39. Baru Pertama Kali

3.7K 483 20
                                    

Oma membalik tubuhnya hingga tubuh kami saling berhadapan. Tatapan mata tua itu begitu lembut, hingga rasa cemas yang mencengkram dadaku sedikit berkurang. Dari dulu Oma juga menjadi pelarianku. Oma selalu menjadi alasan nomor satu di list ‘100 reasons to stay alive’ sebelum lipstik terbaru Chanel di nomor dua dan sembilan puluh delapan alasan super konyol yang nyatanya cukup efektif, walau aku tahu aku hanya sedang menipu diriku sendiri.

Senyuman Oma selalu terbayang di kepala seperti tali kekang yang menahanku saat aku berkali-kali berniat untuk memotong nadiku sendiri. Oma adalah setitik cahaya di kehidupanku yang gelap, dan aku berjanji, selama cahaya itu masih menyala aku akan tetap di sini.

Oma mengelus kepalaku lembut, tangannya yang penuh keriput itu terasa begitu hangat. “Wina ... kamu harus selalu inget kalo kamu bukan mama kamu. Kamu nggak bakalan jadi seperti dia, karena kamu bukan dia.”

Aku menggeleng dengan air mata mengalir di pipi. “Oma ... Aku tetep nggak bisa. Because I don’t want to create another me. Aku tau ini menyedihkan, aku nggak tau takdirku nanti bakal nikah atau mati duluan. Tapi kalo aku dikasih umur panjang, aku nggak bakalan mau nikah. Aku nggak mau punya anak, aku nggak mau bikin anakku menderita kayak yang aku rasain sekarang. Oma ... buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Dan walau aku menyangkal ini semua ribuan kali, aku nggak bisa menipu diri, kalo aku dan Mama sama sekali nggak beda.”

“Aku takut, Oma. Sama Alexandre semuanya beda. I love him, really-really love him. Dan aku mau menghabiskan sisa hidupku sama dia. Oma ... Aku takut jadi serakah. Jelas, aku nggak masalah kalo kami nantinya hanya hidup berdua, karena aku yakin kita bakal tetep bahagia. Tapi gimana aku bisa bilang ke Alex kalo aku nggak mau jadi Ibu? Gimana aku bisa bilang ke Alex kalo aku nggak akan pernah sudi ngasih dia keturunan? Aku nggak boleh egois, kan, Oma?”

Oma menghapus air mata yang mengalir di pipiku. Elusan tangannya begitu lembut, hingga tanpa sadar aku memejamkan mata. “Wina, dengerin Oma. Kamu nggak bakal nyakitin siapa pun. Kamu nggak bakalan berubah jadi siapa pun, kamu bukan duplikat atau cerminan siapa pun. Kamu, ya, kamu. Wina-nya Oma. Wina yang sayang banget sama anak kecil, Wina yang bakal jadi ibu yang baik, Wina yang nggak akan menyakiti siapa pun.”

“Tapi aku takut, Oma. Aku takut...,” rintihku seraya memandang netra Oma dengan rasa sesak yang mencengkram dada.

Oma memeluk tubuhku dan aku pun menangis sepuasnya di pelukan Oma yang hangat. Aku menangis sekencangnya, membuka segala topeng dan melepas semua senjata serta pertahanan diri yang aku punya. Alex selalu bilang kalau aku adalah ratu narsis sejagad karena punya rasa percaya diri yang luar biasa.

Alexandre dan semua orang tak tahu, jika itu semua hanyalah kedok belaka.

Nyatanya aku tidak pernah jadi si percaya diri. Aku tidak pernah percaya pada diriku sendiri. Tidak pernah....

Aku hanya bisa menyakiti dan akan selalu menyakiti siapa pun. Tinggal tunggu giliranmu saja.

Oma melepaskan pelukannya saat aku mulai tenang. “Oma ambil air dulu, ya. Kamu minum obat dulu sebelum tidur.”

Setelah aku mengangguk mengiakan Oma segera meninggalkan kamar dan pergi ke dapur. Aku memejamkan kedua mataku, memeluk tubuhku sendiri, dan menarik napas teratur.

Aku merasakan aroma minyak angin Oma yang menempel di bantal, dinginnya angin malam yang membelai kulit, dan suara tik-tok jam dinding yang teratur. Aku mendengar dan merasakan semuanya, dan itu membuatku lebih tenang.

Sontak aku langsung membuka mata begitu mendengar Oma memasuki kamar. Aku menerima segelas air yang disodorkan Oma, lalu aku meminum tiga pil obat yang diberi Mbak Hanum kemarin. Aku meminumnya sekali teguk tanpa kesusahan sama sekali, karena ini sudah menjadi rutinitasku sehari-hari selama bertahun-tahun.

Lalu aku tiduran lagi di samping Oma. Oma mengecup kepalaku dan berkata, “Wina, kamu tahu apa lingkaran setan paling terkutuk yang selalu ada di setiap generasi? Sejak kecil, kita selalu dituntut untuk menjadi anak yang baik, sampai lupa diajari menjadi orang tua yang baik.”

“Mama kamu baru pertama kali jadi Ibu. Dan kebanyakan manusia selalu gagal di percobaan yang pertama. Karena sebanyak apa pun persiapan yang kita buat, nyatanya kita nggak bakalan pernah siap. Oma nggak minta kamu maafin Mama kamu sekarang kalau kamu belum bisa. Kamu boleh melampiaskan semua kebencianmu itu kalo itu bikin kamu lebih lega. Kamu boleh benci dan marah ke semua orang. Tapi tolong ... berhenti benci dan meragukan dirimu sendiri. Karena kamu nggak harus menanggung kesalahan siapa pun. Tujuan kamu lahir ke dunia adalah untuk hidup sehidup-hidupnya dan jadi cucu kesayangan Oma. Jadi, tolong lakukan tugas kamu dengan baik. Nek ora engko koe tak hukum!” tuturnya diakhiri dengan candaan.

Aku memeluk Oma lebih kencang, menyimpan semua perkataan Oma di sudut hatiku yang tidak pernah tersentuh siapa pun. Aku tidak begitu paham perkataan Oma, tapi aku juga tidak mau bertanya. Aku punya firasat akan merasakan dan memahaminya sendiri.

Ya, semoga saja....

Aku memejamkan mata seraya tersenyum. “Aku juga sayang, Oma.” Setelah itu aku tertidur tanpa bermimpi apa pun, karena mimpi itu justru hadir saat aku bangun tidur.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang