Bab 27

140 26 7
                                    

Apa katamu?
Aku bukan adikmu!
Jangan sok dekat!

  BERGIDIK NGERI, FREYA sontak berbalik. Sembari memeluk Lizt dengan erat, ia menatap sengit pemuda bersurai hitam yang berdiri di depannya.

"Sangat tidak sopan sekali." Komentar Noir.

  Tadinya, Freya menangkap ucapan itu ditunjukkan untuknya. Namun ia tercekat saat menyadari bahwa yang dimaksud bukanlah ia melainkan si penyihir. Telunjuk Noir lantas menujuk sudut tempat tikus Stevan bersembunyi. Perlahan, lengan kokoh itu diangkatnya tinggi-tinggi, sampai sesosok hewan pengerat melayang menampakkan diri. Stevan sangat tersiksa. Tubuh mungilnya seolah diremas dan diremukkan. Nafasnya tersenggal-senggal.

"Hentikan!" Teriak Freya panik.

  "Tidak akan." Balas Noir, tajam.

  Freya menggigit bibir. Kalut. Ia menerjang Noir begitu saja. Gadis itu bermaksud melayangkan tinjunya, namun naas pukulannya meleset. Dengan sigap Noir menghindar. Ia bahkan menyempatkan diri untuk menendang rusuk Freya dengan dengkulnya. Membuat gadis itu tersungkur jatuh.
"Jangan remehkan aku, adik kecil." Ucapnya.

  "Berhenti memanggilku dengan sebutan itu. Aku tidak menyukainya." Balas Freya sembari memegangi daerah yang sakit.

  "Oh ya? aku menyukainya tuh." Noir mendebat. Senyum asimetris tergurat di wajahnya yang bengis.

Begitu pula dengan Freya. Gadis itu ikut tersenyum miring sama bengisnya. Membuat Noir mengerutkan dahi, terheran.

"Senyummu membuatku tidak nyaman, adik keー" Belum sampai kalimatnya habis, Stevan yang sudah mewujud sebagai manusia menikam jantung Noir dengan pasak. Rupanya inilah maksud dari ekspresi Freya.

  "Oh ya? aku nyaman melakukannya tuh." Ejeknya dengan mengulang kalimat Noir tadi.

  Si surai hitam batuk darah. Pemuda itu jatuh berlutut menopang tubuhnya yang hampir ambruk. Secara umum, bila manusia sudah ditusuk jantungnya, ia akan mati secara instan. Namun berbeda dengan Noir. Entah ilmu apa yang dipelajarinya, ia masih berkedip dengan sorot yang lemah. Perlahan, bola matanya menatap tanpa binar kearah Freya.
"Kau akan menyesalinya." Ucap si surai hitam, serak.

  "Dasar monster." Balas Stevan, menggertakkan rahang. Ia lalu mencabut pasak itu dengan kasar, membuat darah mengucur deras dari dada Noir yang berlubang.

Noir ambruk. Tubuhnya tertelungkup. Kau mungkin akan mengira mayatnya tergeletak begitu saja, sayangnya tubuh Noir belum bisa disebut sebagai mayat, sebab mulutnya masih berkomat-kamit. Ia mengucap sebuah mantra yang disisipi cekikikan kecil. Jujur sangatlah mengerikan, membuat bulu kuduk siapa saja yang melihatnya merinding. Matanya kosong, boleh jadi sudah tak memiliki sinar kehidupan.

Setelah menyelesaikan mantranya, asap mulai mengepul dari tubuh Noir. Diiringi dengan tubuhnya yang mengisut. Kulit milik pemuda itu bahkan kian memucat. Tak menunggu lama, barulah Freya, Stevan dan Lizt menyadari bahwa mayat Noir sedang menyublim. Sebab perlahan, anggota tubuh pemuda itu raib. Menyisakan tubuh inti yakni area tulang belakang. Belum juga selesai, onggokan itu lantas hancur menjadi debu hitam beraroma busuk.

  "Apa dia sudah mati?" Tanya Freya.

  Senyap.

  "Belum." Jawab sang penyihir. "Aku tak percaya si brengsek ini menguasainya." Stevan menggeleng-geleng. "Sihir hitam tingkat tinggi."

  Freya dan Lizt saling bertukar pandang, menyiratkan makna akan ketidaktahuan mereka.

  "Ini bukan tubuh aslinya." Stevan menendang debu itu. "Sejak awal, ia menggunakan decoy untuk mengawasi kita."

  "Decoy?" Tanya Freya.

  "Tubuh tiruan." Jelas Stevan singkat.

  Freya kehabisan kata-kata. Ia tak mampu berkomentar apapun lagi. Begitu pula dengan Lizt. Mereka hanya melongo menatap Stevan dan debu busuk itu silih berganti.

"Untuk sekarang sebaiknya kita naik dulu." Ajak si penyihir. Freya dan Lizt pun mengangguk setuju.

・・・

Jauh di tempat yang temaram, berenanglah seorang pemuda di dalam buli-buli kaca yang diisi air. Setiap sisinya terdapat selang yang mengalir oksigen. Diatas buli-buli tersebut terdapat rongga-rongga kecil. Rasanya mirip seperti aquarium, namun yang terdapat di dalamnya bukanlah ikan melainkan manusia. Mata pemuda itu tertutup, namun bibirnya terus mengucap mantra yang tak kunjung selesai. Membuat buih gelembung membumbung tinggi keluar dari mulutnya.

  Sialan. Padahal membuat satu decoy saja sudah sulit, ini malah dimusnahkan begitu saja oleh target. Kurang ajar! Keluhnya dalam hati.

  Pemuda itu mencari-cari lokasi decoynya yang lain melalui visi. Penglihatan seperti pohon-pohon tinggi, padang rumput lalu tebing silih berganti bak potongan film yang sedang diputar dengan laju kecepatan maksimal. Setelah menilik sekian menit, akhirnya ia pun menemukan apa yang ia cari.

Kali ini seorang pemuda berambut merah. Ia memakai seragam militer. Di dadanya tersemat medali-medali pencapaian beserta statusnya. Pun dengan epaulettes yang terpintal di kanan dan kiri pundaknya.

Pemuda di dalam buli-buli pun mengirimkan perintah kepada si merah yang tak lain dan tak bukan adalah dirinya sendiri. Secepat kedipan mata, si rambut merah langsung menerima perintah tersebut. Ia lantas terkekeh,
"Ahahaha! Rupanya si rupa anak manja itu gagal menuntaskan misinya! Kalau begitu serahkan saja padaku!" Ucapnya pada diri sendiri.

Pemuda dalam buli itupun tersenyum miring. Surainya yang putih sepucat salju serasi dengan warna alis dan bulu matanya. Perlahan kelopak mata si rambut putih ia buka. Menampilkan pupil dan sclera miliknya yang bewarna hitam kelam. Sekelam malam tanpa adanya bintang.

Di sisi lain, sebuah jeruji besi mengurung tubuh pemuda yang kurus kering. Rambut hitamnya berminyak dan kusut. Kakinya dipasung dengan rantai yang sudah berkarat. Kulitnya pucat, hampir seperti mayat.
"Keluarkan aku..." pintanya dengan suara serak. Ia putus asa.

  Meski begitu, yang bernasib malang tak hanya ia seorang. Melainkan masih banyak lagi pemuda-pemuda yang terkurung sama seperti dirinya. Meringkuk dalam jeruji besi yang berjejer seperti penjara.

  Di samping jeruji si rambut hitam, tergeletak seorang pemuda yang sama kurus keringnya. Surai pemuda itu bewarna merah, pucat. Ia sudah membisu sejak dua hari yang lalu. Si rambut hitam menduga barangkali orang tersebut sudah mati.

  Dalam hatinya ia memohon, ia tidak ingin mati mengenaskan seperti ini. Diculik dan dikurung tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Ia ingin keluar dari sini bagaimanapun caranya.

  Tak lama kemudian, pintu utama di lorong tersebut berderit terbuka. Sangat bising sekali. Membuat atensi para tahanan tertuju pada seseorang yang membuka pintu itu.

  Harap-harap cemas, si surai hitam meringsut mendekati area depan jeruji. Ia lalu menggengam tiang besi yang mengurungnya. Berusaha melihat dan menerka siapakah gerangan orang yang baru saja memasuki tempat ini.

  Orang itu memakai topeng. Tak dapat dipastikan pula siapa identitasnya. Hampir tak ada yang memasuki ruangan ini jika tidak untuk dua hal. Yang pertama adalah jatah makan (yang isinya sungguh tak layak) dan yang kedua adalah pemanggilan. Satu hal yang ia tahu, jika seseorang sudah dipanggil, ia tidak akan pernah kembali.

  Orang bertopeng itu berjalan menghampiri si surai hitam. Sesampainya ia dihadapan pemuda itu,
"Noir Oswald." Ucap si topeng. "Tuan muda memanggil Anda." [ ]

To be continue...

Duchess Past Is An OtakuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora