13. 'Pacarnya Wina'

5.2K 686 43
                                    

Sembari menunggu abang O-jek yang aku pesan tiba, aku pun memutuskan untuk melihat penampilan sekali lagi di cermin. Aku menaruh dua tangan di pinggang dan tersenyum puas saat melihat outfit yang aku pakai sangat cocok di tubuhku. Aku tetap percaya diri walau sering diejek kutilang darat alias; kurus tinggi langsing dada rata. Bilang saja mereka iri karena nggak punya body macam Kristal Jung mix Luna Maya.

Sebelum keluar kamar aku mengenakan sepatu Tomkins yang kemarin aku beli. Aku menghela napas saat melihat sepatu ukuran 50 yang masih belum dibuka. Kemarin aku memang membeli sepatu dua karena Tomkins sedang promo buy one get one free. Niatnya mau aku kasih ke Mas Jodi karena kami berdua memang penggemar brand sepatu lokal macam Tomkins, Compass, Brodo, dan lainnya.

Tetapi ternyata Mas Jodi sudah beli duluan sekalian beli couple shoes dengan Mbak Riani, jadinya sepatu tersebut sekarang menganggur saja di dalam kardus. Mungkin nanti aku akan menawarkan pada Jonathan atau Bayu, siapa tahu mereka mau membayar setengahnya.

O-jek yang aku pesan akhirnya sampai. Aku pun segera berangkat ke Queen Bakery ditemani obrolan absurd abang O-jek yang bercerita tentang kambingnya di kampung yang baru melahirkan. Tentu saja aku ikut senang. Di antara kemacetan Jakarta yang bikin naik darah obrolan absurd dengan orang asing kadang bisa menaikan mood yang anjlok.

Untuk berangkat kerja aku memang lebih banyak menggunakan O-jek karena lebih praktis daripada naik mobil dan terjebak macet berjam-jam. Dan keuntungan lainnya, kebanyakan abang ojol itu tahu jalan-jalan tikus di Jakarta, jadi aku bisa sampai di Queen Bakery lebih cepat.

Begitu sampai di Queen Bakery aku langsung mengumpulkan semua pegawai untuk rapat pagi seperti biasa. Sebenarnya bukan rapat juga, sih, lebih seperti kumpul-kumpul dulu sebelum mulai bekerja. Rapatnya juga super santai. Boleh sambil sarapan atau sambil ngopi. Hari ini ada wajah baru yang membuatku tersenyum lebar.

"Ohayou, Zuto! Arigatou karena hari ini kau mau membantuku di kedai."

"Douitashimashite, Wina-chan. Tapi ingat gajiku harus naik dua kali lipat, ya!" godanya.

"Aku akan memberimu gaji dua kali lipat kalau kau meninggalkan Olivers dan kerja di sini," ujarku serius. Andai Zuto menerima tawaranku, aku tidak akan pusing lagi mencari pegawai baru karena kemampuan coffee art Zuto benar-benar mengagumkan. Tetapi sialnya pria Jepang berambut gondrong itu lebih suka menjadi bartender profesional di kelab bernama Olivers daripada jadi tukang kopi. Makanya ia hanya ke sini kalau sedang libur saja.

"Terima kasih tawarannya. Mungkin lain kali," jawab pria itu yang sontak aku respons dengan anggukan mengerti.

Lalu rapat ala-ala ini pun dimulai. Mulai dari laporan peminjaman buku di library, makanan dan minuman apa yang terjual paling banyak kemarin, lalu membahas beberapa masukan dari pelanggan yang masuk ke kotak saran atau DM sosial media. Setelah pukul delapan pagi rapat pun selesai karena kami harus segera membuka Queen Bakery dan Ayo Ngopi.

Biasanya aku akan membantu membuat coffee art sampai jam makan siang, tapi karena hari ini aku ada janji dengan si artis sangklek--Ardhito Sahala, maka aku memutuskan untuk melepas celemek dan pergi ke lantai tiga. Lagipula, aku yakin Alex juga sudah ada di sana. Pria itu tadi mampir, tapi aku menyuruhnya menunggu di atas karena semua tempat duduk penuh.

"Hai, udah beres?" tanya Alex begitu aku membuka pintu ruangan lantai tiga.

"Ho-oh, bentar lagi si sangklek itu dateng. Bisa heboh kalo gue nemuin Ardhito di luar," jawabku yang direspons Alex dengan menganggukkan kepala.

Di samping kursi Alex terlihat tas belanja ramah lingkungan yang terlihat penuh dan beberapa kardus bekas. Sepertinya blasteran Jerman itu habis belanja bahan membuat maket.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang