14. Home?

4.1K 630 21
                                    

Sekarang aku menyesal karena tidak mengiakan ajakan Ardhito untuk ikut pesta di Blok M. Aku yakin meladeni kenarsisan artis sangklek itu lebih baik daripada makan malam di rumah dengan kecanggungan yang mencekik.

Arditho memang kampret, coba saja ia bilang sejak awal kalau Abimana Aryasatya juga datang ke pesta, aku pasti langsung mengiakan ajakannya tanpa berpikir dua kali. Tetapi pria itu malah baru bilang tadi sore. Saat aku sudah mengiakan ajakan Devan untuk makan malam di rumah.

Aku memang tidak akan pernah bisa menolak permintaan Devan, apalagi kalau keponakanku itu sudah mengeluarkan air mata buaya dan segala dramanya yang murahan. Seperti menangis sambil guling-guling misalnya. Dasar drama king!

Tentu, saat ini aku merasa tidak nyaman. Duduk semeja dengan Nyonya Melani Soebarjo memang tidak pernah terasa menyenangkan. Seperti wanita itu yang enggan menyapaku, aku pun memilih untuk bungkam saja.

Kursi kosong yang biasanya tidak berpenghuni di pojok kiri kini ditempati oleh seseorang. Seorang pria yang merupakan anak menteri kesehatan duduk di sana. Ia adalah pacar Siska hasil dari perjodohan mama. Wah, sepertinya si nyonya ambisius itu benar-benar sangat berambisi menjadi wakil menteri. Sampai menjadikan Siska sebagai alat.

Siska yang penurut memang sangat berbeda sekali denganku yang pemberontak sejak kecil. Aku ingat dulu Siska kecil selalu menuruti apa yang mama mau. Bocah itu masih tiga tahun, tapi mau-mau saja disuruh mengikuti berbagai les yang ditetapkan mama. Mulai dari les matematika, bahasa Inggris, sampai les piano.

Kalau aku sih pasti selalu kabur. Hah~ persetan dengan les piano, membedakan fa dan sol saja aku suka terbalik sehingga membuat guru lesku frustrasi. Mending main gundu di lapangan, terbakar matahari tapi masa kecilku terselamatkan.

Di mataku Siska sudah seperti robot yang diprogram untuk mengikuti segala kemauan mama. Kadang aku kasihan pada adikku itu, aku ingin sekali saja mengajaknya untuk memberontak. Tetapi aku pikir itu pilihan yang buruk, karena Siska pernah memberontak sekali, tapi pemberontakan kecil itu membuat orang lain menderita selama dua puluh tahun.

Aku selalu tersenyum miris saat mengingat kejadian naas itu. Tentu saja saat kecil hubungan kami tidak sedingin ini, umur kami yang hanya terpaut satu tahun membuat aku dan Siska menjadi dekat.

Kami main masak-masakan bersama, main barbie, dan sangat dekat seperti adik-kakak pada umumnya.

Hingga kejadian itu mengubah segalanya. Mungkin cerita kami seperti Anna dan Elsa dalam disney Frozen. Bedanya Siska tidak bernyanyi, Elsa, do you wanna build a snowman? Tapi bernyanyi, Wina, ayo manjat pohon lagi.... Dengan tangan kanan di gips karena patah. Sejak kejadian itu aku memilih menjauhi Siska, sehingga hubungan kami sampai dewasa begitu dingin.

"Win, pembukaan kedai kopimu yang baru besok Senin, kan?" tanya Om Rizaldi membuka pembicaraan. Mungkin papa tiriku sudah bosan dengan kebisuan yang ada.

Aku mengelap bibirku dengan serbet. "Iya, Om, besok Senin opening sama pre order-nya," jawabku.

"Keren! Semoga semuanya lancar, ya!"

"Amin. Terima kasih, Om."

"Tan, ada menu baru nggak?" tanya Devan antusias.

Aku mengangguk seraya tersenyum lebar pada Devan. "Ada dong! Ada affogato request kamu juga, lho," jawabku.

Netra Devan berbinar. "Serius, Tan? Ma, Ma, Ma, aku mau ke kafe barunya Tante Wina, ya! Terus makan es krim yang banyak!" serunya memohon.

Mbak Riani mengelus kepala Devan lalu mengangguk setuju. "Iya, kita pasti ke sana."

Hi, Mate! (Completed)Where stories live. Discover now