34. To Be-Yours?

4K 566 36
                                    

Teriakan Debie dari halaman terdengar sampai dalam kosan. Lalu beberapa detik kemudian gadis itu terlihat memasuki Twogether seraya berkacak pinggang.

“Awas aja kalo si Junedi lewat depan mata gue! Langsung gue kebiri bijinya!”

“Emang si Junedi kenapa, sih? Kejam amat lo.”

“Si Junedi nendang janda bolong gue! Potnya hancur noh di halaman, sumpah ya, kali ini gue nggak main-main! Beneran bakal gue potong bijinya!”

Aku yang baru selesai work out dan baru saja minum air dingin yang aku ambil dari kulkas langsung tersedak begitu mendengar teriakan Debie. Karena jelas aku tahu, yang membuat janda bolong Debie meluncur dari atap bukanlah Junedi--kucing kampung jantan yang biasa nongkrong di atap--tapi Alexandre.

Kan nggak lucu kalo Debie....

Aku langsung bergidik ketika membayangkan itu, sehingga aku langsung menggelengkan kepala untuk mencegah apa pun gambaran yang hendak tercipta di kepala.

“Entar gue beliin pot baru, Deb. Sekalian tanahnya, deh,” ujarku seraya duduk di samping gadis itu.

“Kalo ke Bandung, mintain tanah subur ke Oma, oke?”

Aku mengangguk mengiakan. “Oke.”

Aku dan Alex saling lirik begitu pria itu keluar dari kamarnya. Aku dapat melihat bibir pria itu berkedut, dan aku yakin ia tengah mati-matian menahan diri agar tidak berteriak dan melanjutkan percakapan kita semalam.

Walau sampai saat ini aku tidak tahu alasan kenapa Alex bisa semarah ini.

“Lo kenapa, Deb? Kenapa muka lo udah kecut aja pagi-pagi?” tanya Alex seraya meminum susu kotak di depan kulkas.

Anna mengalihkan matanya dari buku yang ia baca. “Junedi nendang janda bolong Debie sampe jatoh ke halaman. Debie mau motong anunya,” jawab gadis itu.

“Buset, kejam lo, Deb! Kan, tinggal beli pot baru lagi aja,” tutur Alex ngeri. Wajah pria itu terlihat pucat seperti takut dieksekusi mati, membuatku menggigit bibir keras-keras untuk menahan tawa yang hendak meledak.

Debie mendengkus keras. “Siapa yang kejam? Gue? Junedi noh yang kejam! Udah menelantarkan 3 istri dan 12 anak, terus nendang janda bolong orang tanpa tanggung jawab pula! Udahlah, emang waktunya dikebiri anunya!” seru gadis itu berapi-api.

“Deb, please, berhenti ngomong kebiri! Entar gue beliin pot baru lagi, selusin kalo perlu!” seru Alex bergidik seraya mengembalikan kotak susu ke kulkas.

Jonathan menepuk pundak Bayu yang baru keluar dari kamarnya dan hanya terbengong di undakan tangga terakhir. “Sorry, Bro, gue tau kebiri bukan topik yang bagus untuk memulai hari Minggu yang cerah ini. Tapi mohon dimaklumi, ya.”

Bayu terkekeh seraya mengangguk mengerti. “Santai, Bro.” Lalu seperti biasa pria itu memulai menggoda Dewi. Pemandangan yang beberapa hari ini memenuhi Twogether, karena ternyata mereka berdua adalah teman saat SMA.

Sebelum mandi aku memutuskan untuk minum seteguk air lagi, hingga aku pun kembali menghampiri kulkas. Dan emosiku langsung naik ke ubun-ubun begitu mengangkat kotak susu yang tadi diminum Alex. Kotak susunya kosong!

Aku melempar kotak susu ke punggung Alex yang hendak kembali ke kamarnya. “Lex, udah gue bilang jangan taro sampah di kulkas! Kebiasaan banget, sih!” teriakku.

“Oh, c'mon, Win. Tempat sampahnya ada di depan mata lo. Nggak usah ribut, tinggal lo buangin aja,” sahut pria itu datar.

“Ini bukan soal tempat sampahnya ada di depan mata gue, Lex. Tapi soal kebiasaan!”

“Oh, tapi lebih mending gue, kan? Kebiasaan gue cuma lupa buang kotak susu kosong ke tempat sampah, bukan mainin perasaan orang!”

“Kenapa lo bisa semarah ini, sih? Gue udah bilang kalo semal—lo kudu buang sampah pada tempatnya! Dan tempatnya jelas bukan kulkas!”

“Lo emang selalu begini, kan? Seenaknya sendiri? Kenapa nggak ngasih tau gue dul—lo itu ribet, Win. Tempat sampahnya ada di depan mata lo, dan buangin itu buat gue nggak makan waktu lima detik!”

“Lo yang nggak mau dengerin gu—e cuma mau lo ilangin kebiasaan buruk ini, Lex!”

“Oh, coba inget siapa yang langsung pergi semal—lo nggak bakal berenti sebelum gue buang ini sampah, kan? Fine!” Alex menghampiriku dengan langkah menghentak, lalu berdiri di depanku dan membuang kotak susu kosong itu ke tempat sampah yang ada di depan samping kulkas.

“Puas?”

Lalu aku mendongak untuk menatap netra Alex dan pria itu menunduk untuk menatap netraku. Saat mata kami bertatapan kemarahan itu seolah menguap. Emosi itu seolah meledak, tapi bukan ledakan dahsyat—sebab emosi yang sudah mendidih di ubun-ubun. Ledakan ini lebih menyenangkan, seperti ledakan kembang api di dada dan kepakan sayap kupu-kupu di perut.

Napas kami saling bersahutan, netra kami saling bertautan, dan gelenyar itu membuat tubuhku terasa terbakar.

“Win?”

Butuh jeda yang cukup panjang sebelum aku menjawab, “Ya?”

“Ini yang di Lambe Turan kencan sama Ardhito Sahala lo bukan, sih?” tanya Dewi seraya menge-zoom foto ngeblur itu untuk memastikan.

“See?” lirih Alex sinis, membuatku berdecak kesal.

Aku membasahi bibirku sebelum berlalu dari hadapan Alex. Membuat pria itu menarik napas panjang.

Lalu aku menjelaskan segalanya kepada mata-mata penasaran yang kini menatapku. Tatapan penasaran yang sejak tadi sudah menatapku dan Alex sejak pertama kami berdebat.

“Emang itu gue, tapi itu cuma settingan, oke? Gue cuma bantuin si sableng itu doang. Gue nggak tau kenapa lo bisa ngeh itu gue, Wi. Padahal netizen udah yakin banget itu Amara Daud.”

“Gue tau dari jam tangan lo, Win.”

“Apa sekarang gue harus takut sama kemampuan nge-stalk cewek? Entah kenapa ini agak creepy, Dewi bisa tau kalo itu Wina cuma dari jam tangan ngeblur,” tanya Jonathan seraya bergidik.

Anna menutup novelnya dan merenggangkan tubuh. “Makanya jangan coba-coba, Bang Jo. Cewek itu kebanyakan; aku tahu tapi aku diam. Jadi si Ardhito bukan gay, Win?”

“Bukan, Na, entar gue kenalin kalo lo mau.”

“Nggak usah, Ardhito Sahala bukan tipe gue. Muka-muka sad boy—second lead. Pasti aslinya buaya darat yang modal mulut manis doang.”

Aku pun langsung terbahak begitu mendengar jawaban Anna. Kalau Ardhito ada di sini, pasti si artis sangklek itu sudah bete parah.

“Lo udah jomlo berapa lama, sih, Na?” tanya Debie kepo.

Anna mengedikan kedua bahu ke atas tidak peduli. “Mungkin udah 6 tahun? Sejak lulus SMA.” jawabnya jujur.

“Oke, anggap aja ini random question buat riset komik gue, karena tokoh gue yang ini juga udah lama nggak jatuh cinta. Gue agak nggak ngerasain feel-nya karena gue kan nggak jomlo.”

“Lo tau nggak LDR selain long distance relationship artinya apa, Deb? Long distance reladiboonginship,” ujar Dewi menggoda.

Debie memelototkan mata, lalu melempar kulit kacang ke arah Dewi. ”Heh bangke! Lambemu, Wi!” Dan kami pun akhirnya terbahak bersama. Dasar Debie si tukang overthinking!

Debie cemberut, tapi kemudian tatapannya berubah serius saat melihat Anna. “Na, lo kangen nggak sih ketemu orang who make you can not breath because around him. Make you can not sleep because thinking of him. Make your stomach full of butterfly just because he look at your eyes. And this is the worst part ... your body always feel burn when he around you, the tention, the sensation, and the deeply desire you can not handle, make you wanna him to be—yours?”

Aku tahu pertanyaan itu untuk Anna, tapi entah kenapa aku yang merasa sesak napas saat mendengarnya. Aku merasakan itu semua. Tatapan itu, pelukan itu.

Jadi milikku? Apa mungkin?

Tentu tidak, karena semua ini hanya permainan belaka.

Hi, Mate! (Completed)Where stories live. Discover now