya Debie fokus memainkan ponsel saat kami fokus menonton drama. Saat ini memang hanya cewek-cewek yang nobar, sebab para pria sibuk dengan urusan masing-masing. Jonathan masih di restoran, Bayu belum pulang, sedangkan Alex mendekam di kamar.

Setelah maraton tiga episode aku pun memutuskan untuk menyudahi menonton. Cat rambutku juga sudah kering. Sehingga aku tak perlu khawatir ada pewarna rambut yang menempel di bantal saat aku tidur. Malam ini aku memang memutuskan tidur lebih awal karena besok jatahku masak. Aku ingin bangun pagi lalu pergi ke pasar tradisional untuk membeli sayuran segar.

Namun sebelum tidur aku memutuskan ke kamar Alex dulu untuk memastikan pria itu tidak begadang lagi. Alex harus melaksanakan dare yang aku berikan. Awas aja kalo nggak! Gue jadiin babu sebulan!

Aku mengetuk pintu dua kali, lalu membuka pintu kamar Alex yang ternyata belum dikunci. Menandakan pria itu belum tidur karena biasanya Alex selalu mengunci pintu saat tidur.

"Lex, sekarang jam ber--lo masuk angin?" tanyaku saat melihat Alex mengeroki dadanya sendiri.

"Ho-oh nggak enak banget perut gue. Kembung," jawab pria itu seraya meringis kecil.

Aku menghampiri Alex, lalu merebut minyak kayu putih dari tangan pria itu. "Balik badan, gue bantu kerokin punggung lo."

"Thanks," sahut Alex seraya berbalik badan.

Lalu aku mengeroki Alex dengan gerakan hati-hati. Takut koin logamnya melukai punggung Alex.
“Tapi lo udah minum obat juga, kan?" tanyaku masih fokus menggambar tulang ikan di punggung Alex. Kulit Alex yang putih pucat terlihat memerah dengan warna yang sangat mencolok.

"Udah, kok. Ini perut gue juga udah enakan, tambah enakan lagi karena abis dikerokin gini," jawabnya seraya memakai kausnya kembali.

"Bagus deh kalo gitu. Yaudah sekarang lo cuci kaki, gosok gigi, terus bobo."

"Win, itu mah kalo lo nyuruh anak lo tidur. Tapi sekarang kita kan couple. How about pelukan selamat malam?" tanyanya menggoda yang hanya aku respons dengan menutup pintu kamar Alex keras.

Setelah menutup pintu aku menyender di depan kamar Alex. Aku meremas ujung bajuku keras-keras.

Sadar Wina, lo harus tau diri.

***

Guys, Sa, coba ngubah sudut pandang Wina. Semoga ceritanya tetep bisa dimengerti, ya.

Sa,
Xoxo.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang