Bab 8

368 63 3
                                    

Mantan pendeta.
Pernahkah kau mengira,
Mereka orangnya?

  STEVAN DAN ALEX saling melempar canda. Sudah menjadi kebiasaan mereka, asal kalian tahu. Dua pemuda bersurai emas gelombang dipadu dengan kulit cokelat eksotis itu kerap memamerkan senyum khas mereka.
"Nah Alex, sekarang giliranmu." Tawar Stevan.

  "Diamlah." Balas Adelaide, sebal. Sedari tadi Lady itu sibuk membolak-balikan halaman buku yang sudah usang.

  "Oh, ayolah.. Adel kau benar-benar tidak asyik." Gerutu Stevan. Ia lalu turun dari meja billiar dan mendekati Adelaide yang duduk di sofa. "Sedang membaca apa sih?" Tanyanya.

  Adelaide geram. Ia menutup bukunya keras-keras.
"Sejak kapan kalian menjadi sok akrab denganku? jangan sembarang memanggilku dengan nama panggilan seperti itu!" Serunya, marah.

  "Eh? tapi aku belum memanggilmu lho." Debat Alex, tidak terima.

  Adelaide balas menatapnya sinis. Sang Lady kemudian menghela nafasnya, pelan.
"Aku sedang mencari informasi tentang pahlawan terdahulu. Barangkali Freya bukanlah satu-satunya pahlawan yang pernah dipanggil ke dunia ini." Jelasnya.

  Dua Mathew bersaudara saling memandang.
"Dan.. apakah kau menemukannya?" Tanya Stevan. Mereka sebenarnya sudah tahu.

  "Ya, aku menemukannya." Angguk Adelaide. "Ternyata sejarah yang menuliskan tentang para pahlawan sedikit sekali. Yang paling baru saja hanya terdapat dua paragraf, menceritakan tentang pencapaian dan kontribusi mereka. Hanya itu. Sumbernya pun ditulis 400 tahun yang lalu." Lanjutnya sembari membuka bukunya lagi. Jemarinya menunjuk ke satu halaman berisi dua paragraf yang dimaksud.

"Memangnya informasi apa yang kau harapkan?" Tanya Stevan bingung. Pemuda itu berpikir fakta tentang apa yang ditulis di buku adalah hal yang umum.

  "Tidakkah itu aneh? Akhir-akhir ini aku berpikir, banyak sekali hal yang ditutup-tutupi dari kita. Misalkan saja, kenapa pihak kuil tidak diberi otoritas atas segala hak terkait pahlawan? Alih-alih begitu, bangsawan malah sibuk memperebutkannya. Ini kan perkara soal firman Dewa Solus. Freya adalah Messiah [¹] kita, bukan? Ditambah lagi, kita hanya menemukan informasi tentang para pahlawan di perpustakaan sentral yang diletakkan di rak area terlarang. Bukan di kitab suci. Apa kejadian 'seperti ini' tidak boleh diketahui oleh masyarakat umum?" Tanya Adelaide, begitu kritis.

Mereka bertiga terdiam sejenak, tampak sedang berpikir.

"Hmm, kita semua tahu kitab suci sudah selesai ditulis sejak 1000 tahun yang lalu. Kalau ada satu atau dua kejadian di tahun-tahun terakhir dan hal itu rupanya dirahasiakan dari kita, barangkali pemerintah tidak ingin menggoyahkan kepercayaan rakyat terhadap kuil. Dan juga hal 'seperti ini' pasti diluar nalar Dewa Solus. Yang mana artinya Dia tidak sepenuhnya memegang kuasa atas takdir semesta." Jelas Stevan.

Adelaide memijat pelipisnya.

"Jangan lupakan fakta tentang kuil yang tidak menyukai eksistensi pahlawan." Saut Alex.

Adelaide menggeleng-geleng.
"Kau tidak perlu mengatakan hal itu, Mathew. Kita semua tahu kuil adalah pihak kontranya." Jawab sang Lady kepada Alex.

Stevan terkekeh. "Yang dimaksud Alex lebih dari itu." Tukasnya, penuh percaya diri. "Kau tadi bertanya tentang kenapa kuil tidak mendapatkan hak atas otoritas mereka terkait subjek dari firman Dewa, benar begitu?"

Adelaide mengangguk.

"Itu karena kuil pernah berselisih dengan golongannya sendiri. Tepat 400 tahun yang lalu, saat pahlawan sebelumnya dipanggil ke dunia ini, sebagian dari mereka berpendapat bahwa sang pahlawan adalah sosok keturunan Dewa yang diutus sehingga patut untuk disembah, dan sebagian lagi menganggap sang pahlawan hanyalah seorang insan manusia yang sama seperti kita. Kedua golongan lantas berdebat panjang tentang hal itu, dan inilah yang menjadi malapetaka baginya. Para pendeta yang digadang-gadang merupakan orang suci justru ingin menjatuhkan lawan yang tidak sependapat. Mereka saling menuduh 'sesat' ke satu sama lain. Puncaknya adalah ketika salah satu dari pendeta agung terbunuh. Sejak saat itu, kuil menganggap ini semua adalah ujian dari Dewa Solus. Menanggapi halnya Raja lalu mencabut segala hak terkait subjek firman Dewa dari kuil. Lalu beliau menetapkan peraturan undang-undang mengenai hak-hak pahlawan yang mana berisi; Segala keputusan mengenai subjek firman Dewa akan diputuskan oleh Dewa itu sendiri. Jika hal itu tidak memungkinkan maka beralih kepada yang bersangkutan. Dan bilamana masih tidak memungkinkan maka kembali pada penguasa tinggi." Jelas Stevan.

  "Ngomong-ngomong ini adalah rahasia negara." Tambah Alex.

Adelaide mengangkat kedua alisnya, tertegun.
"Wow, informasi kalian sangat membantu. Sepertinya aku sudah melupakan fakta tentang kalian yang mana seorang mantan pendeta. Oh, aku turut prihatin soal hal itu."

Stevan melambaikan tangan.
"Tidak butuh belas kasihmu. Kami lebih suka menjadi penyihir ketimbang pendeta, yakan Alex?" Ucap pemuda itu kepada saudara kembarnya.

"Benar!" Balas Alex, cengar-cengir.

・・・

  Malamnya, saat binar gemintang begitu terang menghiasi dirgantara malam, seorang pemuda berjubah hitam menyisir jalanan kota yang dipenuhi kerumunan orang.

  Sesampainya ia di gang lokasi tempat bertemu dengan pria 'itu', pemuda tersebut lalu bergegas menyelipkan dokumen yang dibawanya ke sela-sela dinding.

  "Datang tepat waktu. Kau memang anakku." Ujar sebuah suara di ujung.

  "Ayah." Sapa si jubah hitam. Nadanya begitu datar, sehingga kalian tidak bisa memastikan ekspresinya yang senang atau sedih.

  Pria itu lalu berjalan mendekati anaknya.
"Ada yang ingin kau ceritakan padaku?" Tanya sang ayah, begitu lembut.

  Anak itu mengangguk.
"Putra Mahkota berencana membujuk sang pahlawan untuk bergabung kedalam faksi netral. Dengan begitu gerak-geriknya dapat lebih terpantau. Selain itu, beliau hendak menyulut insiden sebagai pengalihan. Yaitu dengan membakar lahan di perbatasan utara, lalu segera mengirimkan pasukan untuk memadamkannya, tentu saja. Letaknya dekat dengan Dukedom Oratoria. Dalih ini juga ditunjukkan untuk mencuri hati rakyat dan menambah dukungan dari mereka, namun tujuan sebenarnya adalah memburu sang pahlawan agar segera menunaikan tugasnya. Yakni mengembalikan cawan suci. Dengan diselesaikannya tugas tersebut, ia dapat segera pulang ke dunianya. Putra Mahkota tidak ingin sang pahlawan berlama-lama tinggal lebih lama dari ini, sebab beliau berasumsi bahwa keberadaan sang pahlawan dapat memicu konflik yang berlarut-larut. Informasi lainnya sudah kucantumkan lebih detail di dalam dokumen."

Pria itu mendengus, kesal.
"Bocah licik. Hati manusia tidak seharusnya dipermainkan seperti itu. Senang sekali bermain dengan opini rakyat. Apa dia tidak berpikir berapa korban jiwa yang akan jatuh nanti?" Tukasnya sembari menghela nafas. Tak berselang lama, pria itu lalu terkekeh, geli. "Kuakui rencananya cerdik, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, benar? Tapi rupanya ia kurang pintar dalam memilih orang-orang yang setia untuknya." Sindir sang ayah, tanpa sengaja.

Pemuda itu balas terdiam.

"Ya bukan salahmu, toh berkat kau urusan kami dapat berjalan dengan lancar. Terima kasih." Ucap pria itu sembari mengambil dokumen yang telah diselipkan di sela-sela dinding.

"Apapun untuk kuil." Balas si jubah hitam.

  Sang ayah lalu menepuk pundak anaknya.
"Kerja bagus. Aku tahu kau bisa. Kalau kau dapat membuktikan sedikit lagi kesetiaanmu pada kuil, kami akan mengangkatmu kembali menjadi pendeta."

  Pemuda itu lalu membuka tudung jubahnya. Senyum jahil tergurat begitu jenaka, dipadu dengan kulit cokelat eksotis dan surai emas gelombang miliknya.
"Tentu saja." Balas Stevan atau Alex.

  Tidak ada yang tahu dia siapa dan yang mana, kecuali sang ayah. [ ]

To be continue...
______________________________
[¹] Messiah = Wakil/Utusan Tuhan

Duchess Past Is An OtakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang