Bab 16

228 40 0
                                    

Adelaide sadar,
Tidak ada disini!
Kemana Freya?!

  BEBERAPA JAM YANG lalu di Phlegon House, Adelaide menyadari bahwa sang pahlawan tidak terlempar jatuh bersamanya.

  Kalut, ia pun berusaha menghubungi Putra Mahkota dengan jaringan telepati sihir.
"Kumohon tersambunglah," Ia berdoa.

Tidak ada jawaban.

Lady itu panik. Namun tidak lama kemudian, terdengar suara mendesing dari luar jendela yang terbuka. Itu adalah Stevan dan Putra Mahkota yang menunggang sapu sihir. Sontak, Adelaide bergegas menghampiri mereka berdua.
"Freya tidak ada disini!" Lapornya.

"Tenanglah. Pertama-tama kami turun dulu, lalu kita bahas masalah ini." Balas Putra Mahkota yang berusaha untuk tetap tenang. Ingat kata kuncinya. 'Berusaha'.

Peluh menetes di dahi Stevan. Ia benar-benar putus asa. Dalam hatinya ia mengeluh.
Tidak mungkin. Ini tidak mungkin!

Mereka bertiga pun berkumpul di ruang pertemuan. Putra Mahkota menarik kursana dan menghempaskan tubuhnya. Begitu pula dengan Adelaide dan Stevan yang ikut menarik kursinya, duduk.

  "Aku tidak menyangka Alex berpihak pada mereka. Ini benar-benar kacau." Buka Putra Mahkota, tegas. Ia juga melirik Stevan dengan tatapan tidak percaya.

  Stevan menunduk, tidak berani menatap mata Putra Mahkota. Ia menggigit bibir.

  "Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Adelaide.

Putra Mahkota menghela nafas.
"Saat berada di perjalanan, Stevan menyadari bahwa Alex tidak ikut menyusul kami. Stevan bermaksud menghubungi Alex tapi belum sempat ia melakukan hal itu, Alex sudah menghubunginya duluan. Coba tebak apa yang dikatakan si pengkhianat itu?"

  "?" Adelaide menyimak.

  Dengan keras, sang Ketua memukul meja nya. Adelaide dan Stevan sampai terkejut.
"Freya sang Mesiah ada di tangan kami. Jika ingin menjemputnya, datanglah ke dungeon bawah tanah di kuil pusat. Namun syarat untuk melepaskannya tidak dibayar dengan cuma-cuma. Kau harus memenuhi kesepakatan kami. Waktunya 24 jam, lebih dari itu kami akan membunuh sang Mesiah.' Begitu katanya." Tukas Putra Mahkota mengulang percakapan Alex dengan Stevan.

  Adelaide menepuk dahi. Sementara Stevan masih terdiam, tak berkomentar apa-apa.

"Apakah Duke Oswald tahu tentang hal ini?" Tanya Adelaide lagi.

"Tidak." Putra Mahkota menggeleng. "Sepertinya mereka tahu mengancam Duke Oswald tidak ada gunanya. Dia tidak akan mendapat kerugian apapun jika kehilangan Freya. Faksi kontra tahu betul yang dirugikan itu kita. Ini semua karena si pengkhianat itu. Dia memata-matai kita."

Adelaide menghela nafas, pasrah. Ia ingin memberi usul, namun ia takut usulnya di tolak, jadi Lady itu pun menunggu Putra Mahkota mengambil keputusan.

"Tindakan yang paling efektif untuk saat ini adalah menuruti mereka." Ujar Stevan lirih. Itu adalah kalimat pertamanya sejak mereka berkumpul disini.

Geram. Putra Mahkota melompat ke atas meja dan menghajar penyihir di depannya.
"KAU GILA?!" Raungnya. "Atau jangan bilang kau juga berkhianat seperti saudara kembarmu itu?!"

Kalau Stevan mau, ia bisa menangkis pukulan itu kapan saja. Tapi ia membiarkan Putra Mahkota melakukannya. Membuat pipinya terasa nyeri dan berdenyut-denyut.

  Air mata jatuh menetes di pipi nya yang lebam.
"Tidak. Aku bersumpah atas nama Solus. Aku bahkan membenci pria itu." Ungkap sang penyihir.

Mendengar hal itu, Putra Mahkota tidak tahu hendak berekspresi bagaimana. Yang jelas, dia masih naik pitam. Sesaat saat ia hendak menghajar Stevan untuk yang kedua kalinya, pergelangannya ditahan oleh genggaman Adelaide.
"Dinginkan kepala Anda, Ketua. Kita semua tahu Stevan tidak bersalah disini."

  Dengan erangan tertahan, Putra Mahkota pun menurunkan tinjunya. Ia lalu turun dari meja dan kembali duduk di kursana miliknya.

  "Kita masih belum tahu apa kesepakatannya. Jika hal ini masih bisa di negosiasikan, sebaiknya untuk sementara waktu tidak ada pilihan lain selain mengikuti permainan mereka." Inilah usul Adelaide yang hendak diutarkannya.

  Putra Mahkota tampak berpikir sejenak.
"Baiklah," Setujunya. "Kalau begitu, kita pergi sekarang."

・・・

  Sesampainya mereka disana, Putra Mahkota mendapati Freya yang sedang mengamuk. Tubuhnya tampak dibalut pendar cahaya. Suaranya bahkan sampai menggema.

Pemuda itu tidak tahu persis situasinya seperti apa, tapi yang jelas ia harus menghentikannya. Jika dibiarkan terus, pasti akan gawat.
"FREYA, HENTIKAN!!" Serunya.

  Adelaide dan Stevan menyusul di belakang.

Betapa terpukulnya Stevan ketika ia melihat saudara kembarnya berdiri persis di sebelah pria yang dibencinya, yakni ayahnya sendiri.
"Kau.. benar-benar berpihak padanya?" Gumam Stevan, murka.

Alex hanya balas menatapnya. Tidak menjawab pertanyaan itu.

  "HENTIKAN SEMUA INI! Sigismund, aku akan menyepakati perjanjian kita! Maka hentikanlah situasi konyol ini!" Putra Mahkota memohon dengan putus asa.

"Freya juga, tolong hentikan, kau akan membuat kuil ini hancur!" Suaranya lantang. Putra Mahkota berusaha mengimbangi gemuruh disekitar mereka.

Freya menghentikan Stigma Solus miliknya. Perlahan cahaya mulai memudar dari tubuh gadis ituーgemuruh juga ikut mereda.
"Apa kau yakin?" Tanya Freya. Suaranya sudah tidak bergema lagi.

Putra Mahkota mengangguk mantap.
"Ya. Kita bisa membicarakan hal ini. Tidak perlu ada perselisihan. Sungguh, tidak ada yang menginginkan hal itu." Tambahnya.

Freya menatap sinis pria yang masih berdiri mematung di hadapannya.
"Sepertinya orang yang bernama Sigismund ini tidak berpikiran sama sepertimu?" Ejeknya. Gadis itu lalu mengangkat bahuーacuh tak acuh. "Terserahlah. Cepat rundingkan, apa kesepakatannya?"

  Tatapan Putra Mahkota beralih ke arah Sigismund. Begitu tajam dan begitu sengit.

Pendeta itu tetap mempertahankan ekspresinya yang kaku. Meski ia tadi sempat bergidik ngeri saat melihat perubahan Freya, pria itu masihlah memasang wajah datar miliknya.
"Kau tadi sudah menyerukan bahwa kau menyetujuinya, benar begitu, Putra Mahkota?" Sigismund memastikan.

Sang pangeran mengepalkan tangannya begitu erat. Kuku di buku-buku jarinya bahkan terasa menusuk telapaknya sendiri.
"Ya." Jawabnya singkat.

  "Apa kau yakin?"

  "Saya yakin."

  "Kutanya sekali lagi, benar kau yakin?"

Putra Mahkota meraung kesal. Ia tidak mengerti, kenapa orang tua ini terus mengulang-ulang pertanyaannya?
"Langsung ke pokok permasalahannya saja. Anda terlalu bertele-tele." Tukas pemuda itu.

"Tidak bisa. Kau harus memantapkan hatimu." Balas Tuan Sigismund Mathew.

"Aku tidak paham. Kita bisa membunuh dua orang ini dan lari sekarang juga jika mau. Kau tidak punya kewajiban untuk menuruti kesepakatan ini, bukan?" Sela Freya sembari menujuk Alex dan ayahnya.

Sigismund tertawa.
"Tidak semudah itu, gadis kecil. Jika kau berpikir dengan membunuh kami berdua lantas urusan ini dapat diselesaikan, itu artinya kau salah besar."

Freya jadi ikutan kesal. Ia tidak terima dipanggil dengan sebutan gadis kecil, sebab umurnya sudah 23.

"Sayangnya, Tuan Mathew benar." Balas Adelaide. "Kami tidak bisa bertaruh dengan kemungkinan yang tidak ada harapannya. Jika kau dibunuh, masalah akan semakin besar."

Freya memutar bola matanya.
"Aku tidak selemah itu." Ia menggerutu.

Putra Mahkota mendengus. Kali ini ia memantapkan pilihannya.
"Baiklah. Saya yakin."

Pendeta itu pun mengangguk dengan takzim. Ia menghargai keputusan itu.
"Bagus." Ujarnya.

Sunyi senyap tidak menyisakan suara apapun. Hanya ada deru nafas mereka berenam di ruangan tersebut.

"Kesepakatannya adalah; bunuhlah Raja Emannuel VIII. Ayahmu. Dengan tanganmu sendiri." [ ]

To be continue...

Duchess Past Is An OtakuWhere stories live. Discover now