27. Kelebihan Endorfin

3.8K 569 46
                                    

Hal pertama yang aku lihat saat aku pertama kali membuka mata adalah wajah tidur Alex yang begitu polos seperti bayi. Napas pria itu berembus beraturan dan dengkuran halus sesekali terdengar.

Aku mengelus pipi Alex lembut dengan gerakan naik turun beraturan. Aku membuat gerakan sepelan mungkin agar tidak mengganggu tidur pria itu.

Berbagai pertanyaan memenuhi otakku. Pertanyaan yang tidak mau aku jawab. Pertanyaan yang sebenarnya sudah jelas jawabannya.

Alih-alih memilih Jonathan aku justru memilih Alexandre. Si balita menyebalkan yang selalu membuat kesal. Si bujangan jompo pikunan. Si anak mami manja yang pelukannya terasa nyaman dan hangat. Dan mungkin sekarang aku jadi serakah, karena untuk kedua kalinya, aku ingin membekukan waktu.

Aku ingin menghentikan jarum jam yang terus berdetak. Agar jarum panjangnya tidak segera beranjak ke angka 12 tepat. Sial, waktuku hanya tersisa 3 menit, sebelum semuanya kembali seperti semula. Sebelum besok semua ini hanya terasa seperti mimpi yang kelewat indah. Namun, sekeras apa pun aku memohon agar waktu beku, nyatanya itu tak pernah terjadi.

Jarum jam selalu melakukan tugasnya dengan baik. Ia terus berdetak. Berputar melewati angka 12 sampai akhirnya sampai di 12 lagi. Dan akhirnya ... 3 menitku habis. Waktunya bangun, jangan terlena atau aku tidak akan pernah bisa lepas.

Dengan enggan aku menepuk pipi Alex. “Lex, udah jam empat,” bisikku lirih.

Alex membuka matanya perlahan, menguap lebar, lalu menatap kedua netraku. “Lo harus balik ke kamar. Yang lain pasti bentar lagi pada pulang dan kalo tau lo di sini pasti mereka rusuh,” ujarku.

Pria itu mengelus pelipisku lembut. “Lo udah baikan?”

Aku membalas pertanyaan pria itu dengan senyuman. “Berkat lo, ya.”

Alex mengangguk mengerti. “Yaudah gue balik ke kamar dulu. Kalo lo masih takut, ketok aja kamar gue. Terserah orang lain mau ngomong apa. Jawab aja nobar Jigsaw.”

“Dan menurut lo mereka bakal percaya?” tanyaku seraya terkekeh.

“Pasti percaya. Karena mereka pasti nggak akan pernah bisa bayangin kita—you know what I mean,” ujar Alex seraya terkekeh.

Aku tertawa keras. “How about you? Pernah bayangin—you know what I mean sama gue?” tanyaku jahil.

Alex tak menjawab pertanyaanku. Pria itu malah bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Ia membuka pintu dan keluar kamar, tapi sebelum menutup pintu ia kembali melongokkan kepala ke dalam kamar. “Yeah sometimes,” jawabnya dengan senyum jahil sebelum benar-benar menutup pintu. Sedangkan aku hanya melongo di dalam kamar dengan wajah memerah. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku dan itu sungguh tidak baik dan ... Ahsudahlah. Berhenti berpikir macam-macam!

Tetapi ... Bukannya tadi malam Alex tidak menutup pintu? Kenapa bisa pintunya tiba-tiba tertutup?

***

Setelah tadi Alex meninggalkan kamar aku memang langsung tertidur lagi. Sehingga pukul 10 pagi aku baru keluar kamar. Ruang tamu sudah ramai, ternyata anak-anak Twogether sudah pada pulang ke rumah.

“Pagi semua! Kapan pada balik?” tanyaku dengan nada kelewat ceria.

“Pagi juga, Win. Idih tumben amat Wina pagi-pagi udah ramah. Kerasukan lo?” tanya Anna dengan nada mengejek.

“Ho-oh, tumben amat, Win. Ada yang bikin seneng?” tanya Dewi seraya duduk di sofa seraya memangku laptop.

“Aha~ gue tau nih kenapa cewek kelebihan endorfin pagi-pagi. Biasanya sih karena abis orgasme hebat!” seru Debie seraya cekikikan. Membuat seseorang terbatuk-batuk hebat karena tersedak. Bukan, yang tersedak bukan aku dan Alex, tapi Jonathan!

“Bang Jo, lo oke?” tanya Anna mewakili pertanyaan kami semua. Gadis itu menghampiri Jonathan dan memukul punggung pria itu pelan.

Jonathan mengangguk seraya mengacungkan jempolnya. “Oke, gue cuma minum buru-buru tadi,” ujarnya seraya berdeham kecil.

Kami semua mengangguk mengerti, lalu kami kembali fokus melanjutkan kegiatan masing-masing. Aku memilih duduk di samping Alex di sofa dan kami saling melempar senyum hangat.

“Deb, gimana Hawaii? Seru?” tanyaku menanyakan liburan gadis itu.

“Ya, serulah, Win. Lo nggak liat ig story dia yang titik-titik? Membentang kek jalan Anyer—Panarukan? Dasar alay!” ledek Dewi.

Di second account instagramnya Debie memang membagikan segala kegiatannya di Hawaii saat liburan dengan salah satu sutradara kondang tanah air yang merupakan ibu kandungnya.

Instagram itu hanya punya 6 followers yang, eh, sekarang 7 ditambah Bayu. Tentu Debie maksa Bayu untuk follow ignya yang tidak jelas itu. Tapi katanya asik buat seru-seruan.

Debie tersenyum lebar. “Biarin alay. Sorry bestie, tapi gue adalah manusia yang tau cara bersenang-senang. Nggak kek lo sosiopat!” ledeknya. “Liburan gue seru, Win. Hawaii menyenangkan. Dan lo tau apa bagian paling seru? Main petak umpet sama paparazi biar nggak ketahuan kalo gue anak haramnya Maya Lestari!” serunya cekikikan.

“Idih sosiopat gundulmu, Deb! Gue juga tau cara bersenang-senang kali!” ujar Dewi tidak terima dengan wajah memerah yang hanya direspons Debie dengan cibiran.

Sesekali Dewi berbagi senyum dengan Bayu. Aku dapat merasakan atmosfer aneh di antara keduanya yang entah apa itu. Tetapi aku harap firasatku salah.

Aku tersenyum lembut pada Debie. Aku tahu sebenarnya gadis itu sangat lelah. “Bagus kalo gitu.”

“Tapi ya gitu nggak enaknya. Nggak ada warung tenda yang jualan peyek udang sama es kelapa ijo campur sirop marjan. Mending Pangandaran ke mana-mana,” keluhnya yang sontak membuat kami semua tertawa.

Aku menengokkan kepala ke arah pintu saat mendengar pintu depan diketuk. Lalu dengan segera berjalan ke sana.

Senyumanku langsung melebar begitu melihat tiga remaja tanggung berdiri di depan pintu. “Pagi, Mbak Win! Kita mau minta uang bulanan sama sumbangan buat shelter, nih,” ujar remaja yang berdiri di tengah.

Aku mengangguk mengerti. “Oke, bentar, ya.”

Aku kembali masuk ke dalam rumah tanpa menutup pintu. Lalu mengambil uang dan wiskas yang kemarin aku beli.

“Nih, sekalian titip wiskas buat si Moci, ya!” ujarku seraya memberikan uang bulanan dan wiskas.

“Oke, siap Mbak Win!”

“Moci sehat?”

“Sehat kok, Mbak. Cuma ya gitu belum ada yang mau adopsi. Banyak orang yang masih percaya kalo kucing item pembawa sial.”

Aku mengangguk mengerti. “Yaudah entar sorean aku tengok deh si Moci.”

“Sip! Ditunggu ya Mbak Win!” Setelah mengatakan itu tiga remaja itu segera meninggalkan Twogether.

“Udah pada pergi?” tanya Alex yang sontak membuatku melonjak kaget.

Aku menepuk bahu pria itu. “Kebiasaan! Suka banget ngagetin orang!”

Alex menangkap tanganku dan menggenggamnya seraya terkekeh. “Mau ikut beli jajan deket SD nggak?” tanyanya.

“Lo pikir gue mau? Ya nggaklah!” dengkusku. “Tunggu, gue ambil hoodie dulu! Jangan pergi duluan! Awas aja lo!”

“Yaelah drama suami istri tsundere masih berlanjut,” sahut Anna.

“Kalo kalian mau review-an gimana rasanya nikah. Ya, gitu kayak Wina sama Alex guys.” Kali ini Debie yang bicara.

“Hahahaha lo pada tau nggak? Dipikiran gila gue, gue kadang mikir Wina sama Alex saling menyusup ke kamar masing-masing terus ahsudahlah,” ujar Dewi yang lagi-lagi membuat Jonathan tersedak untuk yang kedua kalinya. Sepertinya pria itu baru saja mendapat guncangan hebat dalam hidup.

Aku mengabaikan ledekan dari mereka semua. Lalu dengan segera mengambil hoodie di kamar. Aku ingin pergi dengan Alex, ke mana pun. Selama masih ada sisa waktu. Selama permainan ini masih berlanjut.

Persetan dengan ‘You know what I mean’ dan ‘Sometimes’ yang membuat jantung menggila. Aku hanya ingin bersama Alex lebih lama.

Hi, Mate! (Completed)Where stories live. Discover now