45. No

2.8K 391 47
                                    

Aku membiarkan suara merdu Michael Buble yang menyanyikan lagu Sway beradu dengan suara reporter olahraga yang tengah memandu NBA finals di televisi ruang tamu. Dengan langkah tergesa aku berlari kecil ke arah pintu lalu tersenyum lebar saat melihat Alex berdiri menjulang di depanku.

Aku membiarkan pacarku itu masuk. Lalu pria itu mematikan televisi karena pertandingan basket antara Boston Celtics dan Golden State Warrior memanglah hanya pertandingan ulangan minggu lalu. Kini hanya ada suara Michael Buble yang memenuhi apartemen.

Aku tahu suasana hati Alex saat ini sangatlah buruk. Tetapi aku belum mau menyinggung tentang hal itu sebelum Alex membahasnya lebih dulu. Aku mengalungkan kedua lenganku di leher Alex dan mencium pipi kirinya lembut.

"Hai, puding susu kesukaan kamu udah jadi. Mau?"

Alex mengecup kepalaku lembut. "Mau."

"Oke, bentar aku ambilin."

Lalu aku berjalan ke arah dapur diikuti Alex yang mengekor di belakangku. Aku menuju kulkas sedangkan pria itu menuju wine cellar yang ada di pojok dapur. Aku mengambil puding susu dingin sedangkan Alex mengambil whisky. Tidak lupa pria itu juga mengambil seember es batu yang sudah tersedia di kulkas.

Aku bukan penggemar berat wine dan biasanya hanya minum saat sedang suntuk saja. Tetapi jika di apartemenku ini sampai ada wine cellar dengan koleksi anggur yang cukup lengkap, itu semua adalah kerjaan Siska. Aku dan adikku itu memang tidak begitu dekat, tapi untuk pertama kalinya setelah dua puluh tahun akhirnya kami sepakat tentang satu hal. Kami butuh tempat lari dan sembunyi. Apartemen ini selalu menjadi tempat lari dan sembunyi yang pas. Makanya lima tahun lalu saat adikku itu meminta pin apartemenku aku langsung memberikannya tanpa berpikir dua kali.

Entah karena saat itu aku tengah hangover sehingga kesadaranku sudah melayang entah kemana, atau karena terlalu senang karena akhirnya jarak yang ada di antara kami sedikit terurai. Yang jelas aku sama sekali tidak keberatan berbagi apartemen ini dengan Siska. Pula tidak keberatan saat gadis itu memutuskan merenovasi apartemen ini hingga punya beberapa ruang tambahan.

Lalu aku dan Alex keluar dapur dan berjalan ke balkon apartemen. Kami menaruh whisky dan puding susu berjejeran. Sungguh pemandangan yang jomplang sekali.

Aku dan Alex duduk berjejeran di sofa panjang yang memang sengaja aku taruh di balkon.

Alex memakan sepotong puding sebelum membuka botol whisky dan menuang cairan itu ke gelas kristal yang sudah diisi es batu. Pria itu menuang cairan keemasan itu masing-masing setengah gelas-di gelasku dan gelasnya. Pria itu langsung meneguknya sekali teguk dan langsung menambahnya setelah itu. Sedangkan aku hanya menempelkan bibir gelas di bibirku dan menyesapnya sedikit. Lalu meletakannya kembali di meja dan mulai makan puding susu yang sebenarnya sejak tadi siang memang sudah sangat menggoda.

Alex kembali meminum whisky-nya, tapi kali ini ia hanya meminumnya sedikit lalu ikut meraih puding yang ada di meja. Pria itu duduk menyender di sofa sedangkan aku langsung menaruh kepalaku di bahu pria itu. Hingga tidak ada jarak lagi di antara kami. Hangat.

"Hai, how's your day, Love?"

Ini yang aku suka saat berpacaran dengan Alex. Saat kami terlalu sibuk seharian hingga tak sempat berkabar atau bertemu karena kerjaan yang menggunung, malamnya pria itu akan memelukku dan memulai obrolan dengan menanyakan bagaimana hariku berjalan. Seolah ia juga ingin masuk ke momen-momen yang ia lewatkan. Seolah apa yang aku lakukan seharian ini begitu penting baginya.

"Hmm, aku kerja kayak biasa. Terus ngajarin Marcel bikin coffee art dan harus aku akui kalo dia emang berbakat gambar. Dicontohin beberapa kali juga bisa. Terus siangnya aku telponan sama Zuto karena mau minta tolong sesuatu sama dia. Sisanya pusing karena mikirin stok kopi, roti, selai, dan buku buat di Queen Bakery."

Sebenarnya ada satu hal lagi yang sungguh menggangguku seharian ini, tapi aku memilih untuk tidak membahasnya dengan Alex karena segalanya belum pasti. Mungkin aku saja yang terlalu paranoid. Queen Bakery punya banyak pelanggan tetap dan kebanyakan memang selalu mampir setiap hari. Jadi yang satu ini juga pasti tidak istimewa.

"How about you. How's your day?" tanyaku balik.

Alex menghela napas lelah. "Sampai tadi siang aku baik-baik aja. Walau klienku super nyebelin karena dia mau bikin rumah yang kamarnya setiap pagi kena sinar matahari, tapi pengennya punya kamar di sisi barat biar deket sama kolam renang. Ya, tolong aku nggak mau cepet-cepet kiamat!" sungut pria itu yang sontak membuatku terbahak.

"Tapi itu bukan yang terburuk. Aku kalah, Win."

Ya, itu aku juga tahu. Aku melihat pengumuman lomba design Perpustakaan Presiden di E-news tadi siang, dan Alex memang tidak masuk ke tiga besar. Pria itu hanya ada di posisi ke delapan. Sehingga ia harus berhenti di babak ini.

Kekalahan dan kegagalan selalu menyakitkan. Makanya aku paham jika pria itu saat ini sedih luar biasa walau katanya tidak punya ekspetasi apa-apa. Apalagi sejak kecil selalu dituntut harus jadi yang terbaik. Soal ini, nanti aku ceritakan lain kali.

Aku merangkum kedua pipi Alex dan menatap mata pria itu lembut. "Hei, saat kamu keluar dari rumah kamu sudah memutuskan untuk bebas. Jadi, kamu nggak perlu membuktikan diri kamu ke siapa-siapa lagi, Lex. Kamu nggak harus selalu jadi yang terbaik lagi. Karena aku tahu kamu selalu ngelakuin yang terbaik. Dan bagi aku itu cukup. Di depan aku kamu hanya perlu jadi kamu. Silahkan lepas semua topeng dan senjata. Kalo di depan Papa kamu itu terserah kamu. Tapi yang jelas aku bukan Papa kamu, kamu nggak perlu membuktikan apa pun ke aku."

Alex ikut menempelkan dahinya di dahiku lalu mengecup bibirku lembut. "Thanks, Love."

"Your welcome, Sayang," balasku seraya mengecup bibir pria singkat.

Kami saling tersenyum lebar sebelum kembali menjaga jarak. Aku menyambar whisky dari meja dan menutupnya kembali.

"Besok kita harus ke konser piano Siska. Si medusa itu bakal ngamuk kalo kita nggak dateng. So, aku punya yang lebih baik dari ini. Or you still need it?"

Alex menjawab dengan gelengan kepala dan aku langsung meresponnya dengan anggukan mengerti. Lalu aku kembali masuk ke apartemen dan mengembalikan whiskey ke wine cellar. Aku membuka kulkas dan membawa keluar beberapa potong puding susu.
Kali ini kami makan seraya menatap bulan dan pemandangan Jakarta dari lantai dua puluh tujuh. Deep talk dengan Alex selalu menyenangkan. Makanya kesempatan seperti ini tidak pernah mau melewatkan kesempatan ini, karena kami memang tidak bisa melakukan ini setiap hari.

"Ini keempat kalinya kita nggak pulang bareng ke Twogether. Menurut kamu yang lain bakal curiga nggak?"

"Kayaknya nggak ada yang curiga. Tapi sikap Jonathan aneh akhir-akhir ini."

"Ya, Jonathan emang yang paling peka. Tapi sayang kadang dia nggak peka sama perasaannya sendiri."

"Oh, maksudnya Anna?"

"Tuhkan kamu juga tahu. Kayaknya cuma Anna sama Jonathan yang nggak tahu."

"Tapi aku paham kalo mereka emang ada di posisi yang sulit. Terlihat mudah, tapi setiap orang punya ketakutannya sendiri-sendiri."

"Ya, kamu benar. Tapi, Lex, gimana kalo akhirnya kita ketahuan? Rela ninggalin Twogether demi aku nggak?" tanyaku menggoda.

"Kita bisa ninggalin Twogether sama-sama," sahut pria itu seraya mengeluarkan sebuah kotak dari saku celananya. Kotak itu membuat kedua bola mataku membola, napasku memburu, dan kepalaku pening luar biasa.

"Lex ... No. Walau kamu nanyain aku seratus kali, jawaban aku nggak bakalan pernah berubah. Sorry."

***

Halooooo ada yang kangen Sa nggak?

Emang dasar Elsa sok sibuk. Sa kangen kaliannnn! Semoga chapter ini menghibur ya!

By the way, si Alex bawa apa sih hayooo?

Sa,
Xoxo.

Hi, Mate! (Completed)Where stories live. Discover now