17. Empty

4.1K 664 31
                                    

Aku memasangkan celemek berwarna cokelat dengan bordiran #AyoNgopi ke tubuh Alex. Tentu saja tindakanku ini mendapat protes keras dari pria itu. “Gue pelanggan pertama hari ini, bukannya ngasih diskon spesial malah lo jadiin babu! Nyesel gue dateng pagi-pagi ke sini!” gerutu pria itu.

Aku terkekeh pelan. “Udah sih nggak usah protes! Harusnya lo seneng karena pagi-pagi udah dapet limpahan pahala. Bantuin orang lain kan pahalanya gede, Lex,” ujarku seraya memasang celemek di tubuh sendiri.

Sampai saat ini aku memang belum mendapat pegawai baru, wawancara yang aku lakukan minggu lalu hanya meloloskan dua orang yang menurutku memenuhi syarat dan sesuai kriteria yang aku butuhkan. Mungkin nanti aku akan membuka loker lagi untuk menambah dua orang tambahan. Satu orang untuk kerja part time.

Meski awalnya Alex terus menggerutu, nyatanya pria itu kini membantuku dengan semangat. Saat ini ia sedang meluruskan meja agar semuanya berjejer sejajar.
“Lo butuh berapa karyawan lagi sih, Win? Emangnya pas wawancara kemaren nggak ada yang nyangkut?” tanya pria itu.

“Gue butuh 2 orang lagi, Lex. Kemaren gua cuma dapet 2 orang. Mungkin nanti gue bakal sebar banner loker lagi,” jawabku.

“Yaudah entar gue bantuin bikin banner-nya.”

Aku mengedipkan mata menggoda. “Thanks, pacar,” godaku yang sontak membuat pria itu menggelengkan kepalanya seraya terkekeh pelan.

Sejak kejadian 3 AM conversation di atap waktu itu, hubunganku dan Alex memang lebih mencair. Entahlah, tapi sedikit berbagi rahasia tergelapku kepada orang lain selain Mbak Hanum rasanya benar-benar membuat lega. Seperti cakar yang mencengkeram dadaku sedikit melonggarkan cengkeramannya.

Setelah semua siap akhirnya aku membuka Ayo Ngopi cabang Blok M untuk pertama kalinya dan dalam setengah jam kafe hampir terisi penuh. Di cabang terbaru Ayo Ngopi ini, aku memutuskan menjual dua produk baru yaitu roti bakar durian dan affogato.

Untuk pre-order hari ini aku juga memberikan diskon 50% dan beberapa makanan tester. Tidak lupa aku menyiapkan kotak saran dengan berbagai kertas warna-warni di pojok setiap meja. Setiap pelanggan bebas menulis kritik atau pun saran untuk menu baru Ayo Ngopi di sana.

Setelah membuat pesanan coffee art bergambar bunga matahari dan memberikannya pada pelanggan, aku segera menghampiri Devan dan Mbak Riani yang baru saja memasuki Ayo Ngopi. Lalu aku segera menggiring dua orang tersayangku itu ke meja yang tersedia.

“Hai, tuyul! Mau affogato rasa apa kamu?” tanyaku menggoda.

“Hai, Eyang Uti! Emangnya ada rasa apa aja?” tanyanya polos.

Aku mencubit pipi kiri Devan gemas. “Heh! Sembarang! Tante masih muda nan cantik gini kok dipanggil Eyang!” protesku.

Keponakanku itu cengengesan. “Rambutnya abu-abu kayak eyang uti,” ledeknya.

Aku mengerucutkan bibir ke depan. “Yaudah affogato-nya nggak Tante kasih, nih,” ujarku pura-pura marah.

Devan merengek dengan wajah super menggemaskan. “Ah, aku mau es krim campur kopi, Tante. Please?” mohonnya.

Aku mencium pipi Devan gemas. “Ish, gimana mau kesel sama anak meng satu ini. Yaudah bentar ya, Tante bikinin dulu. Kalo lo mau pesen apa, Mbak?” tanyaku pada Mbak Riani. Mas Jodi tidak bisa datang hari ini karena harus melakukan operasi penting, tapi berjanji akan datang besok pagi.

Mba Riani memindai netranya di buku menu. “Mmm ... Gue mau coba roti bakar duren. Minumnya mocha aja.”

Aku mengacungkan jari jempolku. “Sip, bentar ya gue bikinin dulu.”
Setelah mengatakan itu aku pun segera membuat pesanan Devan dan Mbak Riani. Mocha dibuat oleh Mila, sehingga aku mendapat bagian membuat affogato.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang