15. Hi, Mate!

4.3K 708 32
                                    

Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar setelah berdiam diri di dalam sana kurang lebih selama satu jam. Aku menyambar kunci mobil yang ada di meja ruang tamu sebelum pergi keluar rumah. Karena malam ini lumayan dingin, aku pun memutuskan untuk menggunakan sepatu lengkap dengan kaos kaki agar tidak masuk angin.

"Mau ke mana lo malem-malem begini, Win?" tanya Mas Jodi seraya menaruh helm di rak yang tersedia. 

"Mau beli martabak di deket taman depan, Mas. Pengen ngemil, hehe," jawabku cengengesan. Padahal aku hanya ingin mencari angin saja karena terkurung di kamar rasanya suntuk. 

"Ye, aturan tadi lo nitip gue aja. Gue juga baru dari taman beli kebab. Mbak lo nyidam," jelasnya seraya menunjukkan tas belanja yang pria itu bawa.

"Nggak papa, Mas. Gue bisa pergi sendiri, kok. Sekalian jalan-jalan. Udah lama juga gue nggak beli jajanan di taman."

Mas Jodi mengangguk mengerti. "Yaudah. Pergi sana lo, sebelum kemaleman. Mau pake motor gue aja?"

Aku menggelengkan kepala--bermaksud menolak. "Nggak usah, Mas. Gue naik mobil aja. Lagian gue juga nggak bisa naik motor ninja lo. Yang ada pas pulang motor lo sama badan gue lecet-lecet gara-gara nyipok aspal," jawabku seraya bergidik ngeri.

Mas Jodi terbahak kecil. "Yaudah. Ati-ati lo, ya. Kalo gitu gue masuk dulu." Setelah itu Mas Jodi masuk ke dalam rumah sedangkan aku pergi ke garasi untuk mengambil mobil.

Seperti biasa taman depan komplek nampak ramai malam ini. Berbagai pedagang kaki lima tampak berjejer di sekitar taman. Mulai dari tukang keripik slondok, nasi goreng, sampai otak-otak telur. Tetapi aku tak melihat tukang martabak terang bulan yang biasanya menjadi langgananku. Setelah aku bertanya kepada tukang kerang yang setiap hari berjualan di samping tukang martabak, akhirnya aku mendapat info jika tukang martabak langgananku sedang pulang kampung.

Karena beli martabak hanya alibi agar aku bisa keluar rumah sedangkan saat ini perutku kenyang, akhirnya aku memutuskan untuk duduk saja di salah satu kursi taman yang tersedia.

Sejak memasuki kamar tadi sebenarnya perasaanku sudah tidak enak. Perasaan takut, cemas, dan gelisah seolah bercampur menjadi satu dan menekan dadaku dengan brutal. Padahal kegelapan di sekitar taman tidak membuatku takut, aku juga belum tidur sehingga membuatku mendapat mimpi buruk. Tetapi rasanya sekarang aku ketakutan setengah mati. Bahkan, aku dapat merasakan tubuhku gemetaran sekarang.

Aku memeluk tubuhku sendiri untuk mempraktikkan butterfly hug. Lalu melakukan meditasi singkat seraya membuang pikiran negatif yang ada di kepala. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengeluarkannya perlahan lewat mulut. Aku juga mencoba menyugestikan berbagai hal positif di otakku.

Seperti udara yang memelukku. Harumnya bunga mawar yang tumbuh di sisi kananku. Suara spatula yang bergesekan dengan wajan dari tempat penjual nasi goreng. Aroma daging yang dibakar dari tempat penjual sate dan suara gorengan yang digoreng di dalam minyak panas. Sangat menenangkan dan begitu hidup.

Perlahan-lahan perasaan cemas dan takut itu menghilang. Lalu aku pun mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Aku tidak mau menyetir sendiri dengan kondisi seperti ini, aku juga tidak mau pulang ke rumah malam ini. Akhirnya aku menghubungi seseorang yang sejak tadi aku sugestikan sebagai pikiran positif di kepala. Seseorang yang tadi senyumannya terlintas begitu saja.

"Hi, Mate! Bisa jemput gue sekarang?" 

***

"Lo sebenernya mau ke mana, sih, Win?" gerutu Alex seraya fokus menyetir.

Aku menelan es krim yang ada di mulutku. "Ke mana aja, Lex. Terserah lo. Kan, dari tadi gue bilang terserah," ujarku gregetan.

"Yaudah pulang!" 

Aku menggeleng tegas. "Nggak! Jangan pulang!"

Alex mengacak rambutku gemas saat berhenti di lampu merah. "Bisa nggak, sih, para makhluk berkromosom XX jangan jadiin 'terserah' sebagai senjata? Udah bilang terserah, tapi ditanya ini atau ditanya itu jawabnya jangan. Cowok harus gimana coba? Mending lo bilang gue mau ke Mars. Walau lewat jalur mimpi gue jabanin daripada jawaban lo terserah-terserah," tuturnya ikut gregetan.

Aku merapikan rambutku yang berantakan, lalu terkekeh pelan. Aku tahu seharusnya aku marah karena pria itu mengacak-acak rambutku. Tetapi entahlah, mood-ku tiba-tiba membaik sejak tadi melihat Alex datang ke taman menggunakan O-jek seraya membawa tas belanja kecil berisi es krim.

Aku menatap wajah cemberut Alex dari samping seraya bertopang dagu. Kini pria itu sudah kembali fokus menyetir, sehingga mungkin tak sadar jika sekarang sedang diperhatikan. Lucu juga.

"Jadi mau ke mana?" tanya pria itu seraya menelengkan wajah ke arahku.

Aku berdeham seraya menyisir rambut salah tingkah. Lalu pura-pura memperhatikan jalan. "Tempat yang menurut lo paling tenang di Jakarta, Lex. Di mana aja. Gue ngikut. Sumpah deh kali ini gue nggak akan protes," ujarku meyakinkan.

Alex mengangguk mengerti. Lalu pria itu mulai menyetir dengan serius,  entah akan membawaku ke mana. Hingga akhirnya kami berhenti di halaman sebuah gedung tinggi yang aku tahu sebagai kantor arsitek milik keluarga Rajendra. Gedung Rajendra Jaya.

"Lex, lo nggak mau nyuruh gue liat lo lembur, kan?" tanyaku curiga.

Alex menggeleng. "Nggak. Gue mau ajak lo ke rooftop. Lo tunggu gue di depan lift aja, gue mau minta kunci rooftop dulu ke satpam," ujar pria itu.

"Lex, gedung ini ada berapa lantai?" tanyaku seraya mendongak ke atas--mengabaikan perintah Alex.

"Totalnya 10 lantai."

"Yaudah naik ke rooftop-nya nggak usah pake lift. Naik tangga darurat aja."

Kedua netra Alex sontak membola. "Nggak! Gue nggak serajin itu sampai rela olahraga tengah malem! Lo aja sendiri sono!" seru pria itu tak setuju.

Walau Alex bilang begitu, tapi nyatanya kini pria itu ikut naik ke rooftop menggunakan tangga darurat bersamaku. "Ayo, Lex, cepetan!" teriakku karena pria itu tertinggal cukup jauh. Sembari menaiki tangga aku memang berlari-lari kecil.

Saat akhirnya kami sampai di rooftop aku dan Alex bernapas dengan ngos-ngosan. Keringat mengalir di dahi dan leher. Alex malah langsung tepar begitu pintu rooftop terbuka. Pria itu kini bersandar di depan pintu.

"Gila lo! Kalo mau menyiksa diri jangan ngajak-ngajak dong!" protesnya. "Sori, ya, tapi gue nggak minat jadi masokis!"

Aku mengabaikan teriakan Alex dan segera berlari ke tengah rooftop yang ditumbuhi rumput Jepang. Aku membuka sepatu dan kaus kakiku lalu membuang kedua benda itu asal. Setelah itu aku tiduran di tengah rooftop seraya melihat bintang-bintang yang tengah berkedip manja pada purnama.

Alex menaruh sepatu dan kaus kakiku di samping kiri berjejeran dengan sepatunya yang juga ia lepas. Lalu pria itu rebahan di samping kananku.

Aku merogoh ponsel di saku celana. Lalu membuka Spotify dan memutar lagu random yang tak aku cek dulu judulnya. Dan suara Ed Sheeran yang menyanyikan lagu Perfect langsung menggema di seluruh rooftop. Aku memutuskan untuk tak mengganti lagu yang aku pilih asal karena lagu tersebut sangat cocok dengan suasana saat ini.

Aku menolehkan kepala ke arah Alex. "Thanks, karena udah bawa gue ke sini."

"Udah lebih tenang?" tanya pria itu seraya menolehkan kepalanya ke arahku. Hingga kini wajah kami saling berhadapan dengan jarak yang sangat dekat.

Aku mengangguk. "Berkat lo dan lari naik tangga sepuluh lantai perasaan gue jadi lebih baik," kekehku.

"Syukurlah kalo gitu. Tapi lain kali kalo lo mau ngelakuin hal gila kayak gini lagi, please, jangan ajak-ajak gue."

Aku menatap Alex serius. "Satu bantuan hanya untuk satu bantuan. Tapi boleh nggak, sih, kalo gue punya utang banyak ke lo, Lex? Lo bisa milikin jiwa dan raga gue kalo lo mau."

Perkataanku membuat Alex bungkam dan menatapku tanpa berkedip. 

Mbak, selama ini lo tau gue selalu berusaha menggadaikan jiwa dan raga gue pada iblis. Tapi hari ini gue berusaha menggadaikan jiwa dan raga gue pada manusia. Gue mulai waras atau justru semakin gila?

Hi, Mate! (Completed)Where stories live. Discover now