57. Home

2.4K 334 22
                                    

Aku masih saja tersenyum sampai rasanya bibirku terasa kaku. Sedangkan Alex masih duduk santai di sofa seraya asyik memakan buah anggur yang ada di piring. Kerling jahil tergambar jelas di matanya, menunjukkan jika pria itu menikmati acara basa-basi super basi yang sejak tadi dilakukan oleh dokter rumah sakit ini.

Ya, sejak tadi bukannya istirahat, tapi aku yang disuruh menghabiskan satu botol infus ini, malah dikunjungi oleh beberapa dokter yang tidak aku kenal sama sekali. Satu keluar ruangan, satu masuk. Begitu terus sejak dua jam lalu. Makanya, saat ini kamar inapku penuh dengan bermacam-macam cake, keranjang buah, dan aroma bunga yang sangat menyengat.

Nasib jadi anak pemilik rumah sakit ya begini. Sekarang aku mengerti kenapa Oma lebih suka dirawat di rumah kalau sedang sakit. Walau sebenarnya mereka semua salah kalau berpikir bisa menjilatku dengan cara ini, atau karena segan dengan Melani Soebardjo—sebab jelas Mamaku itu tidak akan peduli.

Sebenarnya, aku bisa bilang kalau ingin istirahat total dan tidak mau mendapat kunjungan dari siapa pun, toh sejak kapan aku peduli dengan koneksi keluarga? Tetapi ternyata harapan itu masih ada dan denial malah akan membuat mood-ku makin buruk, jadi mari kita jujur saja.

Alasanku sejak tadi membiarkan para dokter yang tidak aku kenal menjengukku adalah ... karena aku berharap Melani Soebardjo juga akan berkunjung ke kamar ini. Entah mengatarkan petinggi rumah sakit atau pura-pura dekat agar borok yang ada di antara kami setidaknya tidak terlihat di mata semua orang. Aku bisa pura-pura kami dekat, karena biasanya juga begitu. Namun, hari ini Mama tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali, dan itu membuat dadaku sesak luar biasa.

Aku menghela napas lega saat akhirnya dokter tua yang mengaku dari bagian ortopedi akhirnya meninggalkan ruanganku setelah mengoceh tentang jus markisa yang ia beli di Queen Bakery. Padahal aku nggak pernah menjual jus markisa, jadi mungkin sang dokter membelinya di alam mimpi.

Napasku langsung berubah berat saat pintu kembali diketuk dari luar, tapi untungnya yang baru saja masuk adalah Hanum, jadi aku bisa protes sekarang.

“Mereka nyuruh gue istirahat, tapi juga bolak-balik jenguk bergantian. Bingung gue harus gimana!”

Hanum tertawa setelah mendengar ocehanku. “Anggap aja ini privileges. Karena setelah 10 tahun gue kerja di rumah sakit ini, baru pertama kali ada pasien yang berhasil mindahin pasar buah ke ruangan VIP.”

Aku memutar bola mata malas sebagai respons, lalu menatap Hanum datar. “Gue berharap Mama datang. Dan ternyata gue emang harus terima kenyataan kalo Mama emang nggak bakalan pernah peduli,” ujarku seraya menghapus air mata yang mengalir di pipi.

Aku mengalihkan pandangan ke arah Alex, aku tahu pacarku itu bisa melihat luka yang ada di kedua mataku karena tatapan pria itu kini berubah menjadi lembut.

“Win, gue emang mau bahas kejadian ini sama lo. Makanya sebelum pulang lo temuin gue dulu, oke? Tapi kita bahas ini nanti, karena sekarang lo butuh istirahat. Gue juga udah bilang ke perawat kalo lo nggak nerima kunjungan siapa pun lagi. Dan walau gue tahu lo nggak bakal mau, tapi gue saranin lo buat rawat inap 2-3 hari. Fisik sama mental lo butuh itu.” Setelah mengatakan itu Hanum segera meninggalkan ruangan karena ada janji dengan pasien.

Setelah Hanum keluar ruangan, Alex segera bangkit dari duduknya dan naik ke ranjang rumah sakit yang sempit. Sehingga kami berdua harus tidur berhimpitan, Alex memeluk tubuhku erat dan membiarkan aku menangis di dadanya.

“Lexi ... I am not okay,” titahku seraya terisak.

“I know, baby. Makanya silahkan nangis sampai kamu lega. I am here, always.”

Lalu untuk beberapa saat aku hanya menangis di pelukan Alex. Dengan Alex aku tidak perlu pura-pura, dengan Alex aku selalu bisa melepas semua topeng dan senjata. Pelukan Alex selalu terasa seperti rumah. Begitu hangat, nyaman, tepat, dan aku tahu—kalo ia bakal selalu menerimaku kapan pun aku butuh tempat istirahat.

Terlalu egois kalau aku menyeret Alex ke dalam kehidupanku yang berantakan, tapi bolehkan aku egois sekali saja?

Aku mengangkat kepalaku dan menatap kedua netra teduh Alex. Pria itu menghapus sisa air mata yang ada di pipiku dengan punggung tangannya lembut, membuatku sontak memejamkan mata untuk menikmati perasaan nyaman yang menguasai setiap inci kulit.

“Lexi ... terima kasih banyak karena kali ini kamu juga nemenin aku. Maaf karena akhir-akhir ini aku banyak ngerepotin kamu.”

“Kamu tahu, Sayang, aku nggak masalah misal kamu repotin seumur hidup kamu.”

Tapi, Lex, aku mungkin bakal bikin kamu sepuluh kali lipat lebih kerepotan.

Aku tersenyum simpul seraya mengangguk mengerti, lalu memeluk leher Alex dan pria itu langsung balik memelukku.

“Lex, nanti setelah aku bangun tidur, aku mau kamu nemenin aku ketemu Mbak Hanum. Aku mau kamu di sana dan genggam tangan aku. Please, jangan ke mana-mana, ya?” tanyaku seraya mulai memejamkan mata.

Saatnya membuka rahasia gelap yang aku punya. Aku masih takut dan merasa tidak berhak membawa Alex ke kehidupanku yang berantakan, tapi aku tahu Alex bakal menggenggam tanganku sampai akhir. Paling tidak hari ini.

***

Besok mulai flashback dan kita kupas rahasianya Wina satu-satu, yaaaaa.

Sa,
Xoxo.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang