Bab 5

418 69 0
                                    

Perang saudara.
Bagai perpecahan yang,
Tak kunjung sirna.

  ADELAIDE KEMBALI MENUJU Phlegon House. Tempat dimana faksi netral berkumpul. Setelah menyuap sang kusir agar tetap bungkam dengan kejadian tadi, ia pun turun dan menyuruh kereta kuda itu pergi.

  Saat ia memasuki ruang pertemuan, di samping meja lingkar sudah berdiri Stevanus dan Alexander Mathew bersaudara.
"Kutebak, Lady gagal membujuk sang pahlawan?" Tanya Stevan. "Dan gagal meyakinkannya." Saut Alex. Dua anak kembar ini memang kerap melakukan hal-hal menyebalkan.

"Kutebak, kalian memata-mataiku lagi?" Balas Adelaide, sengaja menekankan kata 'lagi'.

Stevan balas mengangkat bahunya, acuh tak acuh. Sementara itu, Alex memutar kedua bola matanya, jelas-jelas sedang menganggap remeh Adelaide.
"Oh ayolah," Tukas mereka berdua, serempak.

Adelaide menyipitkan mata.
"Tidak sopan." Jawab gadis itu ketus.

  Adelaide pun duduk di salah satu kursi sisi kanan dekat pintu. Di punggung kursi itu terdapat ukiran monogram berinisial huruf A dan B, yang mana singkatan dari Adelaide Brightwallter. Di sebelah kursinya, terdapat kursi yang lebih agung, lebih megah, dan lebih kokoh. Tidak dapat disebut singgasana, tapi tidak pula pantas disebut kursi. Di punggung kursana (kursi singgasana) tersebut, terdapat pula ukiran monogram dengan inisial angka romawi IX.

"Kita harus mendiskusikan rencana baru." Ujar Adelaide kepada Stevan dan Alex.

"Wow, kau pasti sudah merepotkan Ketua." Komentar Stevan, sementara Alex hanya mengangguk-angguk.

"Diluar dugaan, tidak semudah itu membujuknya. Pendiriannya kuat, intuisinya peka, ditambah lagi, dia tidak segan mengancamku."

Stevan dan Alex terkesiap. Lebih tepatnya, pura-pura terkesiap. Gestur mereka sungguh sangat menyebalkan.
"Seorang Lady Brightwallter." Goda Stevan. "Yang terkenal akan ketidak ramahannya," Saut Alex. "Dingin," Saut Stevan. "Seperti nenek sihir," Saut Alex. "Diancam?!" Sambung mereka berdua, serempak.

Adelaide melotot kepada dua anak kembar itu, jelas-jelas habis kesabarannya. Tapi ia sudah terbiasa menghadapi mereka, jadi ia hanya menggebrak meja dengan sedikit keras.
"Kalian tidak pantas mengataiku nenek sihir, sementara kalian berdualah yang penyihir!"

"Yeah, kami memang penyihir agung." Balas Stevan setuju. "Penyihir yang dapat membuka portal menuju kereta ekspres lintas dunia parallel." Saut Alex sembari mempraktekan gestur pelangi imajinasi.

Adelaide menggeleng-geleng, ia kalah telak berdebat dengan dua kembar Mathew. Salahnya juga ia terus menanggapi mereka.
"Kalau dugaanku benar, barangkali sang pahlawan hanya ingin hidup mewah. Berdoa saja semoga ia tidak serakah. Kalau ia sampai merebut takhta milik ketua, aku sungguh tidak bisa memaafkannya."

"Dugaanmu salah~" Ucap Alex. Jarang sekali terjadi, sebab biasanya ia hanya menyaut Stevan.

Adelaide naik darah.

"Eits, jangan salah paham dulu. Kau mudah sekali menyimpulkan sesuatu. Kami baru saja mendapat pesan dari ketua, nampaknya sang pahlawan tidak berencana untuk menjadikan dirinya sebagai bagian dari Royal Family. Rupanya ia membuat onar di Istana. Ketua bilang, gadis itu terus-terusan mengajak ribut dirinya. Padahal ketua yakin sang pahlawan tahu bahwa orang yang ia ajak ribut itu adalah seorang Putra Mahkota." Jelas Stevan, berusaha menenangkan Adelaide yang mulai murka.

Hening sesaat.
"Begitu rupanya," Balas Adelaide pada akhirnya. "Aku sama sekali tidak paham dengan rencananya." Lanjutnya lagi. Kini emosinya mulai mereda.

"Yang jelas menurut kami, ia tidak bermaksud jahat pada ketua." Jawab Stevan. "Justru ia akan menyelamatkan negeri ini, sebagaimana perannya yang disebut-sebut dalam ramalan." Saut Alex. Anehnya kalimat mereka kali ini tidak menyebalkan. Sebaliknya, menenangkan.

"Darimana kalian tahu?" Tanya Adelaide.

"Rahasia penyihir." Jawab mereka sambil mengedipkan satu matanya.

・・・

Pertemuan faksi netral digelar setiap hari sabtu pukul 9 malam. Waktu yang tepat untuk berdalih mengisi kegiatan kalian dengan berjudi. Dari luar, Phlegon House memanglah tampak seperti kasino khusus bangsawan. Namun dalamnya, terdapat ruang khusus yang kerap mereka sebut sebagai 'ruang pertemuan'. Sebetulnya, ruang itu tidak begitu mencolok. Hanya terdapat meja lingkar yang ditengahnya menganga sebuah lubang. Biasanya, lubang tersebut digunakan untuk menonton proyeksi digital dari sihir tiga dimensi. Lalu, terdapat juga 12 kursi yang mengelilingi meja tersebut. Masing-masing kursi memiliki ukiran monogram dari inisial nama anggota mereka. Diketuai oleh Crown Prince Emannuel IX dan Lady Adelaide Brightwallter sebagai wakil. Lalu Wizard Stevanus dan Alexander Mathew bersaudara sebagai penanggung jawab aktivitas magis. Sisanya, terdapat berbagai macam divisi yang saling melengkapi tiap-tiap aspek.

  Selain di jam itu, siapa saja bebas memasuki ruang pertemuan. Toh disana tidak ada apa-apa selain meja dan kursi, karena berkas penting sudah dibawa tiap masing-masing anggota.

  Hari ini adalah hari kamis, yang mana artinya pertemuan rutin akan digelar dua hari lagi. Namun, adapula yang dinamakan 'situasi darurat' maka Putra Mahkota menghubungi 11 anggotanya untuk menghadiri pertemuan malam ini juga.

"Saya ucapkan terima kasih kepada saudara-saudariku yang sudah hadir dalam rapat kali ini. Semoga Matahari Sols senantiasa menerangi jalan kita semua." Salam pemuda itu.

"Panjang umur, Putra Mahkota. Berjayalah pemimpin kami." Balas kesebelas anggota sembari membungkukkan tubuh dan menaruh tangannya di dada.

"Duduk." Perintah sang Pangeran.

Semuanya pun melakukannya.

Putra Mahkota bersender si kursananya, ia lalu menyilangkan kaki.
"Hari ini, kita dikejutkan oleh kejadian besar." Jeda sejenak.
"Kejadian yang benar-benar disebut dalam ramalan, yakni terbukanya portal antar dunia parallel dan dikirimkannya seorang gadis yang di gadang-gadang dengan sebutan 'pahlawan'."

  Seluruh anggota sudah mendengar berita ini, jadi tidak ada yang terkejut.

"Kita telah gagal melancarkan rencana kita, yaitu memulangkannya sebelum ia menginjakkan kaki di istana. Rupanya, ia sendiri yang menginginkan dirinya dibawa langsung menghadap Baginda Raja. Dari banyaknya alasan, kalian semua tahu sayalah yang paling tidak sudi menerimanya menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Namun diluar dugaan, rupanya sang pahlawan menolak tawaran tersebut." Jelas ketua faksi netral, berseri-seri.
"Namun bukan berarti, pertarungan kita sudah berakhir. Keberadaannya tetaplah mengancam kedamaian. Kita tidak ingin keluarga kita saling berselisih, benar begitu? Maka dari itu, di pertemuan ini, kita akan membahas rencana baru untuk mengatur situasi."

Netra Putra Mahkota menangkap tangan Stevan yang terangkat.
"Ya? silahkan."

"Apa itu artinya kita harus membunuhnya?" Tanya salah satu penyihir kembar itu, ekspresinya sedikit gugup.

Putra Mahkota tertawa.
"Tidak."

"Lantas bagaimana caranya?" Tanya Stevan lagi, kali ini ia tersenyum.

"Begini rencananya," [ ]

To be continue...

Duchess Past Is An OtakuWhere stories live. Discover now