Bab 19

193 34 0
                                    

Kami pendeta.
Kami sang pemegang hak.
Kami pembenar.

  FAKSI KONTRA TIDAK menyebut diri mereka kontra. Mereka menyebut diri mereka Al-Haqqーpembenar.

  Dengan jubah hitamnya yang berkibar, Alex dan Sigismund berjalan menuju sebuah tempat jauh berada di dalam hutan yang terlindung tabir sihir. Jika berhasil melewatinya, kalian akan melihat sebuah reruntuhan kastil yang berdiri menjulang tinggi di tengah-tengah belantara. Orang biasa tak akan menyadari hal itu, sebab bangunan tersebut sengaja dibuat sedemikian rupa agar tidak dapat dilihat maupun diakses oleh mereka yang tidak berkepentingan. Lokasinya berada diantara perbatasan Roxannia, Val Soleil dan Araata. Sebuah tempat yang cukup strategis untuk mengadakan rapat tiga negara. Tentu saja, secara diam-diam.

  "Alex, pasang lencanamu." Ujar sang ayah.

  Alex pun merogoh sakunya dan menyematkan sebuah bross keemasan bersigil timbul yang diatasnya terukir naga dengan tiga kepala yang sedang membentangkan sayapnya. (Sigismund sudah mengenakannya sejak tadi) Lencana itu merupakan sebuah kunci akses untuk menyebrangi tabir. Jika kau tidak menyematkannya ke jubah atau bajumu, kau tidak akan pula menemukan lokasi kastil itu.

  Setelah selesai, mereka lalu berjalan kembali. Dengan sukses, tubuh Alex dan Sigismund menembus penghalang tak kasat mata. Seketika itu juga mereka tampak menghilang.

  Didalam kastil, para anggota Al-Haqq sudah menunggu di meja panjang yang diatasnya terdapat wadah trisula dengan lilin-lilin yang menyala.
"Wah, wah, wah. Aku baru saja khawatir, takut kalau kalian tersesat. Rupanya perwakilan Roxannia datang tepat waktu." Sebuah suara menyambut mereka. Dan kalimat itu jelas-jelas merupakan sebuah sindiran.

  Alex dan Sigismund tidak semata-mata langsung membalas sambutan itu. Mereka berdua justru menunduk dalam-dalam dan sang ayah pun berkata dengan lirih,
"Maafkan kami." Tukas penyihir tua. Nadanya sangat teramat menyesal.

Mendengar hal itu, pria berjubah putih yang menyambut mereka lantas terkekeh.
"Duduklah." Perintahnya.

  Segera dengan tenang, Alex bersama sang ayah menarik kursi.

  "Kita semua sudah mengetahui hasil dari kesepakatan yang gagal. Jadi aku tidak akan repot-repot meminta kalian berdua menjelaskannya."

  Jeda sejenak, tampak disana Alex dan ayahnya tertunduk malu.

  "Yah, apa boleh buat. Kita tidak bisa memaksakan kehendak kepada mereka, bukan?" Lanjut pria berjubah putih.

Semua mengamininya.

"Yang menjadi masalah adalah, langkah kita selanjutnya." Pria itu membuka selembar perkamen yang terbuat dari kertas papirus. Ia lalu menunjuk sebaris kalimat. "Nubuat ini;

Demi bintang-bintang yang bersinar terang di langit malam, sesungguhnya Kami tidak menjatuhkan segala sesuatu yang mencelakai diri kalian. Dan Kuciptakanlah matahari beserta bulan, laki-laki juga perempuan, satu ras dan yang berlawanan. Hidup berdampingan saling berpasangan. Maka janganlah kalian mendustai firman. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang fasik. Dan siapakah orang-orang yang fasik itu? Yaitu mereka yang keluar dari jalan kebanaran. Mengadu domba dan menyulut api peperangan. Bersatu untuk menyerang. Sembunyi merencanakan. Celakalah, maka celakalah. Singa fajar akan menelan api pembalasan."

Pria berjubah putih selesai membacakannya dan semua terdiam.

"Sri Sultan." Ucap seorang anggota sembari mengangkat tangannya setengah tanggung. Surai hitam menyembul keluar dari tudung ungunya. "Kami tidak pernah mendengar ayat ini di kitab suci. Jika diizinkan bertanyaー"

"Ya." Jawab pria berjubah putih dengan cepat.

"Kapan tepatnya firman itu turun?" Lanjut orang itu.

"Tadi malam."

  Para anggota di meja itu mulai berbisik-bisik.
"Tidak mungkin..."

  Pria yang dipanggil Sri Sultan itu mengetuk meja dengan jari telunjuknya tiga kali. Isyarat semuanya untuk diam.
"Benar. Tidak mungkin. Tadinya aku berpikir begitu. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya, kita tahu ada nubuat firman dan firman khusus. Kasus untuk Messiah yang turun itu firman khusus, dan jelas-jelas yang satu ini merupakan beberapa potong ayat yang harus dimasukan ke dalam kitab suci. Sementara kabar yang kita tahu dari malaikat agung kita; Alice, kitab suci sudah selesai ditulis sejak 400 tahun yang lalu."

"Lantas, bagaimana bisaー"

"Bukan soal bisa atau tidak." Sri Sultan memotong utaran kalimat yang terlontar dari pemuda berambut hitam itu. Ia lantas beranjak dari kursana miliknya. "Masalahnya ada di singa fajar. Putra Mahkota RoxanniaーEmannuel Giovanni Royanne." Lanjutnya lagi.

Sekarang, pria berjubah putih itu berjalan mengitari anggotanya.
"Memang, bocah itu tidak terlalu cerdik juga manipulatif. Meski begitu ia adalah seseorang yang disegani oleh prajuritnya. Kalau salah langkah, bisa-bisa hal yang sudah lalu terulang kembali. Bersama atau tidak bersama sang Messiah kita akan tetap menggorok habis kepala si Raja munafik dari negeri fajar. Tapi sebelum itu, kita harus mengatasi pangeran manja-nya." Tukas Sri Sultan. Ia kemudian berhenti tepat di belakang kursi Mathew junior. "Jadi, adakah dari kalian yang sekiranya memiliki rencana brilian?" Bisiknya tajam tepat di telinga sang pemuda.

  Peluh dingin menetes dari pelipis si penyihir itu.

  "Aku sudah muak." Tukas sebuah suara dari sebrang tempat Alex dan Sigismund duduk. Sontak semua pandangan pun tertuju pada asal suara. "Tidak bisakah kita melakukan konfrontasi terbuka? alih-alih bersembunyi, bergerak dibalik bayang-bayang seperti ini." Keluh si rambut hitam, tidak terima.

  Sri Sultan tersenyum miring. Menanggapi hal itu, sang pria berjubah putih lantas berjalan menghampiri pemuda tersebut di sebrang meja.
"Semangat yang bagus. Akan lebih baik jika kau memiliki rencana, jadi kuanggap perkataanmu sama sekali bukan omong kosong. Kalau tidak... bagaimana jika kubuat kau tidak bisa bicara lagi?"

Pemuda itu terkekeh.
"Bagaimana mungkin aku tidak punya rencana? Tentu saja aku punya." Jawabnya. "Aku akan kembali ke kediaman itu."

Alex terbelalak, tak percaya.
"Jangan-jangan kauー"

Pemuda bersurai hitam kelam itu mengangkat telapak tangan, mengisyaratkan Alex untuk menutup mulutnya.
"Aku tidak mau mendengar komentar dari seseorang yang gagal menuntaskan misinya."

  "Sang Messiah memiliki stigma! Kau tidak bisa menyerangnya begitu saja!" Alex mengabaikan cibiran tersebut.

  Si rambut hitam tersenyum miring.
"Hah, siapa yang bilang hendak menyerang perempuan itu? Manuverku tidak bar-bar seperti kau, Mathew."

  Para anggota terdiam, menyimak. Menunggu si rambut hitam meneruskan penjelasannya.

  "Aku memang mengatakan konfrontasi terbuka, tapi jangan salah sangka, bukan perang asal bunuh seperti yang hadirin sekalian kira. Tenang saja." Jelas pemuda itu sembari beranjak dari kursi. Ia lalu membuka tudung kepalanya, menampilkan wajah pria tampan dengan rahang kokoh khas bangsawan.

"Izinkan saya mengatasi masalah ini, dengan cara saya." Ia lalu membungkuk meminta restu sang pria berjubah putih.

"Noir, aku tau kau jenius. Tidak seperti ayahmu. Tapi apa jaminan yang bisa kau berikan kepada Al-Haqq jika rencanamu gagal total?" Tanya Sri Sultan.

"Darah saya, Yang Mulia." Jawab pemuda itu dengan tatapan serius.

Pria berjubah putih itu mengangguk takzim.
"Baik. Segera laksanakan rencanamu."

"Dengan itikad tulus, Sri Sultan Wahid." [ ]

To be continue...

Duchess Past Is An OtakuWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu