Bab 35

113 9 12
                                    

Makhluk bersisik.
Berenang mendekati,
Nyanyian sakral.

   NOIR PIKIR IA sudah gila. Memang sepatutnya begitu, sayangnya ia tidak gilaーatau mungkin belum.

   Dari kejauhan pemuda itu melihat sirip ikan yang berenang mendekati ia. Ekornya berkecipak menerbangkan bulir-bulir air laut yang menyiprat seirama dengan tenggelam dan melompatnya makhluk itu.

Noir menerka. Kalau bukan lumba-lumba, tebakannya boleh jadi benar. Siren.

  Pemuda itu menuruni tebing dengan hati-hati, bermaksud menghampiri duyung tersebut.

  Sesampainya ia di tepian, Noir pun berlutut bersamaan dengan Siren yang baru saja menepi. Dihadapannya, gadis cantik dengan setengah tubuh ikan tersenyum kepada sang pemuda.
  "Kau datang untuk mengantarkanku?" Tanyanya.

  Siren itu membalas, namun tidak dengan kata-kata maupun kalimat, melainkan dengan dengung frekuensi yang menghipnotis siapa saja.

  Noir limbung. Indah betul nyanyian sang makhluk bersirip. Pemuda itu bahkan berpikir ia bisa mati sekarang, sebab dengan mendengar nyanyian tadi saja sudah membuatnya bahagia. Tanpa diketahuinya kebahagiaan itu sekedar fana.

Sang Siren menghentikan nyanyiannya. Seketika itu juga mata Noir mengerjap.

Duyung itu mengulurkan tangan. Tak lagi butuh penjelasan, pangeran itu menerima uluran tangan tersebut. Ia lantas berjalan menenggelamkan dirinya. Selangkah, dualangkah sampai kakinya tidak menapak lagi.

Kemudian, Siren itupun mengitari Noir dan memeluk tubuh sang pemuda. Dengan cepat, ia mengibaskan ekor ikannya dan mulai berenang.

  Noir dibawanya menuju daratan.

  Ketahuilah, perjalanan ini tidak menyenangkan. Kalau bisa memilih, alih-alih dipeluk duyung, mungkin Noir lebih memilih menunggangi paus atau lumba-lumba. Sebab, posisinya boleh jadi lebih nyaman ketimbang berada didepan, memposisikan diri miring kesamping dan membiarkan dirimu sesekali tenggelam kemudian muncul di permukaan. Tidak direkomendasikan jika trip ini membicarakan soal kenyamanan.

   Lima belas menit berlalu dalam diam. Pemuda itu enggan memulai percakapan. Selain itu, saat ini Noir toh tidak bernafsu membicarakan apa-apa. Ia letih, lapar dan berenang. Maka ia memutuskan setelah menepi di daratan barulah ia berencana hendak mengambil langkah apa selanjutnya. Saat ini ia akan mengistirahatkan tubuh dan pikirannya sejenak, meski posisinya sedang tidak nyaman.

   Kau tidak akan mengira, rupanya Siren itu membawa berenang Noir di tengah samudera selama kurang lebih delapan jam. Kabar baiknya, daratan mulai terlihat. Setelah berenang mendekat lalu menepi, sang Siren dan Noir akhirnya sampai di bibir pantai.

"Jadi.. dimana aku?" Tanyanya pada diri sendiri. Ia sungguh tak berharap Siren itu menjawab pertanyaannya.

Meski begitu, bukan jawaban yang didapatkan Noir, melainkan situasi seram lah yang terjadi. Sesampainya sang Siren di darat, ekornya mengibas-ngibas pasir pantai. Pun juga dengan menjerit kesakitan, seolah daratan memang bukan habitatnya. Namun, alih-alih menceburkan diri ke laut, Siren itu justru bertransformasi. Sirip nya perlahan mulai mengelupas. Ekor ikan yang tadinya menyatu mulai memisahkan diri dan membentuk kaki. Taring-taring tajam lantas berubah menjadi gigi. Bersamaan dengan kulitnya yang kasar berangsur kian menghalus serupa dengan kulit manusia. Tubuh telanjangnya kini persis menjadi manusia. Sang Siren pun beranjak berdiri dengan kedua kakinya.

Bibirnya mengatup terbuka,
"Benua Gelap." Jawabnya dengan bahasa yang dimengerti Noir.

Noir menganga tidak percaya. Bukan karena sekarang ia sedang berada di sisi benua yang satunya, melainkan ia baru saja menyaksikan fenomena yang tidak biasa. Anomali yang tak pernah dilihatnya di sebrang sana.

・・・

Freya memasuki lubang kelinci sebesar tubuhnya. Yang jadi masalah adalah ia harus membawa tubuh Stevan juga. Ia merangkak dengan susah payah, tangan kirinya ia gunakan untuk menyeret kerah sang pemuda. Bukan main usahanya, terlebih-lebih udara yang menyekiknya, membuatnya sesak, pengap. Sekali gadis itu tidak mengatur nafasnya dengan baik, boleh jadi pingsan-lah resikonya.

Kelinci itu terus melompat-lompat, memimpin jalan. Beruntungnya, makhluk putih berbulu itu pengertian. Ketika Freya tertinggal jauh dibelakang, si kelinci akan berhenti sebentar. Menolehkan kepala mungilnya seolah hewan itu tahu kalau ia harus menunggu.

Freya mendengus,
"Kapan sampainya sih?!" Keluhnya.

Ketahuilah, mengeluh tidak akan membantunya cepat keluar dari lubang itu.

Tujuh menit ia habiskan hanya untuk merangkak di dalam sana. Sebetulnya waktu yang ia habiskan dengan sengsara tidak sebanding dengan Noir yang terombang-ambing di samudera. Hanya saja, situasi ini lebih menyebalkan ketimbang berada di laut lepas. Bayangkan saja kalian harus terhimpit tanah bebatuan sempit-sempitan. Oksigen pun terbatas. Belum juga pegal-pegal. Kuncinya memang harus sabar, terlepas dari situasi apapun yang menerjang.

  Setelah merangkak jauh beberapa meter kedepan, akhirnya Freya menemukan cahaya.

   "Yes, jalan keluar!" Serunya bersorak gembira.

   Kelinci itulah yang lebih dulu keluar, disusul Freya kemudian barulah tubuh Stevan.

  Terik matahari menyambut mereka. Sinarnya menerpa kulit dengan hangat. Juga bersamaan dengan hutan belantara yang tak nampak ujungnya.

   "Ini benua gelap? Kupikir akan lebih mencekam atau kotor nan horor. Rupanya tak seburuk itu." Komentar sang Lady.

  Tentu saja tidak ada yang menanggapinya. Apa yang diharapkan dari seekor kelinci dan mayat?

  Selang beberapa saat, setelah Freya puas menilik sekitar dengan sekelebat singkat, ia lantas berjongkok dan mengelus kepala si kelinci.
"Terima kasih sudah mengantarkanku,"

   "Jangan menyentuh kepalaku! Tidak sopan." Balas kelinci itu.

   Freya berjingit kaget.
"K-kau bisa bicara?!" Teriaknya histeris.

  "Tentu saja aku bisa, bodoh! Memangnya aneh kalau kelinci bisa bicara?"

   Tentu saja aneh.

  "Ini kepalaku yang terbentur dan tiba-tiba bisa mengerti bahasa hewan atau memang kau yang dapat berbicara menggunakan bahasa kami?" Tanya Freya, memastikan.

  "Aku tidak mengerti pertanyaanmu, yang jelas sejak dulu aku berbicara dengan bahasa ini." Jawaban yang diberikan si kelinci sama sekali tidak membantu. "Intinya aku mengerti situasimu. Aku mendapat tugas untuk menyelamatkanmu dari perang. Nah, sekarang mau kupandu jalannya atau tidak?"

  "Eh, memangnya kita mau kemana? Tempat pengungsian?" Tanya Freya, polos.

   Kalau saja kelinci itu memiliki tangan yang lebih panjang, barangkali hewan itu sudah menepuk dahinya.
"Menyelamatkan pemuda itu, tentu saja! Darah naga akan menghidupkannya kembali! Ayo kita pergi ke telaga api, sebelum Dracares terbangun dari tidurnya yang panjang!"

  Freya sudah terbiasa dengan situasi ini. Jadi ia tidak akan bereaksi kaget seperti sebelumnya. Ia hanya perlu mengikuti alur takdir yang sudah disiapkan.
"Baiklah, baiklah, aku mengerti. Tidak perlu marah-marah begitu. Suaramu berisik." Timpalnya tenang.

  Namun sejatinya, ia girang bukan kepalang. Sebab Stevan masih bisa diselamatkan. Mukjizat apalagi yang lebih ajaib ketimbang menghidupkan orang mati?

  Pemuda ini akan hidup kembali. Bersama-sama akan menemani petualangan Freya. Setidaknya itulah harapan serta ekspetasi sang Messiah dan si kelinci.

  Sayangnya, Aku tidak merestui ide itu. [ ]

To be continue...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Duchess Past Is An OtakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang