Bab 34

196 21 16
                                    

Benua Gelap.
Tidak segelap itu.
Namanya saja.

NOIR DIPANGGIL UNTUK berhadapan dengan tuan Tozcelaticuathl. Itulah nama si rambut putih yang berenang dalam buli-buli.

  Pemuda kurus pucat bersurai hitam lepek itu berjalan lesu menuju ke hadapan sang pemain tali boneka. Matanya yang seperti kepik memancarkan sorotnya yang pudar. Dengan lunglai, ia menyeret kakinya untuk menemui ajal. Setidaknya, begitulah pikir Noir.

  Namun rupanya bukan.

"Lord Oswald." Panggil Tozce. "Sesungguhnya aku memanggilmu tidak untuk menghukummu." Jelasnya.

  Noir keheranan. Selain karena maksud dan tujuan yang baru saja disampaikan, ia juga tidak melihat pemuda dalam buli-buli itu membuka mulutnya. lisannya rapat-rapat tak nampak terkatup, matanya pun bahkan masih tertutup. Noir hanya mendengar suaranya saja, bergema seolah keluar dari berbagai pojok arah.

"..." Noir hendak berbicara, namun kata-katanya tak sampai keluar. Hanya tertahan di kerongkongan. Bibirnya yang kering lantas mengatup kembali. Ia bungkam. Urung ia membalasnya dengan percakapan.

  "Aku justru hendak memberikanmu tugas yang jelas kau tidak akan menolaknya." Lanjut Tozce.

  Kini rahang Noir menganga terbuka.
"Hah?" Balasnya serak.

"Aku hendak memberikanmu tugas yang jelas tidak akan kau tolak." Ulangnya lagi dengan sabar.

  Noir mengerutkan dahi. Itulah responnya.
"Apa yang harus kulakukan untukmu?" Tanyanya gemetar.

"●-■⌐■_ー═┻┳︻▄■●▄︻┻┳═一" Tozce mengirimkan sinyal gelombang yang hanya dapat diterjemahkan oleh otak Noir. Kini ia telah mengetahui tugasnya. Dan benar rupanya, ia tidak bisa menolaknya.

  Takut dan gundah bercampur menjadi satu. Ia khawatir tidak bisa memenuhi ekspetasi tuan misterius yang sudah menculiknya beberapa waktu lalu. Namun di sisi lain, ia senang akhirnya ia bisa keluar dari penjara yang seperti neraka ini.

  Mungkin kalian akan bertanya, mengapa Noir tidak marah, kesal maupun dendam? Sebetulnya, Noir menyimpan semua rasa itu. Hanya saja, tubuhnya yang tak bertenaga belum mampu menuruti ego nya. Ditambah lagi keadaannya sedang terpojok dan lemah.
"Baiklah." Setuju ia dengan terpaksa.

Tozce pun puas dalam diam.

  Tak menunggu lama, Noir segera digeret oleh penjaga bertopeng putih. Ia diusir.

  Bagi Noir, hal ini sudah menjadi makanan sehari-harinyaーdiseret kesana kemari, jadi ia hanya pasrah saja.

Ia dibawa menyusuri lorong yang seperti labirin. Asing bagi Noir melewati jalur ini. Sebab saat diculik, samar-samar ia ingat kalau ia tidak melewati labirin yang rumit, melainkan masuk begitu saja ke dalam aula megah dengan aura yang mencekam. Belum sampai pemuda itu tahu kalau tempat ini adalah penjara.

Setelah berjalan terseok-seok hampir setengah jam, Noir menemui gerbang terbuka yang memancarkan cahaya terang. Ia sungguh tidak sabar menjumpai dunia luar. Sesampainya Noir di bibir gerbang, ia sedikit mempercepat langkahnya, sampai-sampai penjaga yang menyeretnya kewalahan. Karena tingkahnya, penjaga bertopeng putih itu lantas melempar Noir keluar tanpa mengatakan apa-apa.

Noir terperosok jatuh ke tanah bebatuan, meski begitu ia tak merasa sakit. Sebab ia sudah terbebas. Perasaan suka cita memenuhi hatinya, namun di sisi lain beban tanggung jawab dan ekspetasi terasa dipikul oleh punggungnya.

Dengan pakaian yang compang-camping dan rambutnya yang berminyak seperti gelandangan, ia bangkit. Noir lalu membiarkan kedua matanya untuk menilik sekitar, sekedar menerka dimanakah ia berada. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa dirinya berada di kastil yang berdiri tepat di tengah samudera. Bahunya seketika merosot.

Duchess Past Is An OtakuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora