29. Kenangan

3.7K 546 36
                                    

Telingaku langsung dipenuhi suara musik yang diputar kencang-kencang begitu memasuki Olivers. Aroma nikotin yang sangat menyengat ditambah aroma alkohol yang tak kalah kuat juga langsung menusuk hidung. Dengan susah payah aku melewati orang-orang yang bergoyang menggila di dance floor. 

Aroma asem dari orang yang mungkin tidak mandi dua hari, aroma parfum yang begitu menyengat karena mungkin disemprot banyak-banyak, dan aroma keringat yang bercampur menjadi satu, hampir membuatku muntah bahkan sebelum aku menyentuh minuman dengan alkohol paling rendah sekali pun. Ini yang membuatku malas turun ke dance floor saat di Olivers, semua aroma yang bercampur menjadi satu itu benar-benar membuat mual.

"Malam Wina-chan!" sapa Zuto seraya melakukan juggling yang membuat para wanita muda yang melihat atraksinya berdecak kagum. Si gondrong dari negeri sakura itu benar-benar tahu sekali bagaimana caranya memikat wanita. 

Aku hanya membalas sapaan Zuto dengan senyuman singkat, lalu aku ikut menonton atraksi Zuto dengan berbagai alat seperti shaker, ice scope, gelas, dan lainnya. Aku ikut bertepuk tangan saat Zuto menyelesaikan aksi juggling-nya. Jujur saja, setelah melihat aksi memikat Zuto, mood-ku sedikit membaik.

Setelah membagikan minuman kepada pelanggan, Zuto pun segera menghampiriku dengan senyuman yang membuat matanya menyipit. Aku pun membalas senyuman pria itu walau aku yakin senyumanku terlihat aneh dan tak seperti biasanya. 

"Hai, how are you today?" tanya Zuto seraya  menaruh setoples nougat di depanku.

"Bad," jawabku singkat seraya memakan permen yang mirip tempe itu. Berharap rasa manis yang ada di nougat sedikit memberikan efek yang manis juga di hidupku yang pahit ini. Namun, mana mungkin? Andai hidup semudah itu. 

"Aku punya sake yang baru dikirim dari Jepang tadi pagi. Mau?" 

"Terima kasih tawarannya. Tapi malam ini aku mau vodka. Please," jawabku menolak.

Zuto menatapku lama dengan tatapan; kau serius? Aku dan Zuto sudah mengenal sejak aku SMA. Dan pria itu tahu segalanya, entah berapa kali aku meracau saat mabuk di sini. Tetapi ini yang aku suka dari Zuto, ia tahu segalanya, tapi tidak pernah mengungkitnya. Seolah semua yang ia tahu, akan tetap menjadi rahasia kami berdua.

"Please," ujarku dengan tatapan memohon. 

Zuto menghela napas panjang, lalu ia menuang vodka ke gelas dan memberikannya padaku. Aku pun meminumnya sekali teguk, tak peduli cairan itu membuat tenggorokanku terasa perih karena aku meminumnya dengan buru-buru. Zuto menuangkan vodka segelas lagi untukku sebelum pergi untuk melayani pelanggan lain dan menyembunyikan vodka di rak kaca yang tidak akan pernah bisa aku gapai. Memang sialan!

Akhirnya aku meminum minuman beralkohol itu pelan-pelan. Seraya mengenang masa lalu yang menyakitkan. Sakit sekali, benar-benar sakit sekali.

"Hai, Zutooooo~” sapa sebuah suara cekikikan yang sangat aku kenali. "Kenapa sih hidup gue selalu berjalan seperti bajingan? Maaf gue jadi nyanyi. Padahal gue udah baik ke anak jalanan, selalu sedekah ke masjid, gereja, vihara, dan panti asuhan. Tapi bangsat! Kenapa hidup gue masih gini-gini aja? Kenapa hidup nggak pernah ramah ke gue sekali pun?" tanya Sila yang sudah teler seraya memakan dua buah nougat yang baru saja ia ambil dari toples.

Aku menelengkan kepala ke kanan. Entah kenapa, rasanya menyenangkan saat tahu bukan hanya aku yang kacau hari ini. “Hidup emang nggak pernah ramah ke siapa pun, Sil. So, kenapa hidup lo harus istimewa? Emangnya lo siapa?” tanyaku dengan ekspresi super songong.

Sila menghadap ke arahku dengan wajah cemberut. "Sial! Kurang sial apalagi gue hari ini? Kenapa gue harus ketemu penyihir jahat saat mood gue udah mulai membaik? Fuck you, Win. Muka lo bikin mood gue turun lagi."

Aku terbahak keras. "Sekarang aja penyihir jahat. Dulu dengan pinky promise norak kayak janji tolol bocah TK, lo maksa gue buat janji bakal jadi best friend forever lo, Sil," ujarku seraya mengenang masa-masa SMA dengan Sila yang sebenarnya sedikit menyenangkan.

"Najis!" seru Sila dengan muka jijik yang malah membuatku semakin terbahak keras. Lalu Sila mengutak-atik ponselnya sebentar, sebelum kembali bergoyang di dance floor. Sepertinya wanita itu masih sangat membenciku. Ya, memangnya? Di dunia ini, siapa yang tidak membenci seorang Wina Rakasiwi Soebardjo?

Tetapi kalau dipikir-pikir, sepertinya hari ini aku memang dipaksa untuk mengenang masa lalu. Karena kehadiran Sila malam ini semakin melengkapi semua kenangan-kenangan itu.

Tentang remaja perempuan yang suka kabur dari rumah. Tentang remaja perempuan yang mewarnai rambutnya dengan warna ombre biru dan membuat guru BK sekolahnya sakit kepala. Tentang remaja perempuan dengan nikotin yang terselip di bibir. Tentang remaja perempuan yang sesekali teler agar diomeli mamanya. Tentang cheerleader dan pom-pom kuning norak itu. Silet, obat mag, ekstasi ... aku ingat semuanya. Semua kenangan itu aku ingat semuanya. Rasa sakit itu aku juga ingat semuanya. 

Dengan buru-buru aku pun kembali menegak vodka yang tersisa di gelas. Dan sepertinya saat ini aku mulai teler, karena rasanya aku seperti melayang. Aku seperti terbang melayang di angkasa. Apa sekarang aku terbang di antara pohon jeruk? Karena aroma citrus yang manis mulai menyusup ke hidungku. Rasanya menenangkan.

Hingga akhirnya aku memaksa membuka mata saat aroma citrus itu berubah menjadi aroma bensin dan kopi. Hingga kini aku sadar jika aku sudah duduk di dalam mobil Alex. Aku hafal aroma ini, Alex selalu memakai aroma kopi untuk mobilnya. Walau samar-samar aku juga dapat melihat wajah Alex yang begitu dekat karena pria itu tengah memakaikan aku sabuk pengaman.

Aku pun tersenyum lebar. "Lex, lo jadi jemput gue? Cie~ lagi berusaha jadi pacar yang baik, ya?" racauku seraya tertawa kecil. "Lex! Lex! Karena malem ini gue males ke Twogether. Gimana kalo pulang ke apartemen gue aja? Terus you know what I mean yang jawabannya sometimes?tanyaku menggoda.

Hi, Mate! (Completed)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ