Bab 7

338 72 0
                                    

Semua terdiam.
Putra Mahkota, Raja,
Para bangsawan.

SUASANA MENJADI LENGGANG. Freya tahu situasinya pasti akan begini. Barangkali mereka tidak akan mengira bahwa gadis itu akan memilih Duke Oswald sebagai walinya, sebab keluarga mereka dikabarkan sedang mengalami masa yang sulit. Akhir-akhir ini, sang Duke disinyalir tidak kompeten dalam tanggung jawabnya sebagai tuan tanah. Ditambah lagi, beliau baru saja mendapat insiden memalukan yakni anaknya, satu-satunya penerusnya, kabur begitu saja. Rumor bilang pemuda itu malu dengan ayahnya. Hal itu seketika membuat nama Duke Oswald tercoreng. Reputasinya menjadi buruk dan tidak dihormati. Disaat seperti ini, mengadopsi Freya adalah hal yang dapat menaikkan sedikit martabatnya. Meski itu artinya beliau harus menghadapi tatapan sinis bangsawan lain yang iri.

"Tentu." Balas Duke Oswald.

Pria paruh baya itu tahu bahwa ia tidak berada di posisi yang mana berhak menolak tawaran Freya. Sementara Raja sangat menginginkannya.

Mendengar hal itu Freya tersenyum puas.
"Terima kasih."

Freya sebenarnya sadar dengan para bangsawan yang menoleh ke kanan kirinya, bertanya-tanya, berusaha mencari jawaban. Atau barangkali gatal ingin mengomentari tindakanya namun tidak dapat membuka mulutnya sekarang, sebab Raja belum berkomentar apa-apa.

Sang Raja berdeham,
"Dengan begitu, sudah diputuskan. Mulai hari ini, Freya sang pahlawan akan berada di bawah naungan hak asuh House of Ducal Oswald!" Ucapnya dengan suara yang lantang. Barangkali Raja ingin semua orang mendengarnya tanpa ada kekeliruan.

Semua bertepuk tangan, pelan. Tidak bersemangat.

Saat Freya kembali duduk di kursinya, ia menyadari tatapan Putra Mahkota yang itens. Ia pun menoleh.
"Apa?" Tanyanya ketus.

Putra Mahkota berbisik,
"Aku penasaran dengan keputusanmu. Tapi tak apalah, lupakan. Mari asumsikan saja bahwa kau memilihnya secara gamblang, tanpa tahu apa yang sedang terjadi."

"Aku tidak bodoh, dan aku tahu persis apa yang sedang terjadi!" Balas Freya juga dengan berbisik. Tapi dari cara bicaranya, jelas ia sedang bersungut-sungut.

Putra Mahkota mengangkat kedua alisnya, memasang ekspresi yang sedang meremehkan Freya.

Gadis itu mendengus.
"Huh, lihat saja nanti."

  Selesai perjamuan, Freya kembali ke kamar untuk mengemasi barang-barangnya. Meski begitu, barang yang dibawa Freya hanyalah tas ransel berisi pakaiannya kemarin, ponsel, dan sekantong emas uang saku.

  "Sudah semuanya, Miss?" Tanya Lizt.

  "Iya, sudah." Freya mengangguk. Ia lalu membuka aplikasi note di ponselnya, hendak mengetik. "Lizt, maukah kau membagi alamatmu? Maksudku, alamat asrama pelayan."

  "Eh, Anda hendak berkirim surat dengan saya?" Tanya Lizt.

  "Kenapa tidak? kau temanku." Balas Freya enteng. Dan barangkali suatu saat aku membutuhkanmu. Tambahnya dalam hati. Ia tidak benar-benar mengatakannya, sebab ia tahu hal itu tidak sopan.

  Mata Lizt berubah menjadi sendu.
"Sayangnya saya tidak bisa membaca ataupun menulis. Saya mengetahui banyak hal-hal karena saya suka mendengar, bukan dari ilmu pengetahuan yang disebut buku." Jelas Lizt.

  Mendapat informasi itu, Freya menyesal. Ia lupa kalau di era ini masyarakat umum kelas menengah kebawah kebanyakan tidak berpendidikan.
"Aku turut prihatin. Kalau begitu kurasa kita berpisah disini." Meski begitu, Freya mengakui bakat Lizt yang mana cukup piawai dalam mengemas informasi. Ditambah lagi, Lizt juga peka dan tahu cara membaca keadaan.

  "Tentu miss. Senang mengenal Anda." Ucap pelayan itu.

  Sayangnya ini bukanlah perpisahan mereka.

・・・

Ini adalah kedua kalinya Freya menaiki kereta kuda milik bangsawan. Namun, ia harus mengakui bahwa ia tidak pernah berhenti untuk terus mengaguminya. Seolah pengalaman ini selalu menjadi hal yang pertama bagi diri Freya. Meski ia pernah menjajal Dokar saat wisatanya ke kota Jogja beberapa tahun lalu, hal itu tidak dapat dibandingkan dengan situasinya sekarang. Benar-benar terasa sangat berbeda. Yah, setidaknya ia tidak perlu menyembunyikan ekspresinya yang kini sedang menikmati perjalanan. Sebab pertemuannya dengan Adelaide 'belum pernah terjadi'.

  Ditengah lamunannya, ia mendengar seorang Pria berdeham,

  Freya menoleh kearahnya.

  "Pahlawan," Panggil Duke Oswald. "Bolehkah aku tahu alasanmu, kenapa kau memilih House kami?"

Freya mengangguk.
"Saya sedang menyusun rencana." Balasnya jujur. Intonasinya serius. Sorotnya bahkan menolak untuk berkedip.

  "Rencana?"

  "Benar."

  Pria paruh baya itu menyipitkan mata. Ia tidak puas dengan jawaban Freya yang seadanya.

  Sang gadis menyadari hal itu. Freya pun balas menghela nafas.
"Kekuasaan Dukedom of Ortania sebagian besar meliputi daerah utara kecuali daerah Marquis. Anda pasti sudah mendengar ramalannya bahwa akan terjadi kekeringan di wilayah itu, bukan?"

  "Benar. Lalu?"

  Freya gregetan.
"Tentu saja saya sedang berpikir. Dengan menjual nama 'pahlawan' dibantu dengan otoritas Anda yang mana seorang pejabat tinggi, saya bisa meminta Menteri Pertanian untuk ikut andil dalam program kerja pencegahan kekeringan dan restorasi tanah. Lalu ditambah lagi hanya Andalah yang, maaf, tidak lagi memiliki penerus, maka saya tidak perlu repot-repot bersaing atau beradaptasi dengan 'saudara' baru. Jadi intinya sayaー"

  "Begitu." Komentar Duke, paham. Beliau sengaja memotong kalimat Freya. "Selebihnya kita harus membahas ini di ruang pertemuan. Kau harus menjelaskan rencanamu lebih detail nanti."

  "Tentu."

  Tak berselang lama, mereka pun tiba di kediaman Oswald. Rumah itu begitu besar dan megah. Untuk mengelilingi halamannya saja mungkin kau membutuhkan golf cart sebab halaman itu begitu luas. Benar-benar tidak seperti rumah dari orang yang sedang berada diambang kelengseran. Sesampai mereka di lobi utama pintu masuk, kereta kuda pun berhenti, dan pintu dibuka oleh seorang pelayan. Pelayan itu begitu takzim, ia bahkan menutup matanya. Duke lalu turun terlebih dahulu disusul Freya.

"Selamat datang, My Lord." Ujar para pelayan yang menyambut mereka, serempak. Mereka membentuk barisan dan membungkuk bersama, memberi salam sambutan.

  Duke Oswald pun berjalan diantara mereka dengan cara yang belum pernah dilihat Freya sebelumnya. Begitu penuh wibawa dan sangat proporsional. Hanya melihat punggungnya saja barangkali kau akan merasa terintimidasi. Sebenarnya tidak ada yang spesial jika harus dideskripsikan. Hanya saja, ini menjadi hal baru bagi Freya. Gadis itu yakin ia tidak akan pernah menemukan pria paruh baya yang berjalan seperti itu di Jakarta atau dimana pun.

  Dibelakang, Freya mengikuti sang Duke dengan cara jalan yang kikuk.

  Setelah berjalan sedikit lebih lama, mereka pun tiba di pintu utama. Sesampai mereka di ambang pintu, Duke Oswald seketika berhenti melangkahkan kaki, begitu mendadak. Beliau lalu berbalik.
"Tunggu sebentar. Seingat saya, di kereta tadi Anda tidak menyebut-nyebut tentang cawan suci. Mengapa?"

  Senyum asimetris tergurat di wajah Freya.
"Sebab saya tidak berniat untuk merebutnya kembali."

  "?!" [ ]

To be continue...

Duchess Past Is An Otakuحيث تعيش القصص. اكتشف الآن