58. Prolog; Piano

1.6K 256 7
                                    

Aku tidak tahu harus memulai kisah ini dari mana. Tapi mungkin dongeng panjang ini, bisa aku ceritakan dimulai dari hari itu. Di siang yang cerah dua puluh tahun lalu. 

"Wina, ayo coba sekali lagi ya, Nak? Lihat adik saja bisa, kamu juga pasti bisa," ujar Miss Sarah seraya mengelus kepala seorang anak kecil yang sejak tadi manyun karena jengah dipaksa belajar piano. 

Seorang Wina Rakasiwi Soebardjo tidak pernah menolak belajar apa pun. Anak itu selalu menurut walau masa kecilnya dipenuhi banyak les sehingga merenggut jam bermainnya. Ia tidak pernah iri dengan teman-temannya yang bisa main petak umpet di jam dua siang, sedangkan ia harus les tenis atau les bahasa Inggris. Sungguh, gadis empat tahun itu tidak pernah iri.

Namun, kenapa dari semua alat musik, Mama harus memilih piano? Sungguh, Wina sangat membenci alat musik ber-tuts hitam putih itu. Melihat deratan tuts black and white itu benar-benar membuat kepala kecilnya pusing. 

Wina memang tidak pernah protes, gadis itu tahu Mama sangatlah sibuk. Mama selalu berangkat pagi-pagi buta, dan pulang malam, wajahnya juga selalu lelah. Kadang gadis itu juga mendengar Mama menangis tengah malam, dan itu membuat dadanya digerogoti rasa tidak nyaman yang membuat mata mungilnya sulit terpejam walau sudah minum dua gelas susu.

Seperti Siska, Wina juga sangat ingin membuat Mama tersenyum sebab adiknya itu berhasil memainkan suatu lagu entah Twingkle-Twingkle Little Star atau pun Heart and Soul. Namun piano membuat gadis cilik itu pusing.

Ma, biola saja, ya?

Namun Mama sama sekali tidak menoleransi apa pun. Pokoknya piano dan harus piano. Gadis itu membenci piano setengah mati, karena sudah berapa kali pun mencoba, dirinya pasti selalu gagal. Mungkin karena ia memang tidak jago main alat musik.

Tapi Wina sangat pintar di bidang olahraga. Mau tenis, ice skating, atau renang gadis itu selalu tampil sempurna.

Tapi ia harus paling sempurna dalam memainkan piano, karena hanya piano yang bisa membuat Mama tersenyum.

Selama berbulan-bulan Wina tidak pernah protes belajar piano, walau itu membuat kepalanya pusing dan sesekali mual. Untungnya adiknya yang imut itu banyak menghiburnya dengan permainannya yang ciamik, sehingga Wina selalu bisa bertahan.

Heart and Soul akan selalu jadi lagu favorit mereka. Kadang mereka berduet bersama walau Wina yang buta nada membuat duet mereka hancur, tapi kebanyakan mereka bersenang-senang. Kadang Miss Sarah yang memainkan Heart and Soul sedangkan Siska dan Wina menari seperti Belle dan Cinderella di film disney. Lalu mereka akan tertawa, dan memori bahagia itu akan selalu teringat di kepala. Tak peduli waktu akan terus berjalan, dan banyak memori lain yang bakal menumpuk jadi satu di otak.

Karena kenangan memang akan bertahan selamanya, walau mungkin orangnya tidak.

Dan kenangan-kenangan ini pula yang akan membuat Wina bertahan hingga dua puluh tahun kemudian. Kenangan-kenangan ini, juga merupakan tali kekang yang menahannya untuk menyakiti dirinya sendiri hingga mati atau overdosis ekstasi. 

Kenangan indah yang tak seberapa ini juga yang pada akhirnya membuat Wina berani menemui Hanum karena ia tahu kalo ia butuh pertolongan. Kenangan indah ini pula yang membuatnya menahan diri untuk memotong nadinya sendiri di balik jeruji besi.

Kenangan masa kecilku memang tidak banyak yang indah, setelah ini hanya ada mimpi buruk. Tetapi nyatanya, yang tidak seberapa itu justru membuat aku bertahan sampai saat ini. Dan aku harap setelah mendengar semuanya Alex tidak akan ke mana-mana, karena kisah ini masih sangat panjang.

Dengan lirikan takut-takut aku menengok ke arah Alex, apa pria itu sudah muak mendengar kisahku ini? Aku harap belum, karena aku bahkan belum menceritakan bagian terburuknya.

Hi, Mate! (Completed)Where stories live. Discover now