28. Second Chance

3.6K 559 27
                                    

"Mau gue buatin apa?" tanyaku pada Alex yang baru saja duduk di bangku pojok dekat jendela. Hari ini pria itu memang ikut aku ke Queen Bakery karena katanya ia ada rapat dengan klien di dekat sini.

"Gue mau roti bakar coklat sama kopi ... Eh, nggak deng. Teh chamomile aja. Tapi gulanya dikit.”

"Okay, bentar gue bikinin dulu."

Setelah mengatakan itu aku segera menyambar apron yang tergantung di tempat khusus. Lalu berjalan menuju dapur. Terlihat Saskia yang merupakan salah satu pekerja part time di sini tengah melamun seraya mengelap gelas.

"Pagi, Sas!" sapaku ramah seraya mengambil cangkir dan dua kantung teh chamomile.

Saskia tersentak dari lamunannya, lalu balas tersenyum padaku dengan salah tingkah. "Pagi juga, Mbak! Sorry, sorry, gue ngelamun. Ada yang bisa gue bantu?"

"Tolong lo bakarin roti coklat dua, ya! Anter ke meja deket jendela,” pintaku seraya tersenyum. “Kenapa ngelamun pagi-pagi?"

Saskia mengembuskan napas panjang seraya membakar roti dengan selai coklat. "Sebenernya hari ini gue kayak rada menyesal gitu, Mbak. Soalnya dulu gue kan eligible buat program student exchange ke Malaysia. Gue akhirnya ikutin semua tesnya tapi gagal, jadi ya udah mungkin emang bukan rejeki gue."

"Nah, tahun ini gue juga dapet kesempatan lagi, but, gue kayak bimbang. Nggak sreg gitu hatinya buat ikut tes lagi, akhirnya gue bilang ke dosen gue buat kasih ke temen gue aja. Ternyata temen gue itu lolos tes dan sekarang dia update terus soal kuliah dia di sana. Punya banyak temen, banyak pengalaman dan pembelajaran baru, berprestasi juga. Jadi, gue kayak agak menyesal gitu. Andai gue nggak melewatkan kesempatan kedua ini," jelasnya masam tapi masih fokus membakar roti.

Aku mengangguk mengerti. "Gue tau, kesempatan kedua itu kayak magic. But, kalo lo melewatkan ini ya nggak papa, nggak usah dipikirin. Karena seperti ada beberapa orang yang sebaiknya nggak dikasih second chance, kesempatan kedua juga nggak selalu baik buat kita."

Kali ini Saskia tersenyum lega. "Iya, juga sih ya, Mbak. Mungkin karena itu emang nggak baik buat gue. Atau nanti gue dapet kesempatan yang lebih baik lagi. By the way, thanks, karena udah mau dengerin curhatan gue pagi-pagi, hehe," ujarnya cengengesan. Lalu gadis itu memindahkan roti bakar yang sudah matang ke piring.

"You're welcome. Ya udah nggak usah dipikirin lagi. Overthinking itu jatahnya malem, hey!” candaku seraya tertekekeh. “Eh, tumben lo masuk pagi. Kuliah siang?"

"Iya, Mbak, makanya gue minta tukeran shift sama Milea. Untungnya dia emang lagi cuti kuliahnya."

Aku hanya merespons ucapan Saskia dengan anggukan mengerti, lalu aku pun keluar dapur seraya membawa dua cangkir teh chamomile yang asapnya mengepul. Sedangkan Saskia membawa dua piring roti bakar dengan baki.

Setelah menaruh roti bakar Saskia segera kembali ke dapur untuk membuat pesanan lain. Sedangkan aku sarapan berdua dengan Alex.

“Jadi, entar lo kudu buat maket baru lagi?” tanyaku setelah menyeruput teh pelan.

Alex menelan roti yang ada di mulutnya. “Nggak buat baru, sih. Cuma paling gue rombak aja nanti setelah dapet konsep barunya gimana. Ini cuma gedein kamar anak aja, kok. Soalnya ternyata istrinya Mas Dewa hamilnya anak kembar,” jelas pria itu.

Aku mengangguk mengerti. “Jam berapa lo meeting-nya?”

“Selesai sarapan gue langsung ke sana. Biar cepet selesai juga. By the way, lo pulang jam berapa nanti?”

Aku sedikit menarik sudut bibirku. Sebenarnya biasanya kami memang biasa sarapan bersama di Queen Bakery, tetapi baru kali ini kami membicarakan seperti ini. Biasanya kami hanya akan makan dengan tenang, sesekali berdebat, sebelum akhirnya Alex meninggalkan tempat ini.

“Jam 5 sih kayak biasanya. Tapi entar jam 3 an gue ada wawancara. Jadi, belum tentu juga,” jawabku.

Alex memakan potongan roti terakhirnya, lalu kembali bicara setelah roti yang ada di mulutnya pindah ke lambung. “Gue jemput lo. Bilang aja kalo udah mau pulang,” ujar pria itu seraya berdiri dan kembali menggendong tas ranselnya.

Aku menghampiri Alex, membenarkan dasinya yang sedikit miring, lalu mengangguk. “Oke.” Setelah itu Alex meninggalkan Queen Bakery dengan senyuman lebar di bibirnya.

***

Aku kembali mengamati seorang anak SMA yang kini tengah duduk di depanku dengan tenang. Gadis itu terlihat begitu percaya diri, berani, dan sama sekali tidak gugup. Bahkan, ketika aku mencecarnya dengan pertanyaan macam-macam.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mewawancarai seorang anak SMA yang berniat kerja part time di sini, tapi entah kenapa seorang Leora Putri Sastronegoro seolah membuatku mengenang kenangan lama. Aku tahu Sastronegoro bukanlah nama sembarangan di negara ini, Aji Sastronegoro adalah seorang pengusaha properti yang namanya sangat terkenal. Dan belum ada berita yang mengatakan jika Aji bangkrut atau terkena skandal suap tanah ilegal. Sedangkan Linda Sastronegoro adalah seorang aktivis sosial yang kencang menyuarakan tentang bahayanya seks bebas dan bahaya penyakit menular seksual. Terkadang Linda juga bekerjasama dengan Mbak Riani dalam mengampanyekan tentang ini. Jadi, seharusnya seorang Leora tidak punya alasan untuk bekerja di sela-sela menuntut ilmu untuk masa depan. Kecuali ... Dia mirip dengan seseorang.

“So, narkoba? Punya anak di luar nikah? Atau kabur dari kenyataan?” tanyaku seraya melipat kedua tangan di dada.

Leora menatapku datar, tatapan super datar yang mengingatku pada tatapan Siska. “Tidak ketiganya. Tapi saya cuma dua pilihan. Kerja atau mati,” jawab gadis itu seraya menatap netraku tanpa takut. Tetapi aku tahu, mata itu menyimpan banyak ketakutan.

Aku paham sekali karena beberapa tahun lalu pernah ada di posisinya.

Aku meremas pinggiran meja keras sampai ujung-ujung kukuku memutih. Rasa sesak itu kembali datang. Aku seperti melihat diriku di masa lalu. Begitu tangguh, berani, tak takut apa pun bahkan kematian. Tetapi sebenarnya, ketakutan setengah mati.

Aku mengangguk mengerti. “Oke, lo diterima di sini. Nanti gue sesuaikan jam kerja lo. Lo boleh dateng lagi besok,” jawabku akhirnya sebelum meminum segelas air yang tersedia di meja untuk membasahi tenggorokanku yang terasa kering.

Kali ini Leora menarik sudut bibirnya walau super tipis. “Terima kasih karena tidak bertanya apa-apa soal nama belakang saya. Dan ... Terima kasih karena sudah menerima saya walau dengan alasan kasian....”

Aku paham betul, walau hanya 'kasian' tapi itu membuatnya punya alasan untuk hidup lebih lama. Aku memahami itu, bahkan sangat paham.

“....Saya janji akan bekerja dengan baik.”

Setelah kepergian Leora aku segera menyambar tas yang ada di meja. Lalu pergi menuju tempat di mana aku bisa lupa segalanya. Seharusnya aku pulang, seharusnya aku menelepon Alex dan membiarkan dia menjemputku seperti bayangan indahku tadi pagi. Namun ... Aku sedang tidak ingin pulang.

Hi, Mate! (Completed)Where stories live. Discover now